Oleh : Ahmad Sastra
Pesantren adalah salah satu aset peradaban yang penting bagi negeri ini. Jutaan santri yang kini tinggal di hampir 30 ribu pesantren adalah masa depan bangsa ini. Di masa pendemi Covid-19, sekitar 85 persen pesantren telah aktif kembali dan melakukan pembelajaran tatap muka.
Pesantren yang menurut Ahmad Mansur Suryanegara hadir di negeri ini seiring datangnya Islam yakni abad ke 7 merupakan lembaga pendidikan yang pertama membuka pembelajaran tatap muka. Jutaan santri dari seluruh penjuru negeri berdatangan sejak pertengahan bulan Juli. Tercatat dalam laporan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag sebanyak 32 provinsi telah membuka pembelajaran tatap muka.
Pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan Islam yang memiliki jumlah santri yang sangat banyak. Ada beberapa pesantren yang memiliki santri diatas 1000 orang, bahkan ada pesantren yang menampung santri lebih dari 10.000 orang. Jumlah pesantren di Indonesia yang terdata di kementerian agama sebanyak 28.194 yang menampung 5 juta santri berasrama dengan jumlah guru sebanyak 1,5 juta orang.
Semenjak terjadi wabah corona, pesantren telah mengambil sikap untuk memulangkan para santri untuk belajar di rumah. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menyelamatkan para santri dan guru. Proses pembelajaran daring dilakukan sejak bulan Maret sesuai dengan kebijakan pemerintah setempat.
Sejak muncul corona virus di Kota Wuhan China pada akhir 2019, WHO telah mengingatkan dunia akan ancaman pandemi global covid-19. Beberapa negara lantas bergegas untuk melakukan antisipasi mencegah tersebarnya corona seperti lockdown, social distancing dan stay at home.
Secara mentalitas, pesantren memang sudah siap menyelenggarakan belajar tatap muka, namun secara kesiapan protokol kesehatan tidak semua siap. Kondisi ini menghajatkan kehadiran pemerintah untuk ikut membantu kesiapan pesantren agar untuk membuka layanan pendidikan tatap muka.
Sesuai pengamatan penulis, pembukaan tatap muka di pesantren memiliki setidaknya 4 orientasi penyelamatan. Pertama adalah berorientasi kepada keselamatan agama santri. Hal ini mengingat bahwa lingkungan di luar pesantren cukup membuat orang tua wali khawatir anaknya terkontaminasi lingkungan negatif.
Selama santri berada di rumah, kemungkinan pertama adalah santri terpengaruh oleh handphone dan televisi, dimana keduanya menyajikan konten kontraproduktif bagi perkembangan spiritualitas dan moralitas santri. Kemungkinan kedua adalah kekhawatiran terkontaminasi lingkungan di luar rumah yang bahkan lebih membahayakan santri seperti narkoba, pergaulan bebas dan pornografi pornoaksi.
Orientasi kedua adalah upaya penyelamatan jiwa dan fisik santri dari penyebaran Covid-19. Asumsi yang berkembang adalah bahwa santri yang berada di rumah jika tidak dikendalikan, justru bisa terdampak Covid-19 saat beraktivitas di luar rumah. Apalagi saat ada kebijakan new normal dari pemerintah, maka kondisi ini rawan bagi santri.
Upaya pesantren menyelamatan jiwa dan fisik santri dari paparan Covid-19 dengan membuka belajar tatap muka adalah dengan menjadikan pesantren sebagai ruang isolasi bagi santri. Selain santri harus terlebih dahulu melakukan karantina mandiri selama 14 hari di rumah, membawa surat kesehatan dan membawa surat izin orang tua, maka santri harus juga melakukan rapid tes saat sampai pesantren.
Selama di pesantren seluruh protokol kesehatan dijalankan oleh pesantren secara ketat, yakni dengan pendekatan klaster. Metode klaster bertujuan untuk bisa mempermudah pelaksanaan protokol kesehatan seperti pemakaian masker (face shield), phisical distancing, mencuci tangan dan penyiapan sarana karantina seperti klinik atau kamar khusus bagi santri yang sakit. Klaster juga akan mempermudah upaya pencegahan, pengawasan, pengecekan suhu tubuh, dan penyebuhan. Pesantren dengan dokter yang dimilki membentuk satuan gugus tugas pencegahan Covid-19 beserta guru dan santri.
Metode klaster memang membutuhkan ruang atau area yang lebih luas agar seluruh santri bisa melaksanakan protokol kesehatan. Karena itu selain harus menata ulang area, pesantren juga harus melakukan tahapan kedatangan santri, tidak sekaligus. Klaster juga akan afektif mencegah lalu lalang orang luar masuk pesantren dan mencegah santri keluar pesantren.
Orientasi ketiga dari kebijakan pembukaan pembelajaran tatap muka di pesantren adalah agar santri maksimal mendapatkan ilmu dari para pendidik. Tanpa tatap muka, maka ilmu tidak akan bisa diterima santri secara optimal. Sebab di pesantren tidak hanya transfer ilmu, melainkan juga adanya proses transfer nilai. Pembelajaran online sangat tidak efektif bagi penguatan keilmuwan santri.
Orinetasi keempat dari pembelajaran tatap muka di pesantren adalah terkait keberkahan rejeki. Dengan kembali masuk pesantren, maka orang tua santri kembali aktif bersedekah dan menginfakkan rejekinya melalui pesantren. Berbagai program wakaf kembali berjalan. Guru-guru di pesantren juga kembali bisa menikmati keberkahan rejeki yang didapatkan dari pesantren.
Namun demikian, bukan berarti tidak ada resiko sama sekali soal pembukaan kembali pesantren untuk pembelajaran tatap muka. Apalagi pembukaan kembali pesantren disaat wabah corona ini makin menunjukkan angka persebaran yang eksponensial. Tentu saja pihak pesantren, orang tua santri, dinas kesehatan dan pemerintah setempat harus bahu-membahu memberikan perhatian penuh atas usaha mulia ini.
Dengan dibukanya kembali pesantren bekerjasama dengan semua pihak yang berkepentingan, semoga para akan lahir generasi masa depan bangsa yang sholih, sehat, cerdas dan memberikan manfaat kebaikan kepada sesama. Pesantren adalah aset sejarah dan peradaban negeri ini, sudah seharusnya dijaga dan dirawat dengan cara menyelamatkan para santrinya.
(AhmadSastra,KotaHujan,27/08/20 : 09.15 WIB)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad