[25] RAMADHAN TRANSFORMATIF - Ahmad Sastra.com

Breaking

Minggu, 16 April 2023

[25] RAMADHAN TRANSFORMATIF



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183). Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga mereka merubah nasib yang ada pada diri mereka sendiri (Ar-Ra'd: 11).

 

Kebahagiaan ada pada kesyukuran kita menyambut Ramadhan, ini adalah sebuah keniscayaan. Mungkin yang sulit adalah istiqomah dalam kebahagiaan bulan Ramadhan ini. Bahagia itu sebenarnya tidak sulit.  Seringkali kita terlalu jauh mencarinya kemana-mana, padahal bahagia itu dekat.

 

Kebahagiaan ada di setiap hati orang yang senantiasa bersyukur, yaitu hati yang bisa melihat dengan jelas deretan karunia yang Allah limpahkan. Bukan hati yang sibuk menghitung apa yang tidak dimilikinya. Ramadhan adalah karunia besar dari Allah, maka sepanjang Ramadhan, orang mukmin semestinya bahagian terus menerus dan merasa sangat sedih saat ditinggal oleh tamu mulia ini.

 

Waktu-waktu pada bulan suci Ramadhan memiliki  keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan bulan yang lainnya. Rasulullah SAW bersabda: "Telah datang Bulan Ramadhan, bulan penuh berkah, maka Allah mewajibkan kalian untuk berpuasa pada bulan itu, saat itu pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, para setan diikat dan pada bulan itu pula terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan." (HR. Ahmad).

 

Keistimewaan bulan Ramadhan selanjutnya yang patut diagungkan adalah karena limpahan pahala dan keberkahan. Cukup dengan memberi makan atau minum buka orang yang puasa maka mendapat pahala sebanyak pahala orang puasa tersebut. Hal ini berlandaskan dalam hadis Nabi SAW berikut : Barangsiapa memberi perbukaan (makanan atau minuman) kepada orang yang berpuasa, maka dia akan mendapat pahala seperti pahala orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa tersebut." (HR. Ahmad).

 

Nah, tentu saja pelipatgandaan pahala bagi amal sholih yang diberikan Allah pada bulan suci Ramadhan ini bersifat umum. Karena itu sudah seharusnya umat Islam memanfaatkan bulan suci Ramadhan ini untuk memperbanyak amal sholih, bukan malah bermalas-malasan. Salah satu bentuk amal sholeh adalah dengan bertransformasi menjadi keluarga yang berbudaya literasi.

 

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. (qs Ali Imran : 190 – 191).

 

Ayat di atas menunjukkan betapa pentingnya aktivitas berpikir untuk umat Islam. Proses berfikir dalam pandangan Islam (akal) dimulai dari otak, indera, realitas dan menjadikan al Qur’an sebagai sumber informasi yang falid karena merupakan wahyu Allah SWT. Karena itu kemungkinan salah sangat kecil. Interpretasi makna ayat-ayat wahyu diserahkan kepada otoritasnya yakni mufassir, tidak oleh sembarang orang.

 

Sheikh Taqiuddin membagi proses berpikir menjadi tiga : Pertama, berfikir dangkal yakni melihat alam semesta dengan berbagai gejalanya sebatas fenomena alam yang berdiri sendiri. Pikiran dangkal hanya melihat sebatas empirisme dan inderawi. Obyek yang diindera dilihat sebagai material belaka. Ideologi materialisme komunis sosialis melihat alam semesta dalam pandangan dangkal ini. Hasilnya kaum sosialis materialis gejala perubahan alam semesta adalah gejala alamiah melalui mekanisme evolusi yakni perkembangan dan perubahan alam dalam jangka waktu yang lama tanpa ada skenario kekuatan yang lain.

 

Kedua berfikir mendalam yakni berfikir bukan sekedar empirisme dari apa yang terindera, melainkan memikirkan juga hakekat dibalik realitas yang ada. Dari cara berfikir inilah lahirnya ilmu filsafat bisa ditelusuri jejaknya. Karena itu berfikir filsafat bisa dikatakan berfikir yang mendalam.

 

Berfilsafat berarti mencari kebenaran dan hekekat dibalik realitas yang empirik atau inderawi. Tentu saja berfikir mendalam ini instrumen utamanya adalah akal manusia yang nota bene sangat terbatas. Pertanyaannya adalah apakah dengan berfikir filsafat akan mendapatkan hakekat kebenaran, tentu tidak bisa sama sekali.

 

Ketiga berfikir cemerlang yakni melakukan penginderaan terhadap semua relaitas alam semesta lantas mengkaitkan dengan kuasa ilahi Allah SWT sang pencipta. Pemikiran cemerlang adalah pemikiran yang benar dan akan meningkatkan keimanan seorang ilmuwan. Pemikiran cemerlang (al fikru al mustanir) selain akan menghasilkan hakekat kebenaran realitas juga akan menjadikan pemikirnya mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan.

 

Pemikiran cemerlang akan memberikan pencerahan bagi manusia. Islam telah meletakkan pondasi yang kokoh di bidang metode berfikir ini yang jelas bertentangan dengan metode berfikir ala filsafat yang justru akan menimbulkan berbagai kerusakan kehidupan manusia. Metode berfikir cara Islam akan melahirkan kebangkitan hakiki yakni terangnya kebenaran sebagai pondasi peradaban manusia yang mulia.

 

Dalam sejarah, bulan Ramadhan oleh Rasulullah dan para sahabat justru menjadi bulan yang penuh produktifitas. Pada bulan Ramadhan tahun ke 2 H, Rasulullah memimpin perang Badar al Kubro antara pasukan Islam yang berjumlah 313 prajurit melawan kafir Quraisy yang berjumlah 1000 prajurit. Pada bulan Ramadhan juga terjadi peristiwa besar berupa penaklukan kota Mekkah atau futhu Mekkah, tepatnya terjadi pada tanggal 10 Ramadhan tahun 8 H yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw.

 

Perang Ahzab terjadi para bulan Ramadhan tahun 5 Hijrah dan perang Tabuk melawan adikuasa Romawi terjadi pada bulan Ramadhan tahun 9 hijrah.   Penaklukan kota Thoif juga terjadi di bulan suci Ramadhan dibawah panji Islam yang dibawa oleh Rasulullah. Kemerdekaan RI bahkan juga terjadi pada tanggal 9 Ramadhan 1366 H atas perjuangan dan jihad para ulama dan santri mengusir penjajah.

 

Dengan demikian, tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk bermalas-malasan selama bulan suci Ramadhan. Sebaliknya, rasa bahagia dan syukur menyambut Ramadhan mestinya diwujudkan dengan produktifitas tinggi dan konstribusi optimal bagi kebaikan. Nah salah satu produktifitas adalah dengan meningkatkan budaya membaca dan menulis. Budaya literasi adalah budaya pada ulama terdahulu karena perintah dari Allah. Jadilah keluarga yang memiliki budaya literasi tinggi, sebab untuk menjadi keluarga dakwah harus memiliki bekal ilmu yang mumpuni.

 

Allah berfirman : Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS Al ‘Alaq : 1-5).

 

Membaca adalah aktivitas literasi. Membaca adalah salah satu cara untuk mendapatkan ilmu dan atau tsaqafah. Pembagian ilmu adalah hal yang sudah lama terjadi dalam dunia pendidikan Islam. Dimana banyak ahli atau pun ulama yang mengklasifikasikan ilmu tersebut berdasarkan sudut pandang yang berbeda-beda. Dalam Islam sendiri ilmu adalah dasar dalam beribadah sehingga mengetaui  pengertian, objek serta sumber ilmu sangat diperlukan dalam suatu pendidikan.

