TREN GLOBAL MENGARAH KEPADA PERADABAN ISLAM



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Asas sekuleristik demokrasi telah dengan cepat merobohkan bangunan ideologi ini. Keruntuhan kapitalisme demokrasi disebabkan manusia di dunia yang terjerembab dalam kemiskinan dan kesengsaraan.

 

Selain itu demokrasi juga telah menjerumuskan manusia ke jurang perilaku amoralitas yang serba bebas. Naluri manusia sesungguhnya menginginkan kebahagiaan dan hal ini sama sekali tidak didapatkan dari demokrasi sekuler. Sebab dalam demokrasi, Tuhan sebagai sumber kebahagiaan justru dibuang jauh-jauh.

 

Karena Tuhan dianggap tak memiliki peran sedikitpun dalam konsep dan praktek demokrasi, maka nilai-nilai moral tidak berlaku sama sekali. Itulah sebabnya orang-orang yang berkarakter curang, bohong, koruptif, manipulatif yang akan bisa bertengger diatas kursi-kursi kekuasaan demokrasi.

 

Orang-orang baik yang mencoba ingin mengubah nasib hidupnya dengan masuk ke pusaran busuk demokrasi justru seringkali dianggap aneh dan terpinggirkan. Bahkan banyak orang-orang baik oleh pusaran busuk demokrasi dijebak dan dipaksa untuk menjadi orang jahat. Meski berlebihan, pernah ada yang ngomong bahwa jika ada malaikat masuk sistem (demokrasi) bisa berubah jadi iblis.

 

Keruntuhan ideologi komunisme yang telah mendahului demokrasi juga dikarenakan ideologi ini tak memiliki perikemanusiaan. Komunisme ateis menjadikan manusia sebatas seonggok materi yang hidup hanya untuk materi dan akan mati menjadi materi lagi. Tidak ada ruh sama sekali dalam ateisme. Bahkan komunisme tak mengakui adanya Tuhan.

 

Teori revolusi mental yang digagas oleh Karl Marx menegaskan bahwa jika suatu bangsa akan maju, maka satu-satunya cara adalah dengan menjauhkan rakyat itu dari agama. Itulah mengapa komunisme  menganggap bahwa agama sebagai candu. Segalanya dikuasi oleh negara menjadikan rakyat dalam negara komunisme mengalami kesengsaraan tanpa batas.

 

Tentu saja kerapuhan ideologi kapitalisme sekuler demokrasi dan komunisme ateis karena tidak sejalan dengan fitrah manusia pada umumnya. Secara fitrah, manusia adalah makhluk yang serba terbatas (relativismus uber alles). Keserbaterbatasan manusia ini telah cukup mengantarkan manusia pada situasi dimana ia senantiasa membutuhkan—dan bergantung pada—Zat Yang Tak Terbatas alias Yang Mahamutlak (Absolutismus uber alles); Dialah Tuhan sebagai The Ultimate Reality (Realitas Tertinggi, Wâjib al-Wujûd); Dialah Allah Swt. 

 

Secara fitrah pula, manusia dianugerahi oleh Allah Swt. naluri untuk beragama atau religiusitas (gharîzah at-tadayyun), yang merupakan sesuatu yang sudah built-in dalam dirinya, bahkan sejak sebelum kelahirannya ke alam dunia. Naluri ini telah cukup mendorong manusia untuk melakukan pemujaan terhadap apa yang dianggapnya sebagai The Ultimate Reality (Realitas Tertinggi) itu.

 

Sayang, dua kenyataan primordial (fitri) ini tidak serta-merta menjadikan manusia "tahu diri"; entah karena mereka tidak berpikir rasional (tidak menggunakan akal) atau karena mereka terlalu percaya diri akibat hegemoni hawa nafsu yang ada dalam dirinya. Pada saat ini, ketidaktahudirian manusia itu tercermin dalam dua sikap:

 

Pertama, pengingkaran secara total (sepenuh hati) terhadap eksistensi Tuhan sang Pencipta (ateisme). Ini tergambar pada manusia yang berpaham materialisme. Materialisme ini kemudian menjadi dasar pijakan ideologi Sosialisme-komunis.

 

Kedua, pengingkaran secara "setengah hati" terhadap eksistensi Tuhan. Ini tergambar pada manusia yang berpaham sekularisme, yakni yang mengakui keberadaan Tuhan, tetapi tidak otoritas-Nya untuk mengatur manusia, karena yang dianggap punya otoritas untuk mengatur manusia adalah manusia sendiri. Sekularisme ini kemudian menjadi landasan ideologi kapitalisme-sekular.

 

Secara umum, ideologi (Arab: mabda') adalah pemikiran paling asasi yang melahirkan—sekaligus menjadi landasan bagi—pemikiran-pemikiran lain yang menjadi turunannya. (M. Muhammad Ismail, 1958). Pemikiran mendasar dari ideologi ini dapat disebut sebagai akidah ('aqîdah), yang dalam konteks modern terdiri dari: (1) materialisme; (2)  sekularisme; (3) Islam. Akidah ini berisi pemikiran mondial dan global mengenai manusia, alam semesta, dan kehidupan dunia; tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia; berikut kerterkaitan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan setelah dunia ini. (M. Husain Abdullah, 1990).

 

Akidah ini kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran cabang yang berisi seperangkat aturan (nizhâm) untuk mengatur sekaligus mengelola kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya—politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Akidah dan seluruh cabang pemikiran yang lahir dari akidah itulah yang disebut dengan ideologi. Dengan ungkapan yang lebih spesifik, ideologi (mabda') dapat didefinisikan sebagai keyakinan rasional (yang bersifat mendasar, pen.) yang melahirkan sistem atau seperangkat peraturan tentang kehidupan (An-Nabhani, 1953: 22).

 

Dunia telah mengakui bahwa kepemimpinan ideologi kapitalisme sekuler demokrasi telah gagal total mensejahterakan manusia. Dari pemilu ke pemilu demokrasi makin menjadikan rakyat muak dan hilang kepercayaan. Kepemimpinan demokrasi adalah tipu-tipu semata. Sebagaimana komunisme, maka demokrasi juga akan segera runtuh oleh amoralitas para penguasa terpilih yang berbuat zolim kepada rakyatnya sendiri.

 

Sementara, fungsi kepemimpinan ideologis dalam Islam adalah untuk mengatur urusan manusia agar tertib sejalan dengan nash Al Qur’an serta tidak terjadi kekacauan dan perselisihan. Rasulullah memerintahkan kita agar mengangkat salah satu menjadi pemimpin dalam sebuah perjalanan . Islam mewajibkan kita untuk taat kepada Allah, Rasulullah dan kepada ulil amri yakni orang yang diamanahi untuk mengatur urusan umat. Ulil Amri ditaati sepanjang dia taat kepada Allah dan RasulNya. Jika menemukan persoalan, maka Islam menganjurkan untuk kembali kepada Allah dan RasulNya.

 

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An Nisaa : 59).

 

Ulil Amri menurut Imam Bukhari dan Abu Ubaidah memiliki makna orang yang diberi amanah untuk mengurus urusan orang-orang yang dipimpinnya. Abu Hurairah memaknai ulil amri sebagai al umara (penguasa). Maimun bin Mahram dan Jabir bin Abdillah memaknainya dengan ahlul ‘ilmi wa al khoir (ahli ilmu dan kebaikan).

 

Sedangkan Mujahid dan Abi Al Hasan memaknai kata ulil amri sebagai al ‘ulama. Dalam riwayat lain, Mujahid menyatakan bahwa mereka adalah sahabat Rasul. Ikrimah memaknai ulil amri lebih spesifik yakni Abu bakar dan Umar bin Khatab.

 

Menjadi seorang muslim dan mukmin adalah menjadi orang yang dengan sadar harus melaksanakan segala hukum dan aturan Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Menjadi seorang muslim berarti siap untuk senantiasa terikat dengan ajaran Islam. Keterikatan semua sikap dan tingkah laku kepada Islam adalah konsekuensi keimanan kepada Allah SWT.

 

Islam adalah agama yang benar dan sempurna karena berasal dari Allah yang maha sempurna. Islam adalah pedoman hidup menuju keselamatan dunia akherat. Meninggalkan hukum dan peringatan Allah akan melahirkan kesengsaraan dan kesempitan hidup.

 

Hal ini sejalan dengan peringatan Allah SWT : Dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta". (QS Thaha : 124)

Rasululah adalah pemimpin teladan dalam Islam yang sepenuhnya berhukum kepada wahyu Allah dalam mengatur seluruh urusan manusia dan dunia, bukan dengan hawa nafsu.

 

Dengan demikian, dalam konteks hari ini, seorang pemimpin yang wajib kita taati adalah pemimpin yang mengatur sistem pemerintahannya bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadist. Dengan kata lain seorang pemimpin muslim yang menerapkan Islam secara kaafah. Selain itu pemimpin itu juga harus seorang muslim, laki-laki, merdeka, berakal, baligh, adil, dan memiliki kemampuan.

 

Sebagai seorang muslim sudah memestinya kita sadar sepenuhnya untuk terikat kepada aturan dan hukum Allah dalam bersikap dan bertindak sekecil apapun. Semua sikap dan tindakan kita semestinya didasarkan oleh dalil agar kita tidak terjebak kepada tindakan yang justru dilarang oleh Allah SWT.

 

Sebab semua tindakan yang kita pilih akan dimintai peratnggungjawaban kelak di akherat. Jika perbuatan kita dilandasi oleh niat lillah dan mengikuti sunnah Rasululah, maka kita telah beramal sholeh dan karenanya mendapatkan pahala dari Allah SWT.

 

Menjadi pemimpin atau atau mentaati pemimpin adalah perbuatan yang juga akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akherat. Kesalahan memilih pemimpin yang tidak menerapkan Islam secara kaffah akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akherat. Islam memerintahkan kepada kita untuk masuk Islam secara kaaffah.

 

Udkhulu fissilmi kaafah. Kehidupan manusia di dunia ini akan penuh dengan keberkahan dan kesejahteraan jika diatur dengan hukum dan aturan Allah semata-mata karena didasari oleh keimanan dan ketaqwaan.

 

Hal ini sejalan dengan janji Allah : Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf : 96).

 

Dengan demikian penguasa dan pemimpin yang tidak mendorong terciptanya masyarakat yang beriman dan bertaqwa akan jauh dari keberkahan Allah. Penguasa yang tidak menerapkan Islam secara kaffah bukan hanya akan menimbulkan kesengsaraan rakyat, sebagaimana kepemimpinan kapitalisme sekuler dan komunisme ateis, namun lebih dari itu kita tidak boleh memilihnya apalagi mentaatinya.

 

Maka dengan akal sehat, ideologi Islam adalah sebuah keniscayaan masa depan, bukan khayalan. Tren global kini tengah mengarah kepada peradaban Islam, setelah peradaban kapitalisme dan komunisme hancur lebur. Peradaban Islam adalah sebuah keindahan dan kebaikan, bukan sesuatu yang berbahaya. Bahkan menegakkan peradaban Islam  merupakan kewajiban yang rasional dan sebuah kebutuhan, bukan imajinasi yang menyesatkan. Sejarah gemilangnya peradaban Islam adalah fakta, bukan imajinasi. Menegakkan kembali ada fardhu kifayah, bukan larangan. Tentu saja ini dalam sudut pandang syariah, bukan pemerintah.

 

Jadi peradaban Islam yang menerapkan syariah Islam secara kaffah selain rasional juga merupakan kebutuhan dunia. Selain solusi atas krisis multidimensi dunia, kepemimpinan Islam juga merupakan refleksi keimanan seorang muslim. Memperjuangkan Islam, insyaallah ibadah dan berpahala, sementara memperjuangkan demokrasi adalah maksiat yang penuh dosa.

 

Ketika tren global mengarah kepada peradaban Islam, maka sudah saatnya umat Islam bersatu padu memperjuangkannya karena Allah. umat Islam juga harus dengan tegas menolak segala bentuk penjajahan ideologi kapitalisme komunisme di seluruh dunia Islam. Yakinlah akan janji kemenangan Islam dari Allah.

 

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat (QS An Nashr : 1-3)

 

(AhmadSastra,KotaHujan,30/11/20 : 23.30 WIB)

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.