BUAT APA BERKUASA, JIKA TIDAK UNTUK MENEGAKKAN HUKUM ALLAH ? - Ahmad Sastra.com

Breaking

Minggu, 17 April 2022

BUAT APA BERKUASA, JIKA TIDAK UNTUK MENEGAKKAN HUKUM ALLAH ?



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS Al Ahzab : 21).

 

Dialah (Allah ) yang telah mengutus RasulNya dengan membawa petunjuk (Al-qur’an) dan agama yang benar (Islam), sekalipun orang-orang musyrik membencinya (QS. At-Taubah : 33)

 

Keteladanan Rasulullah, salah satunya adalah soal kepemimpinan beliau di Daulah Madinah yang menerapkan Islam secara kaffah. Daulah Islam Madinah adalah contoh sempurna bagi kenegaraan Islam. Rasulullah menjadi pemimpin Madinah dengan tujuan untuk menerapkan syariah Islam. Begitulah semestinya seorang pemimpin dalam pandangan Islam.

 

Al Qur’an mengenalkan istilah khalifah sebagai konsep kepemimpinan Islam. Disebut dengan istilah raja karena memimpin kerajaan. Disebut sultan karena memimpin kesultanan. Maka disebut khalifah karena memimpin khilafah. Sederhana kan ?.

 

Itulah mengapa para khalifah seperti Abu Bakar Shiddiq, Umar Bin Khathab, Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib memimpin sebuah institusi bernama khilafah. Begitupun khilafah bani Umayyah dan Usmaniyah. Para khalifah adalah pemimpin Islam yang menerapkan syariah Islam. Jadi untuk apa berkuasa, jika tidak untuk menegakkan hukum Allah ?

 

Esensi khilafah dalam Islam adalah untuk menerapkan syariat dan hukum Allah secara sempurna di berbagai bidang kehidupan manusia. Esensi kedua khilafah adalah dakwah rahmatan lil alamin ke seluruh penjuru dunia. Esensi ketiga khilafah adalah mewujudkan persatuan umat seluruh dunia dalam satu kepemimpinan.

 

Khilafah didefinisikan sebagai kepemimpinan umum bagi kaum muslim secara keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syara’ serta mengemban dakwah Islam keseluruh dunia (Syeikh Abdul Majid Al-khalidi, Qawaid Nidzam Al Hukum fii Al Islam, hal 238)

 

Masalah kepemimpinan dalam pandangan  Islam adalah perkara yang sangat penting.  Saking pentingnya keberadaan kepemimpinan dalam islam, tatkala Rasulullah wafat, para sahabat menunda memakamkan jenazah Rasulullah selama dua malam untuk bermusyawarah memilih pemimpin pengganti kepemimpinan Rasulullah dan terpilihlah sahabat Abu Bakar Asy Siddiq menjadi seorang khalifah pertama dalam Islam.

 

Fungsi  kepemimpinan dalam Islam adalah untuk mengatur  urusan manusia agar tertib sejalan dengan  nash Al Qur’an  serta tidak terjadi kekacauan dan perselisihan. Rasulullah memerintahkan kita agar mengangkat salah satu menjadi pemimpin dalam sebuah  perjalanan.

 

Imam Al Ghazali mengatakan bahwa sesungguhnya dunia adalah ladang bagi akhirat, tidaklah sempurna agama kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar; agama merupakan  pondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur, dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Dan tidaklah sempurna kekuasaan dan hukum kecuali dengan adanya pemimpin.

 

Islam mewajibkan kita untuk taat kepada Allah, Rasulullah dan kepada ulil amri yakni orang yang diamanahi untuk mengatur urusan umat. Ulil Amri ditaati sepanjang dia taat kepada Allah dan RasulNya. Jika menemukan persoalan, maka Islam menganjurkan untuk kembali kepada Allah dan RasulNya. Agama / Dien yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, dirinya sendiri dan sesama manusia.

 

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An Nisaa : 59)

 

Ulil Amri menurut Imam Bukhari dan Abu Ubaidah memiliki makna orang yang diberi amanah untuk mengurus urusan orang-orang yang dipimpinnya. Abu Hurairah memaknai ulil amri sebagai al umara (penguasa). Maimun bin Mahram dan Jabir bin Abdillah memaknainya dengan ahlul ‘ilmi wa al khoir (ahli ilmu dan kebaikan).  Sedangkan Mujahid dan Abi Al Hasan memaknai kata ulil amri sebagai al ‘ulama. Dalam riwayat lain, Mujahid menyatakan bahwa mereka adalah sahabat Rasul. Ikrimah memaknai ulil amri lebih spesifik yakni Abu bakar dan Umar bin Khatab.

 

Udkhulu fissilmi kaafah. Kehidupan manusia di dunia ini akan penuh dengan keberkahan dan kesejahteraan jika diatur dengan hukum dan aturan Allah semata-mata karena didasari oleh keimanan dan ketaqwaan. Hal ini sejalan dengan janji Allah : Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf : 96)

 

Dengan demikian penguasa dan pemimpin  yang tidak mendorong terciptanya masyarakat yang beriman dan bertaqwa akan jauh dari keberkahan Allah.  Penguasa yang tidak menerapkan Islam secara kaffah bukan hanya akan menimbulkan kesengsaraan rakyat, lebih dari itu kita tidak boleh memilihnya apalagi mentaatinya. Jadi untuk apa berkuasa, jika tidak untuk menegakkan hukum Allah.

 

(AhmadSastra,KotaHujan,17/04/22 : 20.30 WIB)

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

1 komentar:

  1. Betul sekali pak. Tapi sayangnya masih banyak umat Islam yang cukup puas dengan hanya terpilihnya figur muslim idola mereka, tapi ga peduli dengan aturan apa yang kan diterapkan.

    BalasHapus

Categories