 

Dalam buku Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Al-Ghazali membagi ilmu ke dalam dua jenis yakni ilmu yang fardhu’ain dan ilmu yang fardhu kifayah. Ilmu fardhu ‘ain adalah ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap manusia, sedangkan ilmu yang fardhu kifayah adalah ilmu yang apabila sudah ada seseoran atau sekelompok orang yang mempelajarinya maka kewajiban ini gugur pada masyarakat lainnya dalam suatu daerah tersebut.

 

Dalam kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi dua yakni ilmu yang fardu’ain dan ilmu fardu kifayah. Yang termasuk kedalam ilmu yang fardhu’ain adalah ilmu muamalah (aqidah, bebuat dan tidak berbuat) dan ilmu mukasyafah. Sedangkan ilmu yang termask kedalam ilmu fardhu kifayah adalah ilmu syari’ah dan ilmu yang bukan syari’ah (ilmu terpuji, ilmu tercela dan ilmu yang dibolehkan).

 

Selain para ulama, tradisi literasi saintis muslim yang telah melahirkan peradaban mulia telah diakui oleh Barat sebagai inspirasi kebangkitan peradaban Barat. Sebagaimana tertulis dalam sejarah bahwa peradaban Islam yang pernah berjaya ditopang oleh para generasi muslim yang mendalam bidang Al Qur’an bahkan hafal di usia dini, namun juga menguasai keilmuwan modern seperti matematika, sosiologi, psikologi, geografi, kosmologi, kedokteran dan sains lainnya. Bahkan para ilmuwan muslim itu telah juga mewariskan buku-buku berharga, meski kini tak lagi di tangan kaum muslimin.

 

Kontribusi para saintis muslim dalam menopang eksistensi kegemilangan peradaban Islam adalah fakta sejarah yang tak mungkin dielakkan. Banyak nama-nama saintis muslim yang berkontribusi di berbagai bidang keilmuwan pada abad pertengahan. Sebut saja di bidang matematika kita mengenal Al Khawarizmi, Abu Kamil Suja', Al Khazin, Abu Al Banna, Abu Mansur Al Bagdadi, Al Khuyandi, Hajjaj bin Yusuf dan Al Kasaladi. Di bidang Fisika kita mengenal Ibnu Al Haytsam, Quthb Al Din Al Syirazi, Al Farisi dan Prof. Dr Abdus Salam. Dalam bidang kimia ada Jabir bin Hayyan, Izzudin Al Jaldaki, dan Abul Qosim Al Majriti.

 

Dalam bidang biologi ada Ad Damiri, Al Jahiz, Ibnu Wafid, Abu Khayr, dan Rasyidudin Al Syuwari. Dalam bidang kedokteran ada Ibn Sina, Zakariyya Ar Razi, Ibnu Masawayh, Ibnu Jazla, Al Halabi, Ibnu Hubal dan masih banyak lagi. Dalam bidang astronomi kita mengenal Al Farghani, Al Battani, Ibnu Rusta Ibnu Irak, Abdul rahman As Sufi, Al Biruni dan tokoh ilmuwan muslim lainnya. Dalam bidang geografi kita mengenal Ibnu Majid, Al Idrisi, Abu Fida', Al Balkhi, dan Yaqut al Hamawi. Dan dalam bidang sejarah kita mengenal Ibnu Khaldun, Ibnu Bathutah, Al Mas'udi, At Thabari, Al Maqrisi dan Ibnu Jubair.

 

Para saintis di atas adalah mereka yang telah melek literasi Islam yang fokus kepada tradisi membaca, menulis dan riset. Mereka adalah generasi ulil albab yang mempelopori kejayaan peradaban Islam. Selain kokoh di bidang aqidah, luas di bidang syariah, mereka juga adalah orang-orang yang senantiasa beribadah kepada Allah.

