KETIKA PEREMPUAN MABOK SOSMED



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Hadirnya teknologi informasi sebagai pertanda datangnya era 4.0 telah banyak mengubah pola pikir dan pola sikap manusia di seluruh dunia. Pola hidup konvensional berubah drastis ke pola hidup digital telah menyeret manusia pada dua sisi yang kontradiksi secara diametral, antara positif dan negatif. Gelombang sosial media yang kini telah sampai ke genggaman setiap individu telah menyeret setiap individu kepada ekspresi diri tiada batas.

 

Zaman dulu untuk mengakses intermet adalah pekerjaan yang sangat sulit. Harus memiliki telepon rumah dahulu, harus pergi ke warnet butuh usaha lebih. Berbeda dengan sekarang dimana teknologi informasi telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Bahkan sesaat lagi akan masuk ke teknologi informasi yang namanya metaverse.

 

Revolusi teknologi informasi yang ditandai oleh adanya internet, smart phone dan aplikasi virtual telah memberikan pengaruh besar terhadap pola kehidupan masyarakat dunia. Melalui landskap digital, hampir tak ada jarak lagi antar manusia, bahkan antar negara. Internet telah berhasil menghubungkan seluruh manusia di dunia dalam satu ruang digital untuk saling berkomunikasi, baik verbal maupun visual. Konten negatif maupun positif terus menggelombang setiap detiknya memenuhi  ruang digital. Setiap detik, jutaan manusia mengakses informasi digital, bahkan tidak pernah berhenti, silih berganti.

           

WeareSocial dan Hootsuite, tiap tahun merilis tentang lanskap digital. Data tahun 2020 mengungkap beberapa hal menarik terkait perkembangan dunia digital di seluruh dunia. Berdasarkan Digital 2020 terungkap bahwa pengguna internet di seluruh dunia telah mencapai angka 4,5 milyar orang. Angka ini menunjukkan bahwa pengguna internet telah mencapai lebih dari 60 persen penduduk dunia yang kini mencapai angka  7.794.798.739. 

           

Sebanyak 4,5 milyar, dari jumlah penduduk dunia 7,8 milyat, ternyata yang telah menggunakan sosial media sebanyak 3,8 milyar. Angka pengguna sosial media dengan demikian sangat tinggi, sebab dengan perbandingan seperti ini pengguna sosial media itu ibarat ada 10 orang berkumpul dan ada 8 orang yang telah menggunakan sosial media.

 

Jika dilihat dari sisi waktu penggunaan internaet, maka didapatkan data bahwa pengguna internet masyarakat dunia rata-rata menghabiskan waktu selama 6 jam 43 menit. Sepertiga dari waktu atau sekitar 2 jam 24 menit untuk online tersebut digunakan untuk mengakses sosial media setiap harinya.

 

Masih berdasarkan hasil riset  WeareSocial dan Hootsuite yang dirilis Januari 2019 pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi. Jumlah tersebut naik 20% dari survei sebelumnya. Sementara pengguna media sosial mobile (gadget) mencapai 130 juta atau sekitar 48% dari populasi yang kini mencapai angka 269,6 juta jiwa.

 

Youtube menjadi platform yang paling sering digunakan pengguna media sosial di Indonesia berusia 16 hingga 64 tahun. Persentase pengguna yang mengakses Youtube mencapai 88%. Media sosial yang paling sering diakses selanjutnya adalah WhatsAppa sebesar 84%, Facebook sebesar 82%, dan Instagram 79%.

 

Kis Uriel, seorang Development Coach dan Storyteller berkomentar mengenai ruangan digital, menurutnya ruang digital sebagai sarana komunikasi, tempat bertemu dan berinteraksi tanpa tatap muka. Kita semua memang tidak langsung dengan wajah namun hanya layar ponsel atau laptop, meski begitu inilah pertemuan layaknya keseharian. Kita dapat melakukan apa saja yang sama yang kita lakukan di dunia offline berekspresi dan berkreasi.

 

Pernyataan Kis Uriel adalah menjelaskan sisi positif dari ruang digital. Namun, paham filsafat sensasionalisme di kanal digital telah menjebak setiap individu kepada disorientasi hidup. Jika tak memiliki landasan iman dan taqwa, maka ruang digital menjadi ruang bagi perburuan sensasional yang absurd. Hanya untuk menjadi viral misalnya, banyak orang yang kemudian membuat konten-konten negatif yang merendahkan nilai-nilai kemanusiaan dengan tujuan pragmatisme semata.

 

Banyak juga kasus-kasus kriminal seperti penculikan, pencurian dan penipun, bahkan pembunuhan bermula dari ekspresi dan komunikasi di kanal digital ini. Tak sampai disitu, berbagai ekspresi penistaan atas agama juga banyak diekspresikan lewat ruang digital, selain juga penyebaran berita hoax. Inilah era dimana setiap individu diberikan ruang bebas tanpa batas untuk berekspresi, tinggal mau memilih apa, memanfaatkan sosmed untuk kebaikan atau keburukan.

 

Karena itu secara aksiologis, ruang digital adalah ruang yang bisa dipakai sebagai katarsitas nilai. Jika seseorang menjadikan ruang digital sebagai penyebaran nilai-nilai kebajikan, maka semakin banyak yang mengakses, akan semakin memberikan manfaat bagi dirinya dan orang lain. Dalam perspektif Islam, kebaikan yang disebarkan akan mendatangkan pahala. Sebaliknya, jika yang disebarkan adalah nilai-nilai keburukan, maka pelakunya akan terus mendapatkan dosa berlipat selama keburukan itu diakses oleh orang lain.

 

Nilai-nilai keburukan bisa saja berupa ekspresi yang mengundang sensasi seksualitas. Semisal perempuan yang mengisi konten sosmednya dengan ekspresi yang memamerkan lekuk tubuhnya untuk mendapatkan perhatian dari netizen lawan jenis. Dengan berbagai komentar yang muncul, lantas dirinya merasa sedang karena telah banyak ditonton. Ekspresi sensasi seksual ini sangat berbahaya, baik bagi dirinya maupun orang lain. Perempuan yang mengumbar aurat di sosmed akan mendapatkan aliran dosa yang tak terputus selama kontennya diakses dan disebarluaskan oleh orang lain.

 

Ketika perempuan mabok sosmed dan berekspresi negatif yang menjurus kepada orientasi seksualitas, maka dirinya telah berkontribusi bagi kerusakan moral anak bangsa. Ekspresi seksualitas perempuan melalui kanal digital juga menandakan bahwa orang itu tengah mengidap psikologi abnormal. Jika perempuan tak lagi punya rasa malu, maka hancurlah tata etika kehidupan. Sebab perempuan adalah calon ibu yang melahirkan anak-anak. Jika ibunya amoral, bagaimana pula dengan anak-anaknya. Pornografi dan pornoaksi di ruang digital sangat berbahaya karena bisa diakses siapapun dan dimanapun, termasuk anak-anak.

 

Meski oleh komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 287 Tahun 2001 yang tegas mengharamkan pornoaksi dan pornografi, namun faktanya konten asusila ini justru semakin menggila, terutama lewat kanal digital. Generasi bangsa yang terpapar pornografi dan pornoaksi secara radikal akan mengalami berbagai kerusakan individu dan sosial dan berdampak pula kepada kehancuran sebuah keluarga dan bangsa. Terlebih lagi sekarang tengah marak propaganda L68T melalui sosmed.

 

Hasil penelurusan oleh Kemenkominfo melalui tim AIS sungguh mengejutkan, ditemukan konten negatif berbau pornografi sebanyak 898.109 konten per Juli 2019.   Kondisi ini sangat miris dan berbahaya bagi masa depan bangsa ini. Tidak salah jika bangsa ini telah memasuki darurat pornografi. Ini baru yang konten asusila berbasis digital, tentu belum yang di dunia nyata, semacam pentas musik yang sering menampilkan biduan seronok dan ditonton anak dibawah umur.

 

Sejak tahun 2001, MUI sudah menyadari bahwa pornografi dan pornoaksi serta hal-hal lain yang sejeninya semakin merebak dengan bebas dan tersiar secara luas di tengah-tengah masyarakat, baik melalui media cetak dan elektronik, media komunikasi modern, maupun dalam bentuk perbuatan nyata.

 

Majelis Ulama Indonesia menegaskan bahwa tayangan asusila telah merusak generasi muda, baik terhadap perilaku, moral (akhlak), maupun terhadap sendi-sendi serta  tatanan keluarga dan masyarakat beradab. Berbagai kasus seperti pergaulan bebas, perselingkuhan,  kehamilan dan kelahiran anak di luar nikah, aborsi, penyakit kelamin, kekerasan seksual dan perilaku seksual menyimpang adalah diantara dampak akses pornografi. 

 

Majelis Ulama Indonesia merekomendasaikan agar pemerintah segera menetapkan peraturan perundang-undangan dengan ancaman hukuman yang berat dan tegas bagi para penyebar dan pelakunya. Secara filosofis maraknya pornografi dan pornoaksi adalah akibat sekulerisasi seksual yang selama ini terus dipropagandakan atas nama kebebasan berekspresi dan HAM.

 

Negara adalah institusi paling bertanggungjawab atas kebaikan dan kehancuran sebuah generasi bangsa. Sebab negara tugas utamanya adalah menjaga dan merawat rakyat agar berjalan di atas rel yang benar. Kehancuran moral generasi muda adalah awal dari kehancuran sebuah negara.

 

Negara adalah institusi yang memiliki hampir semua kekuatan untuk bisa memblokir informasi apapun yang merusak anak bangsa. Indonesia harus bisa meniru negara-negara yang telah mampu memblokir dan membersihkan konten asusila untuk kebaikan generasi mudanya. Sebab menyelamatkan anak bangsa artinya menyelamatkan negara ini dari kehancuran.

 

(AhmadSastra,KotaHujan,28/05/22 : 11.00 WIB)

 

 

 

 

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Categories