PELACUR INTELEKTUAL - Ahmad Sastra.com

Breaking

Sabtu, 01 Januari 2022

PELACUR INTELEKTUAL



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Secara historis, peran kaum intelektual, meski jumlahnya sedikit, namun sangat strategis dalam menentukan hitam putihnya peradaban suatu bangsa. Negara berperadaban selalu   memberikan ruang ekspresi para ilmuwannya dalam melakukan transformasi sosial. Kaum intelektual mengisi setiap wajah peradaban sepanjang masa.

 

Plato, seorang pemikir Yunani, pernah mensyaratkan bahwa idealnya seorang pemimpin negara adalah dari kalangan intelektual atau filsuf.  Bagi Plato, bila kebajikan telah didapat, memimpin orang menuju kemaslahatan, bukanlah hal yang perlu diragukan. Intelektualitas, dalam pandangan Plato berbanding lurus dengan kebajikan peradaban. Aristoteles, murid setia Plato mensyaratkan satu kriteris lagi, yakni kepedulian terhadap persoalan masyarakat.

 

Intelektualitas adalah energi kebaikan dan kemajuan peradaban bangsa. Sebab kaum intelektual adalah mereka yang memiliki potensi saintifik dan mengejawantahkan dalam hubungannya dengan lingkungan dan permasalahan yang timbul dalam kehidupan sekitarnya berdasar argumentasi rasional. Perkembangan filsafat Yunani yang berawal dari antitesis atas dominasi mitos dikarenakan adanya ruang berfikir yang dibuka lebar. Para filosof adalah mereka yang mencurahkan pemikiran untuk menunjukkan kebenaran dalam rangka meraih kebahagiaan.

 

Cattel (dalam Clark, 1983) menegaskan bahwa intelektualitas merupakan  kombinasi sifat-sifat manusia yang terlihat dalam kemampuan memahami hubungan yang lebih kompleks, semua proses berfikir abstrak, menyesuaikan diri dalam pemecahan masalah dan kemampuan memperoleh kemampuan baru.

 

Relasi intelektualitas dengan kemajuan peradaban sebuah bangsa adalah daya analitik dan problem solving. Bagi David Wechsler intelektualitas adalah totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi lingkungan secara efektif.

 

Konsepsi intelektualitas dalam Islam disebut ulil al baab, yakni mereka yang senantiasa berpikir tentang fakta empirik seperti manusia, kehidupan dan alam semesta yang direlasikan dengan eksistensi Allah. Peradaban ulil al baab tidak sebatas untuk meraih kemajuan santifik semata, namun juga untuk mewujudkan kemuliaan perilaku manusia.

 

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. (QS Ali Imran : 190-191).

 

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana aia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan ?. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan ?. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan ?. (QS Al Ghaasyiah : 17-20)

 

Konsepsi intelektualitas dalam peradaban Islam bukan sebatas berfikir, namun juga memberikan peringatan kepada manusia. Sesungguhnya kami mengutusmu (wahai Muhammad) dengan haq sebagai pemberi kabar gembira (basyiran) dan peringatan (nadziran) (QS Al Baqarah : 119). Maka berilah peringatan, karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. (QS Al Ghaasyiyah : 21). Dan Kami tidak membinasakan satu negeri pun, melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi peringatan (QS Asy Syu’araa : 208).

 

Transformasi peradaban Islam dilandasi oleh aqidah yang menghasilkan pancaran sistem aturan bagi kehidupan manusia dalam mengelola kehidupan dan alam semesta. dari paradigma tauhid inilah transformasi sosial berlangsung dalam kerangka peradaban Islam yang maju dna mulia. Peradaban Islam membawa kehidupan manusia menjadi kehidupan yang penuh kemajuan dan kemuliaan sekaligus. Transformasi sosial berbasis tauhid melahirkan masyarakat yang beriman, bertaqwa dan beradab yang melahirkan keberkahan di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (QS Adz Dzariyat : 56). Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (QS Al Anbiyaa : 107). Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (QS Al A’raf : 96).

 

Sebaliknya, jika suatu bangsa, kaum intelektualnya tidak lagi berjalan di atas jalan ilmu yang lurus, namun sudah melakukan penyimpangan, berarti mereka tengah mengalami turbulensi intelektual atau tengah memilih untuk menjadi pelacur intelektual. Turbulensi pesawat akan mengakibatkan kegoncangan di udara, sementara turbulensi intelektual akan menyebabkan kekacauan kehidupan sosial suatu bangsa. 

 

Ibarat pesawat yang mengalami turbulensi.  Turbulensi merupakan kondisi ketika kecepatan aliran udara berubah drastis. Hal ini membuat tubuh pesawat akan terguncang, baik itu guncangan ringan maupun guncangan yang kuat. Penyebab utama turbulensi yang terjadi pada umumnya adalah awan, yakni saat pesawat harus menembus awan.

 

Turbulensi pesawat setidaknya ada empat level, yakni kegoncangan kecil, sedang, parah dan ekstrim. Level pertama sama sekali tidak memiliki dampak, level dua mengakibatkan pergeseran benda dia tas meja, level tiga bisa mengakibatkan penumpang terlempar dari kursi jika tanpa sabuk pengaman, sementara level empat bisa menghilangkan kendali pilot.

 

Sementara turbulensi intelektual memiliki dampak lebih besar dari turbulensi pesawat. Kekacauan pemikiran para intelektual bisa mengakibatkan tranformasi sosial yang destruktif. Disorientasi intelektual akibat faktor internal berupa logical fallacy atau faktor eksternal berupa pragmatisme akan berdampak kerusakan fisis maupun non fisis.

 

Pemikiran kaum ateis yang berpaham materialisme telah melahirkan rusaknya peradaban manusia. Begitupun pemikiran sekuler yang memisahkan antara agama dan kehidupan juga telah menimbulkan kerusakan sosial. Peradaban yang tidak tegak diatas nilai-nilai agama akan kehilangan esensi kehidupan, manusia dan alam semesta. Para pemikir materialisme dan sekulerisme sejatinya adalah para pelacur intelektual.  

 

Peradaban Barat dengan landasan epistemologi sekuleristik telah melahirkan bangsa yang kehilangan esensi kemanusiaannya. Paham psikoanalisa Freud dimana libido mendominasi pergerakan pemikiran telah menjadikan peradaban Barat mengalami kekacauan. Berbagai bentuk amoralitas terjadi dalam peradaban Barat. 

 

Dari paradigma sains sekuler inilah awal dari kerusakan bumi dengan  sumber daya alamnya hingga kerusakan manusia dengan pemikiran, jiwa dan perilakunya. Allah dengan tegas telah memberikan ilustrasi fakta ini dalam surat ar Ruum : 41, “ telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

 

Kaum intelektual muslim di Indonesia memiliki tugas besar dan mulia untuk mengantarkan negeri ini menjadi negeri yang diridhoi Allah. Adalah musibah besar jika kaum intelektual muslim mengalami turbulensi intelektual akibat terpapar paham liberalisme, sekulerisme, pluralisme, komunisme dan isme-isme yang berasal dari filsafat Barat. Turbulensi intelektual juga bisa terjadi karena faktor eksternal, yakni ketika kaum intelektual telah menjadi budak kekuasaan yang zalim.

 

Dahulu kekuasaan fir’aun dan namrud ditopang oleh kaum intelektual yang membudak kepadanya demi mendapatkan sekerat duniawi. Pemikir yang menjual ilmunya demi membudak kepada kekuasaan zalim lebih hina dibandingkan seorang pelacur. Pelacur intelektual lebih berbahaya dibanding pelacur yang menjual dirinya. Sebab pelacur intelektual akan berdampak kepada kerusakan sosial yang lebih luas.

 

Jika kaum intelektual muslim Indonesia yang mestinya menjadi lentera pencerah bagi masa depan peradaban bangsa telah mengalami sesat pikir karena virus isme atau telah menjadi budak kekuasaan zalim, maka perjalanan peradaban negeri ini sesungguhnya tengah menuju kegelapan.

 

Arus postmodernisme oleh Ernest Gellner dimaknai sebagai gerakan dekonstruksi makna dengan memunculkan berbagai kontradiksi. Tentu saja, secara aksiologis, gerakan ini akan membawa daya rusak alam pikiran manusia. Sementara pemikiran yang rusak akan melahirkankerusakan kehidupan secara keseluruhan.

 

Memang benar bahwa pilar utama berdirinya sebuah peradaban adalah intelektualitas yang melahirkan ilmu, paradigma bahkan ideologi. Suram dan cerahnya peradaban bangsa sangat bergantung kepada cara pandang (worldview) bangsa tersebut terhadap manusia, kehidupan dan alam semesta korelasinya dengan eksistensi Tuhan.

 

Oleh Michel Foucolt dan Akbar S. Ahmed, gerakan post modernisme telah mengarah kepada dekonstruksi atas agama, dimana Tuhan tidak lagi dilibatkan dalam upaya pembangunan peradaban manusia. Akibatnya, saat ini pemikiran sekuler dan liberal yang berusaha menjauhkan dari agama telah mendominasi dan bahkan menghegemoni peradaban modern.

 

Telah terlalu banyak bukti-bukti empiris daya rusak sekulerisme dan liberalisme atas berbagai sendi kehidupan dan peradaban bangsa. Sebab intelektualitas berbalut sekulerisme telah menjauhkan manusia dan kehidupan dari kebaikan agama. Sementara liberalisme telah memunculkan peradaban hewani yang tak terbayangkan sebelumnya.

 

Lebih dari itu, sekulerisme dan liberalisme merupakan proxywar bagi dunia Islam. Sebab sains dan teknologi tanpa agama cenderung menjajah, sementara agama tanpa sains dan teknologi akan terjajah. Integrasi sains dengan agama yang ditawarkan Islam akan melahirkan kemerdekaan dan kemakmuran. Keshalihan intelegensia yang ditawarkan Islam adalah alternative terbaik bagi kebaikan masa depan peradaban manusia modern.

 

Dalam pandangan Islam, Allah adalah pencipta manusia, kehidupan dan manusia yang telah memberikan blue print dan road map agar kehidupan dunia ini konstruktif. Hal ini menegaskan bahwa Allah lah sumber ilmu dan kebenaran yang terwujud dalam ayat qauliyah dan qauniyah. Paradigma inilah yang harus menjadi pijakan dalam merumuskan ontologi, epistemologi dan aksiologi peradaban bangsa.

 

Secara historis, pertumbuhan intelektualitas terjadi sejak adanya manusia itu sendiri. Sebab karakter utama manusia adalah berakal yang maknanya memiliki potensi berfikir, berbeda dengan makhluk berjenis binatang yang hanya diberikan naluri. Intelektualitas adalah anugerah Allah kepada manusia. Dari intelektualitas inilah lahirnya berbagai peradaban di seluruh penjuru dunia dari masa ke masa.

 

Membungkam intelektualitas adalah bentuk kejahatan sekaligus kebodohan. Membungkan intelektualitas suatu bangsa berarti bangsa tersebut tengah mengizinkan kehancuran dan kemusnahan. Kekuasaan anti inteletualitas adalah kekuasaan diktator yang justru sedang membunuh dirinya sendiri. Kekuasaan anti argument adalah kekuasaan terburuk sepanjang sejarah peradaban.

 

Peradaban Islam patut menjadi contoh bagi peradaban manapun di dunia. Peradaban Islam yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah telah bertahan lebih dari 13 abad menandakan bahwa peradaban ini sangat menjujung tingga ilmu dan intelektualitas. Lahirnya para ilmuwan muslim yang sangat dikenal di dunia adalah fakta sejarah.

 

Peradaban agung Islam adalah peradaban ilmu dan adab akan bisa bertahan lama. Sebaliknya, yang dilandasi oleh nafsu dan kepentingan duniawi tak pernah bertahan lama, ia akan segera tumbang oleh kecongkakannya sendiri. Indonesia, bangsa muslim terbesar di dunia ini harus banyak belajar dari peradaban Islam.

 

Peradaban fir’aunisme yang tumbang karena kecongkakannya juga ditopang oleh para budak-budak intelektual yang hanya menjadi stempel dan legetimasi apologetik kezoliman raja fir’aun. Budak-budak intelektual kepada kekuasaan diktator fir’aun lebih bahaya dari penjahat dan lebih hina dari seorang pelacur atau lonte sekalipun.

 

Karena bisikan para intelektual bermental budak, fir’aun begitu membenci dan memusuhi Musa yang seorang utusan Allah. Nabi Musa dimata fir’aun adalah penjahat dan pemberontak  yang layak dimusuhi dan dimusnahkan. Pada awalnya, fir’aun begitu merendahkan Musa, selanjutnya memberikan ancaman, setelah gagal, maka fir’aun lantas mengadu domba rakyat agar memusuhi Musa.

 

Kaum intelektual idealnya berdiri tegak dan jauh dari kekuasaan, jika pada akhirnya hanya menjadi budak. Kaum intelektual yang bergabung dengan kekuasaan mestinya menjadi energi positif bagi lahirkan kekuasaan yang baik serta peradaban mulia. Kampus-kampus mestinya menjadi mimbar akal sehat yang mampu memberikan pencerahan atas perjalanan suatu bangsa.

 

Adalah kekelapan peradaban bagi bangsa jika kampus berubah menjadi penjara bagi argumentasi. Lebih ironis lagi jika kampus ikut menjadi budak kekuasaan sehingga bangsa tersebut tak lagi punya daya pikir. Kampus sesungguhnya adalah satu-satunya ruang bagi tumbuh kembang intelektual, jika telah membudak pada kekuasaan, maka akan lahir dari bangsa tersebut bangsa yang dungu dan terbelakang.

 

Ketika intelektualitas membudak kepada kekuasaan, maka itu pertanda kegelapan masa depan bangsa tersebut. Kegelapan kekuasaan fir’aun dan namrud mestinya cukup menjadi pelajaran bagi suatu bangsa. Padahal kekuasaan hanyalah sesaat yang pada waktunya akan runtuh dan berganti.

 

Peradaban demokrasi sekuler kapitalisme seperti Amerika pada akhirnya runtuh berkeping. Peradaban komunisme ateis seperti Uni Soviet juga tidak lama bertahan. Sementara peradaban Islam telah terbukti bertahan lama, sebab integrasi wahyu dan intelektualitas menjadi energinya.

 

Psikologi keterjajahan bangsa ini memang telah lama mengurat saraf dari generasi ke generasi. Dalam istilah lain bangsa ini dalam kubangan hegemoni dan intervensi kolonialisme. Strategi mencari jalan keluar dari hegemoni dan imperialisme asing inilah yang menjadi tugas pertama para intelektual dengan gagasan dan pemikirannya.

 

Tugas pertama seorang mukallaf (muslim) menurut  Imam Syafi’i adalah memikirkan kemajuan agamanya. Dengan potensi sumber daya alam yang melimpah dan potensi cendekiawan muslim yang juga melimpah sudah semestinya Indonesia berdaulat dan bermartabat dari sejak dulu, namun faktanya hingga hari ini bangsa ini justru kian terjajah.

 

Nah. Bagaimana mau mengeluarkan negeri ini dari hegemoni neokolonialisme jika kaun intelektual justru tengah terjerembab pada kubangan pragmatisme kekuasaan. Apa yang bisa diharapkan dari kaum intelektual bermental budak kekuasaan. Apa yang bisa diharapkan dari kaum intelektual yang berubah jadi bunglon, beda saat masih di luar, berbeda lagi saat berkuasa.

Benarlah apa yang diungkapkan oleh George Washinton, presiden pertama Amerika bahwa jika ingin melihat manusia berubah, maka beri dia kekuasaan. Artinya kaum intelektual yang dekat dengan kekuasaan bisa jadi berubah jadi jahat dan bodoh, meskipun bisa jadi juga akan berubah menjadi lebih baik.

 

Kesadaran mendalam untuk terus memberikan  arah dan pencerahan bagi seluruh bangsa ini merupakan amanah abadi yang harus terus dipikul oleh kaum intelektual, terlebih intelektual muslim. Dengan manhaj Islam yang agung ini, insyaallah bangsa ini akan bermartabat. Sebab bermartabat bukan hanya soal kemajuan dan kedaulatan, namun juga soal kemuliaan.

 

Saatnya menjadi intelektual yang berdiri lurus memberikan pencerahan saat bangsa ini redup dan meluruskan saat bangsa ini bengkok. Saatnya menghidupkan kembali radisi ilmu, argumentasi dan akal sehat di kampus-kampus. Jangan pernah mau menjadi budak kekuasaan yang tiba-tiba jadi dungu. Sebab perbudakan adalah kematian bagi sebuah bangsa.

 

Nah disinilah letak peran strategis kaum intelektual agar tetap berdiri kokoh memerikan pencerahan dan peringatan bagi perjalanan sebuah bangsa dan peradabannya. Pantang seorang intelektual melacurkan diri kepada kekuasaan. Ingat diutusnya Rasulullah adalah sebagai pemberi kabar gembira sekaligus pemberi peringatan.

 

Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-penghuni neraka. (QS Al Baqarah : 119)

 

(AhmadSastra, KotaHujan, 01/01/22 : 14.50 WIB)

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories