Oleh : Ahmad Sastra
Vox Populi, Vox Dei yang berasal dari bahasa latin bermakna suara rakyat adalah suara tuhan adalah istilah yang telanjur menjadi mantera yang menyihir banyak orang, meski sering kali tidak dipahami dengan mendalam dan bahkan tidak mengetahui genealoginya. Secara filosofis, pustulat ini menganding logical fallacy, sebab kata rakyat yang notabene manusia disejajarkan dengan tuhan yang notabene pencipta manusia.
Secara filosofis, ada beberapa kemungkinan makna dibalik postulat itu. Pertama bermakna bahwa suara rakyat itu mewakili suara tuhan. Tuhan direpresentasi sebagai suatu kebenaran mutlak. Sementara fakta rakyat yang terdiri dari kumpulan manusia tidak pernah didapatkan rumusan kebenaran mutlak. Justru sebaliknya, manusia itu penuh kesalahan dan kelemahan. Manusia sendiri juga sesungguhnya tidak pernah mengetahui suara tuhan. Bagaimana pula jika rakyat itu kumpulan dari orang-orang jahat. Bagaimana pula jika rakyat adalah rakyat komunis yang tidak percaya tuhan ?. Bagaimana pula jika rakyat itu dari komunitas yang berbeda agama diman nama tuhannya juga berbeda-beda ?. Dari analisa filosofis ini bisa disimpulkan bahwa mustahil manusia bisa mewakili kebenaran mutlak tuhan. Ini logical fallacy yang pertama.
Kemungkinan kedua dalam tinjauan filosofis, istilah ini bermakna bahwa rakyat adalah representasi dari tuhan itu sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa demokrasi sendiri tidak pernah punya definisi tentang tuhan. Demokrasi merumuskan kebenaran dengan melakukan konsensus pemikiran terutama elit politik yang mesti ditaati oleh rakyat. Mereka menamakan dirinya dengan wakil rakyat. Demokrasi memang membawa sifat antroposentrisme dan antropomorpisme sejak lahir dimana manusia merupakan pusat edar kehidupan itu sendiri. Makna lainnya bahwa demokrasi itu menuhankan manusia. Hukum yang ditaati dalam demokrasi adalah hukum yang dibuat oleh manusia. Padahal faktanyanya, manusia bukanlah tuhan. Ini logical fallacy kedua.
Kemungkinan ketiga adalah bermakna bahwa manusia dalam hal ini rakyat berhak mendikte tuhan dan memaksa tuhan untuk sependapat dengan suara rakyat. Sebab yang bersuara adalah rakyat dengan meminjam nama tuhan sebagai legitimasi. Secara filosofis bermakna rakyat membajak tuhan. Apakah hal ini logis, tentu saja irasional. Sebab yang terjadi justru manusia itu bergantung kepada tuhan, bukan tuhan yang bergantung kepada manusia. Sebab yang seharusnya terjadi adalah manusia tunduk kepada tuhan, bukan tuhan tunduk kepada manusia. Ini logical fallacy ketiga.
Secara filosofis dapat disimpulkan bahwa postulat suara rakyat suata tuhan adalah paradoksal atau absurd. Suatu rumusan postulat yang irasional tentu saja tidak mengandung kebenaran. Jika ada manusia yang meyakini bahwa postulat itu benar, maka manusianya yang tidak berpikir dengan akal sehat atau tidak berfikir secara mendalam. Jika postulat itu menjadi jargon demokrasi, maka sesungguhnya demokrasi telah menyesatkan pikiran manusia dan bahkan telah menciptakan kedunguan kolektif. Jika hari ini masih ada rakyat yang percaya jargon demokrasi ini, maka mereka sedang dijebak dalam kegelapan pikiran.
Ini tiga bentuk logical fallacy dalam perspektif filosofis, bagaimana pula jika ditinjau dari perspektif historis. Saya mengutip dari apa yang ditulis oleh Gunawan Muhammad untuk memberikan deskripsi historis postulat di atas, berikut petikan tulisannya :
“Rakyat”, dalam semboyan di atas, adalah terjemahan kata ‘populi‘, dari sebuah kalimat bahasa Latin: ‘vox populi vox dei‘. Kalimat itu jadi terkenal sebagai petikan sebuah pesan yang diutarakan di abad ke-8 — pesan yang justru bukan untuk memperkukuh posisi politik populi. Ia bagian dari nasihat Alcuin, seorang cendekiawan yang jadi sahabat Karl yang Agung, raja orang Frank. Alcuin agaknya mendengar semboyan itu beredar dan itu membuatnya risau. Ia mencemaskan masuknya “rakyat” dalam percakapan politik: “Jangan dengarkan mereka yang terus menerus mengatakan, ‘suara rakyat adalah suara Tuhan’, sebab keributan orang kebanyakan (tumultuositas vulgi) selamanya dekat dengan kegilaan.”
Hampir 1000 tahun kemudian, di Inggris, ada kecemasan lain. Pada bulan November 1719, seorang pemuda yang belum berumur 19 dihukum gantung: John Matthews diketahui mencetak pamflet politik dengan judul panjang, Ex Ore tua te Judico: Vox Populi vox Dei. Anak muda itu pendukung kaum Jacobites, yang memperjuangkan kembalinya dinasti Katholik di tahta Inggris yang sejak seabad sebelumnya diduduki raja-raja Protestan — sebuah konflik politik dan agama yang menimbulkan sengsara bertahun-tahun. Dari latar belakang itu, pamflet Matthews — yang mengulang sebuah traktat lama dari tahun 1709 — bukanlah penganjur “kedaulatan rakyat.” Ia bahkan menegaskan perlunya kedudukan raja berdasarkan keturunan. Kata populi adalah pekik perlawanan terhadap kekuasaan yang dianggapnya sah.
Ternyata sebagaimana perspektif filosofis, secara historis istilah vox populi vox dei justru tidaklah istilah yang bermakna bahwa rakyat benar-benar berdaulat sebagaimana sering diteriakkan oleh para begundal demokrasi yang sedang ingin meraih kekuasaan. Istilah ini faktanya justru sering dimaknai secara politis untuk mempertahankan kekuasaan para wakil rakyat, namun sesungguhnya mereka tidaklah benar-benar mewakili rakyat. Sebab faktanya, wakil rakyat seringkali justru hanya menjadi stempel oligarki dalam meloloskan undang-undang pesenan mereka dengan imbalan materi. Begitulah fakta demokrasi yang sebenarnya rakyat lihat sehari-hari, terutama menjelang pemilu. Sebagaimana Gunawan Muhammad, penulis sendiri juga tidak tahu sejak kapan istilah suara rakyat suara tuhan masuk dalam jargon politik di Indonesia.
Bagaimana pula jika postulat filsafat ini ditimbang dalam perspektif epistemologi Islam ?. Islam adalah satu-satunya agama wahyu yang secara tegas memiliki nama Tuhan yang disembah, yakni Allah SWT. Nama ini disampaikan oleh Allah sendiri melalui firmanNya : Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia" (QS Al Ikhlas : 1-4).
Allah juga menyatakan dirinya sebagai pencipta manusia dan alam semesta : (Tuhan) Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara. Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan (QS Ar Rahman : 1-5).
Dari dua ayat ini saja telah nampak jelas maknanya bahwa tuhan dan manusia adalah dua hal yang berbeda, Tuhan adalah pencipta, sementara manusia adalah makhluk yang diciptakan. Keduanya tidak mungkin bersatu, sejajar atau saling mewakili satu dan yang lainnya. Islam mengajarkan bahwa manusia itu wajib menyembah dan bergantung kepada Allah, sementara Allah tidak bergantung kepada makhluk.
Jikapun ada manusia yang ditunjuk untuk mewakili ajaran-ajaran Allah adalah para Nabi dan Rasul. Meski demikian, para Nabi dan Rasul hanya mewakili sebagai utusan kepada manusia atau kaumnya yang hidup pada zamannya. Setinggi apapun pengetahuan seorang Nabi dan Rasul tidak mungkin bisa sejajar dengan ilmunya Allah yang Maha luas. Nabi dan Rasul tetap memiliki keterbatasan sebagaimana ditentukan oleh Allah.
Sementara manusia muslim selain Nabi dan Rasul bukanlah utusan Allah yang wajib mengikuti Rasulullah. Jika Rasulullah memiliki pemahaman sempurna atas firman-firman Allah, namun tidaklah demikian dengan manusia lainnya. Meski demikian, Islam tetap membedakan antara firman Allah yang termaktub dalam Al Qur’an dan perkataan Nabi yang termaktib dalam Hadist. Ikhtiar seorang muslim dalam menjalankan ajaran Allah adalah sebagai bentuk amal sholih dan mentaati perintahnya, bukan dalam rangka mewakili kebenaran Allah yang mutlak itu.
Oleh sebab itu istilah suara rakyat suara tuhan dalam perspektif epistemologi islam adalah kesesatan fatal atau mutlak batil yang tentu haram dipercaya apalagi diadopsi. Jika istilah sesat itu secara resmi menjadi jargon demokrasi, maka demokrasi itu sendiri adalah sebuah kesesatan yang nyata.
Dengan demikian, baik secara filosofis, historis maupun epistemologis (Islam) istilah suara rakyat suara tuhan adalah istilah yang sesat dan menyesatkan. Dalam istilah filsafat disebut logical fallacy.
(AhmadSastraKotaHujan,19/12/21 : 14.30 WIB)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad