UMAR BIN KHATTAB TIDAK MENERAPKAN HERD IMMUNITY SAAT TERJADI WABAH



Oleh : Ahmad Sastra

Ketika terjadi sebuah musibah berupa bencana, Khalifah Umar pernah berkata : “Wahai masyarakat, tidaklah gempa ini terjadi kecuali karena ada sesuatu yang kalian lakukan. Alangkah cepatnya kalian melakukan dosa. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, jika terjadi gempa susulan, aku tidak akan mau tinggal bersama kalian selamanya!”

Ucapan Umar bin Khattab saat menghadapi musibah menunjukkan betapa kuat keimanan dan ketaqwaannya. Hal pertama yang dilakukan oleh Umar Bin Khattab saat terjadi bencana adalah mengingatkan rakyatnya utuk bertobat. Sebab musibah adalah cara Allah menegur hamba-hambaNya untuk kembali ke jalan Allah.

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS Ar Ruum : 41)

Hikmahnya, betapa pentingnya seorang pemimpin beriman dan bertaqwa yang senantiasa mengajak rakyatnya patuh tunduk kepada semua hukum Allah dan menjauhi seluruh larangan Allah. Pemimpin bertaqwa sangat sadar bahwa musibah yang menimpa diakibatkan oleh kemaksiatan. Keimanan dan ketaqwaan adalah dua kondisi yang menjadi asbab datangnya keberkahan dari Allah.

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Qs Al A’raf : 96).

Pada masa khalifah Umar bin Khattab pada tahun 18 H, dalam perjalanan ke Syam, ternyata di sana sedang terjadi wabah thaun Amwas dari hasil laporan gubernur Syam saat itu, maka Umar tidak melanjutkan perjalanan untuk berpindah dari takdir satu ke takdir yang lain. Ibarat menggembalakan kambing : pilih padang rumput hijau atau kering, sebab keduanya adalah takdir dari Allah juga. Akhirnya mereka pulang ke Madinah.

Wabah Thaun berhenti dibawah kepemimpinan Amr bin Ash, beliau mengatakan : wahai manusia, penyakit ini seperti kobaran api, maka jaga jaraklah dan berpencarlah kalian dengan menempatkan diri di gunung-gunung. Ini adalah contoh ikhtiar menghadapi wabah. Islam tidak mengajarkan berputus asa dari ujian Allah, apalagi bunuh diri.

Amru bin Ash, yaitu gubernur Mesir, dan apa yang telah diupayakan oleh Amr bin Ash ternyata sangat efektif dengan membuat kebijakan seluruh masyarakat wajib uzlah atau mengisolasi diri ke bukit-bukit, pegununungan dan lembah-lembah. Bagi yang tak punya bekal, negara saat itu memberi jaminan akan kebutuhan pokoknya. Inilah upaya negara menjaga nyawa rakyatnya.

Maka jika wabah meluas, peran negara sangat dibutuhkan. Sebab negara dengan khalifah sebagai pemimpinnya adalah orang yang paling bertanggungjawab atas nasib rakyatnya. Sistem negara yang kuat dan pemimpin yang bertaqwa adalah kondisi ideal dalam menyelesaikan persoalan wabah ini.

Amir atau pemimpin masyarakat adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas (urusan) rakyatnya (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ahmad). Maka, pemimpin dalam Islam tidak boleh zalim dan menipu rakyatnya. Membiarkan rakyat mati terserang wabah adalah sebuah kezaliman besar yang dimurkai Allah.

Umar bin Khattab, salah satu contoh pemimpin yang bertaqwa terbukti begitu mengutamakan keselamatan nyawa rakyatnya, dibandingkan kepentingan apapun selama terjadi wabah. Selain melakukan renungan atas perbuatan buruk yang pernah dilakukan, negara Islam juga melakukan berbagai solusi kausalitas dan terukur dalam rangka menyelamatkan nyawa rakyat.

Dalam Islam, seorang khalifah adalah orang yang diberikan amanah untuk mengurusi urusan rakyat dengan dasar syariat Islam. Seorang khalifah dibaiat oleh rakyat, namun tetap harus bertanggungjawab kepada Allah atas kepemimpinannya. Contohlah khalifah Umar bin Khatab yang begitu takut kepada Allah jika sampai menelantarkan rakyatnya.

Umar bin Khattab tidak menerapkan herd immunity ketika menghadapi wabah. Herd immunity adalah cara kejam dalam menyelesaikan wabah, yakni dengan membiarkan rakyat beraktivitas tanpa aturan jelas, sehingga yang kuat akan bisa bertahan dari wabah, sementara yang lemah akan mati dengan sendirinya.

Herd immunity adalah cara negara cuci tangan dari persoalan yang dihadapi oleh rakyatnya. Herd immunity adalah adalah cara negara membunuh rakyatnya sendiri. Inilah cara negara zalim yang akan mendapatkan kemurkaan dari Allah. Islam jelas mengharamkan cara-cara penyelesaian wabah yang menzalimin rakyat.

Herd immunity jika diterapkan dalam wabah Covid-19 terlalu spekulatif dan berbahaya bagi masyarakat. Apalagi jika rakyat suatu bangsa memiliki daya tahan tubuh dan status nutrisi yang rendah. Hal ini disebabkan kareka karakter (qadar) virus dan prediksi evolusi belum diketahui secara pasti. Saat ini, kasus virus SARS-Co-2 masih terus berevolusi dengan cepat. Bahkan belum ada yang bisa memastikan perjalanan mutasi ini akan menjadi seperti apa.

Herd immunity menurut Healthline terjadi ketika banyak orang dalam satu komunitas menjadi kebal terhadap penyakit menular dengan harapan penyebarannya bisa berhenti. Herd immunity menurut MIT Technology Review adalah dengan membiarkan virus menyebar dan memapar banyak orang.

Resiko herd immunity adalah ada sebagian masyarakat akan mati karena terinfeksi virus dan sebagian akan sembuh. Sebagian lagi ada yang menjadi pembawa dan sebagian orang yang kontak, tapi tidak terinfeksi akan mengalami kekebalan. Karena itu herd immunity adalah spekulasi yang tidak bisa diprediksi secara pasti.

Herd immunity bukanlah sebuah ikhtiar yang dianjurkan Islam saat rakyat menghadapi wabah penyakit. Seorang pemimpin negara mestinya berikhtiar dan memperhatikan nasib rakyatnya siang dan malam sebagai bentuk tanggungjawab amanah kepemimpinan.

Dalam salah satu perbincangan dengan Muawiyah bin Hudaif setelah penaklukan Iskandariyah, Umar pernah berucap : Kalau aku tidur di siang hari, maka aku menelantarkan rakyatku. Dan jika aku tidur di malam hari, aku menyia-nyiakan diriku sendiri (tidak shalat malam). Bagaimana bisa tertidur pada dua keadaan ini wahai Muawiyah ? ”

Umar tentu sangat paham betapa berharganya nyawa satu orang muslim, sehingga dia sangat memperhatikan nasib rakyatnya, jangan sampai terzolimi sedikitpun. Itulah mengapa Umar pernah berkata, “Jika ada seekor onta mati karena disia-siakan tidak terurus. Aku takut Allah memintai pertangung-jawaban kepadaku karena hal itu.

Karena onta tersebut berada di wilayah kekuasaannya, Umar yakin ia bertanggung jawab atas keberlangsungan hidupnya. Ketika onta itu mati sia-sia karena kelaparan, atau tertabrak kendaraan, atau terjerembab di jalanan karena fasilitas yang buruk, Umar khawatir Allah akan memintai pertanggung-jawaban kepadanya nanti di hari kiamat.

Jangankan nyawa manusia yang menjadi rakyatnya, bahkan nyawa binatangpun bagi Umar tetap menjaganya dan tidak mau terzolimi karena kebijakannya. Sebuah hadist dengan tegas menyatakan : Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak. (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).

Siang dan malam Khalifah Umar selalu memantau keadaan rakyatnya. Umar benar-benar sadar kepemimpinan itu adalah melayani, bukan dilayani. Kepemimpinan bukan untuk menaikkan status sosial, menumpuk harta, yang akan menghasilkan kehinaan di akhirat semata. Nyawa rakyat bagi Umar adalah pertanggungjawaban besar kelak di akherat, maka menyia-nyiakannya adalah sebuah kezaliman. Umar tidak menerapkan herd immunity saat menghadapi wabah, sebab selain berbahaya, melanggar syariah, cara ini juga bentuk kezaliman pemerintah karena tidak bertanggungjawab atas nyawa rakyatnya.

(AhmadSastra,KotaHujan,22/05/20 : 17.33 WIB)

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Categories