MENYOAL PARADIGMA PESANTREN LINTAS AGAMA


 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Bukan Indonesia kalo tidak keanehan-keanehan. Salah satunya adalah berdirinya pesantren lintas agama di Kediri. Aktivitas pelajaran di Pesantren Jatidiri Bangsa Indonesia Merajut Perdamaian Nusantara di Persada Soekarno  Ndalem Pojok Soekarno di Wates Kabupaten  Kediri mulai berjalan Sabtu (02/11/2024).

 

Sekitar 280 calon guru pendidik  menerima pelajaran Jatidiri Bangsa Indonesia Merajut Perdamaian Nusantara menuju perdamaian dunia. Semua  santri calon guru tampak berseragam budaya khas Jawa dengan mengenakan baju lurik, belangkon, sarung  dan sandal slop.

 

Ketua Pembangunan Pesantren Jati diri Bangsa Indonesia Merajut Perdamaian Nusantara R.M. Suhardono mengatakan,  program yang baru berjalan adalah pembekalan bagi para calon guru pendidik yang digelar 1-2 November 2024. Pembekalan khusus  bagi calon guru pendidik pesantren kebangsaan ini diberikan oleh Kyai Muhammad Muchtar Mujtaba Mu'thi Pimpinan Pesantren Majmaal Bahrain Hubbul Wathon Mial Iman Shiddiqiyyah Jombang Jawa Timur.

 

Sang Kyai juga didampingi oleh Romo Yohanes Pendeta Kristen Ortodok, Romo Salam Raharjo pemuka agama Hindu, Romo Wisnu Sugiman pemuka agama Katolik. Tampak hadir juga Pinandita Edi Sunyoto pemuka agama Budha. Romo Yohanes adalah pimpinan Gereja Ortodok dari Rusia yang hadir dalam pemukaan Pesantren Jati diri Bangsa Indonesia Merajut Perdamaian Nusantara. Pesantren kebangsaan lintas agama yang selesai dibangan ini merupakan persembahan untuk bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Secara nomenklatur, pesantren lintas agama tidak pernah dikenal dalam paradigm pendidikan ISlam, termasuk dalam undang-undang sistem pendidikan nasional. Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan keagamaan Islam. Istilah pondok diperkirakan berasal dari bahasa Arab, yaitu funduk yang berarti rumah penginapan atau hotel.

 

Dalam konteks masyarakat Jawa, pemahaman tentang pesantren serupa dengan padepokan yang di dalam lingkungannya terdapat komplek perumahan untuk tempat tinggal para santri (murid). Perumahan itu biasanya berupa petak-petak kamar selayaknya asrama. Profesor Johns dan C.C. Berg Pada umumnya komplek pesantren terdiri dari rumah kiai asing, masjid, pondok tempat tinggal santri, dan ruangan belajar. Zamakhsyari Dhofier menjelaskan bahwa pesantren berasal dari kata santri.

 

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang khas dan memiliki akar sejarah yang panjang. Pesantren terbukti telah melahirkan para ulama pejuang yang ikut andil berjihad memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sekalipun pada mulanya berdirinya pesantren adalah dilandaskan di atas visi tafaquh fiddin. Namun ketika sejarah perjuangan bangsa ini membutuhkan kontribusi konkret, maka pesantren dengan kyai dan santrinya dengan suka rela berikrar berjihad melawan para penjajah kafir dan mengusirnya hingga dengan pertolongan Allah kemerdekaan bangsa Indonesia bisa dicapai.

 

Meskipun kini bangsa ini masih terbelenggu dengan penjajahan nonfisik. Tentunya tugas generasi muslim hari ini yang bertugas untuk kembali membebaskan Indonesia dari keterjajahan dalam berbagai aspek kehidupan. Karenanya peran pesantren di era kini bukan ringan, melainkan bertambah berat dan kompleks.

 

Hal ini berarti secara genealogis, sejak awal visi lahirnya pesantren adalah adalah lembaga tafaquh fiddin dalam arti yang luas. Dari rahim pesantren diharapkan lahir para generasi muslim yang berkualitas aqidah dan intelektualnya yang kelak menjadi agen-agen peradaban Islam.

 

Ajaran Islam meliputi semua aspek kehidupan secara terpadu (tidak sekuleristik) baik fikrah maupun tariqah, baik urusan dunia maupun akherat. Pondok pesantren dengan kekhasan dan karakter sistem pendidikannya memungkinkan untuk mewujudkan visi peradaban tersebut.

 

Masih menurut Abdullah Syukri Zarkasyi (2005) lembaga pesantren seperti yang dikenal di Jawa, di Sumatra disebut surau, dayah, rangkang. Dalam lembaga-lembaga seperti itulah tradisi perkumpulan atau halaqah diperkenalkan. Dalam perkumpulan itu, secara tradisional dikenal istilah 'kaji' atau 'ngaji', dimana murid (santri) menyimak, sementara guru (kyai) menerangkan.

 

Dengan demikian dapat dipahami bahwa salah satu alasan pokok munculnya pondok pesantren adalah untuk menyampaikan ajaran Islam sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik atau kitab kuning. Jadi jika muncul pesantren lintas agama, selain merusak jati diri pesantren juga menodai sejarah lahirnya pesantren itu sendiri.

 

Menurut LP3ES dalam buku Profil Pesantren (1975) yang dikutip oleh Abdullah Syukri Zarkasyi , pondok pesantren  diartikan sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, umumnya dengan cara non-klasikal, dimana seorang kyai mengajarkan agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama Arab abad pertengahan. Para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.

 

Menurut Yakub dalam Syukri (2005) pesantren berarti lembaga pendidikan Islam yang umumnya dengan cara non-klasikal, pengajaran seorang yang mempunyai ilmu agama Islam klasik (kitab kuning) dengan tulisan Arab dalam bahasa Melayu kuno atau dalam bahasa Arab. Kitab-kitab itu biasanya karya-karya para ulama Islam pada abad pertengahan.

 

Pendapat Yakub lebih merujuk kepada pengertian pesantren "tradisional" yang lebih menngedepankan pendidikan dan pengajaran kitab-kitab klasik. Padahal faktanya kini pesantren telah mengalami perubahan paradigma dan sistem sejalan dengan perkembangan dan perubahan tuntutan kehidupan.

 

Secara nomeklatur dalam aturan perundang-undangan, istilah pesantren linta agama tidak dikenal. Dalam PMA No 18 Tahun 2014 pada Bab I pasal 1 termuat ketentuan umum terkait Pesantren Muadalah. Diantara ketentuan umum itu adalah bahwa Satuan pendidikan muadalah pada pondok pesantren yang selanjutnya disebut satuan pendidikan Muadalah.

 

Satuan pendidikan muadalah adalah satuan pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan oleh dan berada di lingkungan pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai kekhasan pesantren dengan basis kitab kuning atau dirasah islamiyah dengan pola pendidikan muallimin secara berjenjang dan terstruktur yang dapat disetarakan dengan jenjang pendidikan dasar dan menengah di lingkungan Kementerian Agama.

 

Dalam ketentuan umum PMA No 18 Tahun 2014 yang dimaksud Pendidikan keagamaan Islam adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama Islam dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam dan mengamalkan ajaran agama Islam.

 

Pondok pesantren yang selanjutnya disebut pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan oleh masyarakat yang menyelenggarakan satuan pendidikan pesantren dan/atau secara terpadu menyelenggarakan jenis pendidikan lainnya.

 

Setidaknya adalah dua jenis  satuan  pendidikan  muadalah  yakni pesantren salafiyah  dan pesantren dengan jenis mu'allimin. Jenis satuan pendidikan muadalah salafiyah sadalah satuan pendidikan muadalah berbasis kitab kuning. Sementara, jenis satuan pendidikan muadalah mu'allimin sebagaimana adalah satuan pendidikan muadalah berbasis dirasah islamiyah dengan pola pendidikan muallimin.

 

Adapaun masalah penamaan untuk pesantren muadalah dapat menggunakan nama Madrasah Salafiyah, Madrasah Mu'allimin, Kulliyat al-Mu'allimin al- Islamiyah (KMI), Tarbiyat al-Mu'allimin al-Islamiyah (TMI), Madrasah al- Mu'allimin al-Islamiyah (MMI), Madrasah al-Tarbiyah al-Islamiyah (MTI) atau nama lain yang diusulkan oleh lembaga pengusul dan ditetapkan oleh Menteri.

 

Jika merujuk kepada sejarah dan pengertian pesantren di atas, maka timbul pertanyaan bagaimana paradigma pesantren lintas agama itu. Bagaimana pula visi, misi dan tujuan pendidikannya. Bagaimana pula pola kegiatan dan kurikulumnya, termasuk profil gurunya. Bisa dikatakan akan terjadi pencampuradukan paham dan agama yang pada akhirnya menggerus jati diri pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam itu sendiri.

 

Lebih dari itu, dikhawatirkan, sengan adanya pesantren lintas agama akan terjadi sinkretisme dan pluralisme yang berdimensi teologis, bukan semata sosiologis. Tahun 2005, MUI juga mengeluarkan fatwa yang menolak paham pluralisme agama. Dan tahun 2006, Media Hindu juga menerbitkan satu buku berjudul 'Semua Agama Tidak Sama'. Buku ini juga membantah penggunaan ayat dalam Bhagawat Gita IV:11 untuk mendukung paham penyamaan agama yang disebut juga dalam buku ini sebagai paham universalisme radikal.

 

Dalam penjelasan terkait fatwa haram pluralisme, MUI menegaskan bahwa umat Islam Indonesia dewasa ini tengah dihadapkan pada "perang  non-fisik" yang disebut ghazwul fikr (perang pemikiran). Perang pemikiran ini berdampak luas terhadap ajaran, kepercayaan dan keberagamaan umat. Adalah paham sekularisme dan liberalisme  agama, dua pemikiran yang datang dari Barat, yang akhir-akhir  ini telah berkembang di kalangan kelompok tertentu di Indonesia. Dua aliran pemikiran tersebut telah menyimpang dari sendi-sendi  ajaran Islam dan merusak keyakinan serta pemahaman masyarakat terhadap ajaran agama Islam.

 

Setidaknya ada empat hal yang bisa dijadikan kritik atas pemikiran pluralisme agama ini. Pertama, aspek normatif. Secara normatif, yaitu dari kacamata Aqidah Islamiyah, pluralisme agama bertentangan secara total dengan Aqidah Islamiyah. Sebab pluralisme agama menyatakan bahwa semua agama adalah benar. Jadi, Islam benar, Kristen benar, Yahudi benar, dan semua agama apa pun juga adalah sama-sama benar. Ini menurut Pluralisme. Adapun menurut Islam, hanya Islam yang benar (Qs. Ali-Imran [3]: 19), agama selain Islam adalah tidak benar dan tidak diterima oleh Allah SWT (Qs. Ali-Imran [3]: 85).

 

Kedua, aspek orisinalitas. Asal-usul paham pluralisme bukanlah dari umat Islam, tapi dari orang-orang Barat, yang mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodok. Misalnya pada 1527, di Paris terjadi peristiwa yang disebut The St Bartholomeus Day's Massacre. Pada suatu malam di tahun itu, sebanyak 10.000 jiwa orang Protestan dibantai oleh orang Katolik.

 

Peristiwa mengerikan semacam inilah yang lalu mengilhami revisi teologi Katolik dalam Konsili Vatikan II (1962-1965). Semula diyakini bahwa extra ecclesiam nulla salus (outside the church no salvation), tak ada keselamatan di luar gereja. Lalu diubah, bahwa kebenaran dan keselamatan itu bisa saja ada di luar gereja (di luar agama Katolik/Protestan). Jadi, paham pluralisme agama ini tidak memiliki akar sosio historis yang genuine dalam sejarah dan tradisi Islam, tapi diimpor dari setting sosiohistoris kaum Kristen di Eropa dan AS.

 

Ketiga, aspek inkonsistensi gereja. Andaikata hasil Konsili Vatikan II diamalkan secara konsisten, tentunya gereja harus menganggap agama Islam juga benar, tidak hanya agama Kristen saja yang benar. Tapi, fakta menunjukkan bahwa gereja tidak konsisten. Buktinya, gereja terus saja melakukan kristenisasi yang menurut mereka guna menyelamatkan domba-domba yang sesat (baca: umat Islam) yang belum pernah mendengar kabar gembira dari Tuhan Yesus. Kalau agama Islam benar, mengapa kritenisasi terus saja berlangsung? Ini artinya, pihak Kristen sendiri tidak konsisten dalam menjalankan keputusan Konsili Vatikan II tersebut.

 

Keempat, aspek politis. Secara politis, wacana pluralisme agama dilancarkan di tengah dominasi kapitalisme yang Kristen, atas Dunia Islam. Maka dari itu, arah atau sasaran pluralisme patut dicurigai dan dipertanyakan, kalau pluralisme tujuannya adalah untuk menumbuhkan hidup berdampingan secara damai (peacefull co-existence), toleransi, dan hormat menghormati antar umat beragama. Menurut Amnesti Internasional, AS adalah pelanggar HAM terbesar di dunia. Sejak Maret 2003 ketika AS menginvasi Irak, sudah 100.000 jiwa umat Islam yang dibunuh oleh AS.

 

Kekhawatiran Kedua dengan adanya pesantren lintas agama adalah adanya praktek sinkretisme. Secara etimologis, sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertian sinkretisme menurut istilah, adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang berbeda dan bertentangan.

 

Sinkretisme bisa berupa penggabungan atau pencampuradukan ajaran dua agama atau lebih. Menggabungkan dua agama atau lebih dimaksudkan untuk membentuk suatu aliran baru, yang biasanya merupakan sinkretisasi antara kepercayaan lokal (umumnya di Jawa) dengan ajaran-ajaran agama Islam dan agama agama lainnya. Dari masing-masing agama tersebut diambil yang sesuai dengan alur pikiran mereka.

 

Islam adalah dien yang menyeluruh dan sempurna dan pasti mempunyai solusi (pemecah) atas segenap persoalan yang terjadi di antara ummat manusia, termasuk salah satunya adalah bagaimana mengatur hubungan di dalam anggota masyarakat. Untuk menjaga kerukunan dan toleransi antar umat beragama, tidak mesti dengan mendirikan pesantren lintas agama. Sebab alih-alih menyelesaikan masalah, yang ada adalah kekacauan.

 

Allah sendiri melarang mencampuradukkan suatu ajaran agama dengan ajaran agama lain, karena merupakan perkara yang dilarang  dalam agama Islam karena sama dengan mencampur adukkan antara kebenaran dengan kebatilan. Alloh ta'ala berfirman : "Janganlah kalian mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan" ( Qs. Al-Baqarah : 42 ).

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 18/11/24 : 15.57 WIB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.