 

Rasa lapar tidaklah menghalangi produktifitas seorang muslim selama bulan suci Ramadhan. Berbagai kajian virtual bisa diikuti dari rumah. Produktifitas juga bisa dilakukan dengan cara menghasilkan karya-karya tulis terbaik. Menulis satu huruf di bulan Ramadhan dengan niat ibadah, tentu saja mendapatkan berlipat pahala dari Allah. Menghidupkan budaya literasi Ramadhan adalah bentuk produktifitas.

 

Selain membaca Al Qur’an, Al hadits, juga tentu saja membaca kitab-kitab para ulama terdahulu, maupun ulama kontemporer selama bulan suci Ramadhan adalah contoh produktifitas. Bagus juga membaca kitab-kitab yang menjelaskan tentang bulan suci Ramadhan. Setelah membaca, maka hendaknya menuliskan apa yang telah dibacanya sebagai bentuk pencerahan dan dakwah bagi umat. Sebab dakwah adalah kewajiban seorang muslim, terlebih di Bulan suci Ramadhan, semestinya dakwahnya semakin seningkat. Dakwah dengan tulisan adalah salah satu cara yang bisa dilakukan.

 

Terkait dakwah, Allah berfirman : Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri ? (Al Fussilat : 33).

 

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS An Nahl : 125).

 

Dakwah ini menjadi penting, sebab negeri Indonesia sesungguhnya tidak dalam keadaan baik-baik saja. Banyak persoalan di negeri ini yang dipicu oleh penerapan sistem sekuler liberal. Karena itu dakwah kepada penguasa agar menerapkan Islam adalah masalah yang sangat penting dan mendesak.

 

Lihatlah, akibat sekulerisme liberal,  negeri ini tak henti menghadapi berbagai kerusakan kehidupan akibat runtuhnya sendi-sendi moral bangsa. Maraknya miras, pornografi, pornoaksi telah menjerumuskan bangsa ini kepada kubangan perilaku amoral. Akibatnya marak tindak kriminal, pembunuhan, pemerkosaan, terorisme, seks bebas, LGBT, perzinahan, pelacuran hingga tawuran.

 

Entah sudah berapa nyawa melayang akibat kriminalitas yang disulut oleh tenggakan miras ini. Padahal Allah sang Pemilik kehidupan ini telah dengan tegas mengharamkan biang dosa ini. Memikirkan solusi atas semua problem ini adalah bentuk produktifitas ibadah, apalagi pada bulan Ramadhan.

 

Persoalan lainnya adalah wabah kezaliman akibat penguasa bersekutu dengan oligarki. Merekalah yang selama ini menguasai sebagian besar sumber-sumber kekayaan milik rakyat. Bahkan kasus kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng baru-baru ini, yang amat menyusahkan rakyat, disinyalir adalah ulah para mafia dan pelaku monopoli yang terhubung dengan oligarki. Mereka diduga kuat melakukan penimbunan dan mempermainkan harga.

 

Yang paling berbahaya dari wabah sekularisme—bahkan sekularisme radikal—yang mengakibatkan munculnya islamophobia. Suara azan dipersoalkan, penceramah yang dicap radikal—hanya karena sering bersikap kritis terhadap kekuasaan—dilarang tampil di televisi, dll.

 

Yang tentu tak boleh dilupakan adalah penelantaran syariah Islam yang terus berlangsung hingga kini akibat penerapan sistem sekuler oleh Negara.  Semua ini tentu sebagai akibat umat ini masih jauh dari ketakwaan. Padahal tujuan dari pelaksanaan puasa Ramadhan adalah mewujudkan takwa, sementara puasa Ramadhan telah puluhan kali dilaksanakan oleh umat Islam.

 

Nah, keluarga literasi adalah keluarga yang selalu mampu membaca dan memahami kondisi sosial dan lantas menyampaikan kebenaran Islam sebagai solusinya, baik secara lisan mauoun secara tulisan. Para Nabipun berdakwah menggunakan media kata-kata secara langsung media literasi secara tidak langsung.

 

Melalui berbagai delegasi, Rasulullah dan para sahabat seringkali membuat surat yang berisi tulisan ajakan dakwah kepada para penguasa agar masuk kepada Islam. Sementara Nabi Musa berdakwah kepada Fir’aun dengan cara langsung menyampaikan secara lisan.

 

Dalam sejarah literasi sebagai media dakwah, setidaknya ada beberapa fungsi literasi dakwah. Pertama sebagai surat yang ditujukan langsung kepada penguasa berisikan ajakan untuk masuk Islam. Kedua, sebagai kesepakatan damai hasil perundingan yang berisikan konsensus antar muslim dan musuh Islam. Ketiga sebagai  literatur berupa buku atau kitab, buletin, majalah dan sejenisnya berisi ajakan dan pemahaman tentang ajaran Islam.

 

Beberapa contoh berikut adalah surat Rasulullah kepada para penguasa sebagai media dakwah. Pada masa awal setelah diangkat sebagai utusan Allah (Rasulullah) Nabi Muhammad Saw membangun komunikasi dengan para pemimpin suku dan pemimpin negara lain. Beliau mengirim utusan yang membawa surat ajakan masuk Islam. Korespondensi melalui surat itu tujukan kepada Heraclius (kaisar Romawi), Raja Negus (penguasa  Ethiopia), dan Khusrau (penguasa Persia).

 

Sejarah mencatat, waktu itu Heraclius (Raja Romawi) dan Kisra (Raja Persia) merupakan dua kerajaan yang terkuat pada zamannya, dan merupakan dua orang yang telah menentukan jalannya politik dunia serta nasib seluruh penduduknya. Perang antara dua kerajaan ini berkecamuk dengan kemenangan yang selalu silih berganti.

 

Allah SWT berfirman,"Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Alquran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan petunjuk tersebut dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)". (QS. Al-Baqarah: 185). Mestinya ayat ini betul-betul menjadi spirit bagi umat Islam untuk mewujudkan isi Al Qur’an ini secara kaffah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan melakukan proses kesadaran kepada umat dan penguasa.

 

Sebab, al-Quran sejatinya Allah SWT turunkan agar menjadi rahmat bagi manusia (Lihat: QS Fushilat [41]: 2-3). Sebagai rahmat, al-Quran benar-benar menjanjikan keberkahan bagi manusia. Tentu saat al-Quran secara nyata diterapkan di tengah-tengah kehidupan mereka. Allah berfirman : Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati. Karena itu ikutilah kitab tersebut dan bertakwalah agar kalian diberi rahmat (TQS al-An‘am [6]: 155).

 

Imam al-Alusi menjelaskan bahwa al-Quran disifati dengan mubârak (yang diberkati) karena mengandung banyak kebaikan di dalamnya, untuk kepentingan agama maupun dunia. Adapun frasa fattabi‘ûhu, maknanya adalah fa‘malû bimâ fîhi (Karena itu amalkanlah semua hal yang terkandung di dalam al-Quran itu) (Al-Alusi, Rûh al-Ma’âni, 6/77).

 

Karena itu tentu penting mengamalkan dan menerapkan seluruh isi al-Quran. Baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat maupun negara. Di sinilah pentingnya formalisasi dan pelembagaan al-Quran. Di sini pula pentingnya negara menerapkan al-Quran dalam seluruh aspek kehidupan. Inilah yang dipraktikkan oleh Rasulullah saw. saat memimpin Daulah Islam di Madinah, juga oleh Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelah mereka sepanjang sejarah Kekhilafahan Islam.

 

Keluarga berbudaya literasi adalah keharusan bagi keluarga muslim, terlebih pada bulan Ramadhan adalah momentum yang baik untuk melakukan proses transformasi atau perubahan.

 

(AhmadSastra,KotaHujan,16/04/23 : 08.00 WIB)

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories