PANDEMI, RESESI DAN ILUSI

 


 

 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Sejak awal virus corona mewabah di Kota Wuhan China, masyarakat Indonesia telah banyak mengingatkan pemerintah untuk segera mengantisipasi. Bahkan saat pandemi masih terkategori rendah, masyarakatpun telah mengingatkan pemerintah agar segera melakukan lock down, demi menyelamatkan nyawa rakyat.

 

Tapi apa boleh buat, kini pandemi makin mewabah hampir tak bisa dikendalikan lagi. Zona merah penyebaran Covid-19 melanda berbagai kota di Indonesia, terutama jabodetabek. Lebih dari seratus dokter meninggal akibat terpapar. Bahkan DKI kembali memberlakukan PSBB seperti ketika awal wabah ini menjalar. Sementara wilayah penyangga ibu kota seperti Bogor dan Depok masuk zona marah bahkan hitam.

 

Kebijakan new normal yang tidak diikuti oleh disiplin protokol kesehatan serta beroperasinya alat transportasi publik seperti bus dan kereta telah berkontribusi besar bagi penyebaran virus hingga terus berkembang secara eksponensial. Korban terpapar terus bertambah setiap hari dan belum ada tanda-tanda sama sekali kondisinya melandai. Padahal menurut ilmuwan kebijakan new normal hanya bisa dilakukan saat kondisi melandai, bukan ketika eksponensial.

 

New normal yang berorientasi kepada ekonomi dengan dibukanya sentra-sentra ekonomi juga tidak menghasilkan pertumbuhan secara signifikan. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, gelombang PHK tidak bisa dihindari. Penambahan pengangguran makin meninggi, daya beli masyarakat makin melemah serta banyaknya perusahaan yang terpaksa harus menghentikan operasinya.

 

Tak hanya sampai disini, pandemi global ini bahkan telah mengancam negeri ini pada jurang resesi. Dengan indikasi sederhana seperti bertambahnya PHK, bertambahnya industri yang gulung tikar, penurunan pertumbuhan investasi, konstraksi pertumbuhan di lapangan usaha sertanya loyonya daya beli dan deflasi masyarakat, maka ancaman resesi adalah sebuh keniscayaan. Lebih ironis ketika 59 negara menolak kedatangan warga Indonesia karena pemerintah dinilai tak mampu mengendalikan penyebaran virus corona.

 

Secara fundamental, indikator resesi adalah saat pertumbuhan ekonomi (gross domestic bruto riil) menurun. Berbeda dengan krisis meneter yang lebih spesifik yakni ketika terjadi krisis bidang keuangan yang berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi. Krisis moneter inilah yang kemudian mendorong terjadinya resesi. Pandemi kali ini berpotensi besar mengancam terjadinya resesi.  Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar telah menyebabkan krisis ekonomi pada tahun 1998 yang lalu.

 

Resesi ekonomi tentu saja akan berdampak signifikan kepada psikososial masyarakat. Hilangnya pekerjaan akan menurunkan daya beli masyarakat. Anjloknya daya beli masyarakat akan berpengaruh kepada tekanan psikologis masyarakat. Tekanan psikologis akan akan mengakibatkan depresi sosial. Sementara depresi sosial berpotensi mengganggu stabilitas sosial. Sebab masyarakat tidak bisa menahan lapar. Kebutuhan pangan adalah kebutuhan dasar yang tak mungkin bisa ditunda, sementara daya belinya tidak ada.

 

Pandemi corona tak bisa dipungkiri telah membuktikan betapa rapuhnya fundamen sistem kapitalisme. Simbol-simbol kapitalisme mengalami keruntuhan yang tidak terduga akibat. Hampir seluruh aspek kehidupan mengalami disrupsi. Aspek ekonomi, pendidikan, budaya, politik, hubungan luar negeri terdampak kuat sejak corona muncul pertama kali di Wuhan China akhir tahun 2019 lalu.

 

Adalah sebuah ilusi jika negeri ini masih juga menerapkan sistem kapitalisme sekuler ini sebagai solusi krisis multidimensi negeri ini. Pandemi corona bahkan telah menimbulkan resesi global di seluruh dunia, bukan hanya Indonesia. New normal ala kapitalisme alih-alih menyelasaikan masalah, malah makin membawa krisis yang lebih dalam. Bencana non alam ini adalah peringatan nyawa bahwa peradaban kapitalisme dan komunisme hanyalah ilusi bagi cita-cita kehidupan manusia di dunia, terlebih di akhirat.  

 

Ibnu Khaldun, seorang sosiolog muslim telah melakukan riset terkait berdiri dan runtuhnya sebuah peradaban. Baginya ada lima sebab yang menjadikan sebuah peradaban bisa runtuh. Pertama, ketidakadilan, yakni ketika jarak antara si miskin dan si kaya terlalu lebar. Kedua, merajalela penindasan dari kelompok kuat kepada kelompok lemah. Ketiga, runtuhnya moralitas para pemimpin negara. Keempat, pemimpin yang bersifat tertutup, tidak mau dikritik dan diberi nasehat. Dan kelima ketika terjadi bencana besar atau peperangan.

 

Nah, disinilah Islam sebagai alternatif solusi bagi krisis multidimensi tak terbantahkan. Bukankah negeri ini telah gagal saat menerapkan komunisme sosialis dan kini kapitalisme sekuler. Sementara dunia telah menjadi saksi saat Islam diterapkan, terbukti bertahan selama 13 abad dari sejak Rasulullah hingga tahun 1924 ketika runtuhnya Turki Ustmani. Sementara tak sampai satu abad, sistem kapitalisme telah mengalami krisis berkali-kali.  

 

(AhmadSastra,KotaHujan,12/09/20 : 13.50 WIB)

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.