MITOS DEMOKRASI YANG MENYIHIR RAKYAT - Ahmad Sastra.com

Breaking

Rabu, 29 Juni 2022

MITOS DEMOKRASI YANG MENYIHIR RAKYAT



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Jika dianalogikan, demokrasi itu seperti kolam ikan yang menarik orang untuk mendatanginya, berharap mendapatkan ikan-ikan itu untuk bisa dijadikan makanan. Mereka berduyun-duyun mendatangi kolam, namun sungguh mereka tidak tahu bahwa sesungguhnya mereka sedang dalam jebakan yang membahayakan mereka sendiri. Ada konspirasi global yang tengah mengancam kehidupan mereka.

 

Sebenarnya demokrasi itu hanya berisi mitos-mitos indah yang menyihir rakyat, namun rakyat tak bisa banyak berbuat, karena kebodohan dan juga karena kelemahan dirinya. Fakta-fakta dunia akibat hegemoni demokrasi kapitalisme sebenarnya sudah begitu sangat gamblang melahirkan social destructive, namun bagi orang yang telah terkena sihir, seperti sapi yang telah dicocok batang hidungnya. Demokrasi itu seperti jebakan lubang biawak.

 

Meski seperti lubang biawak, namun faktanya semakin berbondong saja orang yang  masuk dalam  jebakan sang  biawak. Bahkan kaum musliminpun ikut menikmati demokrasi, serta memperjuangkan dan  membelanya. Kebebasan dan kekayaan adalah  iming-iming setiap individu untuk  masuk kedalamnya. Adapun bagi para pembela, penjaga  simpatisan, dan para pengikutnya  sistem jahiliyah  memberikan perlindungan untuk memuaskan hawa nafsu-nya di dalamnya. Sementara itu sang biawak akan menghancurkan  setiap upaya pengrusakan sarang bagi orang-orang  yang tersadar dan berusaha menegakkan tatanan alternatif.

 

Secara filosofis, demokrasi berpaham antroposentrisme dimana manusia dijadikan sebagai sumber segalanya. Bahkan demokrasi juga berpaham antropomorpisme dimana manusia berdaulat atas penyusunan hukum dan perundang-undangan.

 

Ada dua faktor utama, mengapa sistem demokrasi tidak melahirkan efektifitas penyelenggaraan negara di negeri ini. Pertama, secara genetis, demokrasi adalah ideologi transnasional yang sekuleristik liberalistik dan bahkan kapitalistik yang merupakan gerakan imperialisme dan neokolonialisme Barat terhadap negeri-negeri muslim.

 

Kedua,  secara empirik, para elit penyelenggara pemerintahan hanya sibuk bertengkar berebut kekuasaan demi libido politiknya sendiri. Setelah berkuasa, kerja mereka hanya korupsi, kolusi dan nepotisme tanpa ada rasa malu. Lebih dari itu, demokrasi sering kali hanya melahirkan para pemimpon boneka yang menjadi budak para oligarki kaum kapitalis belaka.

 

Demokrasi selalu berdusta dan ingkar janji karena merupakan rekayasa manusia demi kepentingan duniawi semata. Jargon dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat justru seringkali hanya sebagai pepesan kosong, janji-janji kampanye pemilu demokrasi hanyalah dusta belaka. Secara genetik, demokrasi lebih dekat kepada karakter munafik, jika tidak hendak disebut kufur. Bahkan jika percaya kepada manusia sebagai sumber kebenaran hukum, bisa menjerumuskan kepada kesyirikan.

 

Ada bebarapa mitos demokrasi yang telah berhasil menyihir rakyat, termasuk kaum muslimin. Pertama, mitos bahwa demokrasi adalah sistem politik  dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Padahal realitasnya adalah bahwa  para kepala negara dan anggota parlemen negara-negara demokrasi (AS, Inggris) sebenarnya bukan mewakili rakyat, melainkan mewakili kehendak kaum kapitalis oligarki (pemilik modal, konglomerat). Kaum kapitalis raksasa inilah sebenarnya yang mendudukan mereka kedalam posisi pemerintahan dan lembaga-lembaga perwakilan. Harapan mendudukan anggota parlemen adalah agar mereka dapat merealisasikan kepentingan kaum kapitalis. Kaum kapitalis yang membiayai para politisi, mulai dari kampanye sampai proses pemilihan presiden dan anggota parlemen. Kebijakan-kebijakan negara-negara demokrasi seringkali merupakan realisasi tekanan kaum kapitalis oligarki.

 

Oligarki adalah struktur kekuasaan yang terdiri dari beberapa individu elit, keluarga, atau perusahaan yang diizinkan untuk mengontrol suatu negara atau organisasi. Melansir Thoughtco, "Oligarki" berasal dari kata Yunani "oligarkhes", yang berarti "sedikit yang memerintah". Jadi, oligarki adalah struktur kekuasaan yang dikendalikan oleh sejumlah kecil orang, yang dapat terkait dengan kekayaan, ikatan keluarga, bangsawan, kepentingan perusahaan, agama, politik, atau kekuatan militer.

 

Pada 600-an SM, ketika Yunani negara-kota dari Sparta dan Athena diperintah oleh kelompok elit bangsawan berpendidikan, pemerintahan oligarki berjaya. Selama abad ke-14, negara-kota Venesia dikendalikan oleh bangsawan kaya yang disebut "aristokrat". Saat Afrika Selatan berada di bawah sistem apartheid kulit putih hingga 1994, adalah contoh klasik dari sebuah negara yang diperintah oleh bentuk pemerintahan oligarki berbasis rasial.

 

Semua bentuk pemerintahan, seperti demokrasi, teokrasi, dan monarki dapat dikendalikan oleh oligarki. Adanya konstitusi atau piagam formatif serupa tidak menghalangi kemungkinan oligarki memegang kendali yang sebenarnya atas pemerintahan. Jadi tidak heran jika demokrasi yang kini tengah diterapkan oleh dunia justru dalam cengkeraman oligarki. Antara demokrasi dan oligarki seperti lingkaran setan.

 

Mitos kedua demokrasi adalah bahwa demokrasi merupakan pemerintahan rakyat. Padahal realitas dan rasionalitasnya adalah tidak mungkin seluruh rakyat yang memerintah, sehingga tetap saja yang menjalankan pemerintahan adalah elit penguasa yang berasal dari pemilik modal kuat atau pengendali kekuatan militer. Fakta demokrasi itu mayoritas mengendalikan minoritas, atau minoritas mengendalikan mayoritas. Tentu saja pertanyaan ini mudah dijawab, karena telah menjadi fakta politik demokrasi di seluruh dunia.

 

Mitos ketiga demokrasi adalah bahwa sistem politik ini membuka ruang kebebasan bagi siapa saja. Padahal realitas ternyata kebebasan itu hanya diperbolehkan apabila mendukung sekulerisme (azas demokrasi), namun apabila ternyata  mendukung azas syariat Islam maka ia akan dihancurkan. Tidak ada kebebasan bagi perjuangan syariat Islam di negara demokrasi. Yang terjadi justru sebaliknya, perjuangan Islam malah dituduh radikalisme dan bahkan terorisme. Pelarangan jilbab di Perancis juga menunjukkan bahwa kebebasan itu hanyalah mitos belaka. Konspirasi global terhadap tuduhan terorisme Islam, larangan terhadap stasiun Aljazeera di Irak dalam meliput perang, pembatalan dan pemberangusan terhadap kemenangan FIS di Aljazair adalah beberapa fakta tentang mitos kebebasan yang dinarasikan demokrasi.   Pujian AS terhadap sistem “pemerintahan ideal umat Islam” di Turki (padahal penggunaan kerudung saja dilarang dengan alasan bertentangan dengan perinsip sekulerisme). Penekanan dan pembubaran Partai Reffah, karena dianggap membahayakan sekulerisme.

 

Mitos keempat demokrasi adalah bahwa ideologi transnasional ini akan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Padahal realitasnya dengan propaganda barat agar negara dunia ketiga menerapkan demokrasi untuk kesejahteraan, namun realitasnya hanya memakmurkan negara-negara kapitalis dan agen-agennya (seperti jepang dan  singapore). Pada saat Badan Pangan Dunia (FAO) menyatakan 817 juta penduduk dunia kelaparan dan setiap 2 detik satu orang meninggal dunia, maka pada saat yang sama negara-negara maju sibuk melawan kegemukan. Pemenuhan kebutuhan pangan dan sanitasi USD13 miliar = +/- pengeluaran per tahun orang-orang Amerika dan uni eropa untuk membeli parfum mereka.

 

Kesejahteraan kaum kapitalis, bukan karena demokrasi, namun karena eksploitasi mereka terhadap kekayaan negara-negara lain dengan rakus. Kapitalisme tumbuh besar dengan merampok dan memiskinkan dunia ketiga secara sistimatis (seperti melalui krisis moneter, privatisasi, pasar bebas, pemberian hutang, standarisasi mata uang dolar, dsbnya. Demokrasi dimanfaatkan untuk kepentingan penjajahan ekonomi, pertama dicap sebagai pelanggar demokrasi dan HAM, kemudian blokade ekonomi, dan perampokan kekayaan alam. Adalah mitos, sebab tidak ada relevansinya antara demokrasi dengan kesejahteraan.

 

Mitos kelima demokrasi adalah bahwa sistem kufur ini menjanjikan stabilitas.
padahal realitasnya menunjukkan bahwa demokrasi justru menimbulkan banyak konflik di tengah masyarakat. Ketika pintu kebebasan dibuka, justru banyak pihak yang menuntut disintegrasi sebagai wujud kebebasan dan kemerdekaan. Reformasi yang memunculkan konflik Timor timur, Aceh, Maluku dan Papua. Demokrasi juga memunculkan kekisruhan dalam pemilihan kepala daerah juga memunculkan fanatisme nasionalisme atas nama bangsa, suku dan kelompok. Disintegrasi yang berlarut-larut di alam demokrasi mestinya menjadi kesadaran betapa bahayanya sistem politik ini. Topeng demokrasi juga terbukti telah menimbulkan puluhan ribu korban manusia.   

 

Mitos keenam demokrasi adalah bahwa ideologi ini menjanjikan sebuah kemajuan  karena kreatifitas, kreatifitas karena kebebasan, kebebasan karena demokrasi 
‘tanpa demokrasi, timur tengah akan menjadi stagnan (jumud)’. Begitulah narasi yang dibangun selama ini. Padahal realitasnya adalah sebaliknya. Persoalannya bukan pada kebebasan atau tidak, namun apakah masyarakat memiliki kebiasaan berfikir produktif atau tidak. Rusia pada masa kejayaan komunisme meraih kejayaan dibidang sains teknologi, padahal komunisme sering diartikan penghambat kebebasan. Kejayaan Islam yang dipenuhi dengan penemuan-penemuan di bidang sains dan teknologi, jelas bukan karena demokrasi. Berfikir produktif merupakan hasil dari kebangkitan berfikir, yang didasarkan pada pandangan hidup/ ideologi/  mabda’ tertentu, terlepas dari sahih atau tidaknya ideologi yang dianutnya;
karena karakter dasar ideologi adalah senantiasa ingin memecahkan persoalan umat manusia secara menyeluruh, sekaligus mempertahankan serta menyebarkan ideologinya

 

Maka yang sudah pasti menjadi realitas adalah bahwa demokrasi adalah alat penjajahan Barat. Propaganda demokrasi di negeri-negeri muslim pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dengan kepentingan negara-negara kapitalis penjajah, karena : pertama, tujuan politik luar negeri kapitalisme adalah menyebarkan ideologi kapitalisme mereka dapat mempertahankan penjajahan atas negeri-negeri dengan dalih membela demokrasi. Kedua, demokrasi menjauhkan kaum muslimin dari sistem Islam yang bersumber dari syariat Allah SWT. Ketiga, demokrasi digunakan sebagai alasan penyerangan terhadap kaum muslimin (afghanistan & Irak). Keempat, demokrasi dikemas sedemikian rupa sehingga tampak baik, luhur, dan benar, sehingga memberikan harapan, padahal di dalamnya penuh penipuan dan kebohongan.

 

Demokrasi adalah ideologi berpaham antroposentrisme dan antropomorpisme yang bertentangan secara diametral dengan Islam. Sebab kedaulatan hukum dalam Islam ada di tangan Allah yang tercantum dalam Al Qur’an dan Al Hadist, sementara kekuasaan di tangan seorang khalifah yang wajib hukumnya menerapkan syariah secara kaffah. Sementara demokrasi menjadikan manusia sebagai otoritas kedaulatan hukum dengan menjadikan manusia sebagai sumber hukum untuk mengatur sesama manusia.

 

Islam juga telah menjadikan pengaturan urusan rakyat atau mereka yang memiliki kewarganegaraan menjadikan aktivitas perekonomian tersebut, terikat dengan hukum hukum syariah sebagai suatu perundang-undangan yang mengikat. Seperti firman Allah SWT Apa saja yang telah Rasul bawa untuk kalian, ambillah. Apa saja yang telah dia larang atas kalian, tinggalkanlah. [ Qs Al-Hasyr (59) 7].

 

Antroposentrisme dan antropomorpisme menjadikan demokrasi menjadikan manusia sebagai otoritas pembuat hukum dan perundang-undangan dan membuang kitab suci sebagai sumber konstitusi. Demokrasi adalah semacam ‘bid’ah politik’ yang menjadikan akal dan nafsu serta kepentingan manusia sumber kebenaran. Karena itu secara genealogis dan genetik, demokrasi itu anti agama (baca : Islam). Dari kesalahan konsep kepemilikan menjadikan oligarki semakin subur dalam sistem demokrasi.

 

Sementara dalam Islam, perkara terkait dengan hukum syariat (legislasi) diputuskan berdasarkan Dalil Al-Quran dan As-Sunnah, yang dilakukan melalui metode ijtihad, bukan syura (musyawarah), atau bukan pula suara mayoritas. Perkara yang memerlukan aspek profesional yang membutuhkan keahlian dan pertimbangan yang luas, diputuskan berdasarkan ketepatan dan kebenaran menurut Ahlinya. Masalah yang berkaitan dengan tindakan praktis diputuskan berdasarkan musyawarah dan atau Suara mayoritas.

 

Kebenaran menurut pandangan Islam bukan bersumber dari banyaknya suara orang, tapi bersumber dari Allah Yang Maha Benar. Allah menegaskan bahwa banyaknya orang itu tidak ada relasinya dengan kebenaran.  Sesunguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik (QS al-Maidah : 49). Akan tetapi, kebanyakan mereka tidak mengetahui-nya (QS. al-An’am:37). Engkau tidak mendapati kebanyakan mereka bersyukur/ taat (QS. al-A’raf:17).

 

Sesungguhnya (al-Qur’an) itu adalah benar-benar dari Rabb-mu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (QS. Hud:17). Jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang ada dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan kamu (QS. Al-An’am:116). Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan orang lain dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan (QS. Al-An’am:119). Itulah agama yang lurus, tetap kebanyakan manusia tidak mengetahui-nya (QS. Yusuf:40).

 

Bahkan Allah justru memberikan berbagai pujian bagi yang sedikit, bukan yang banyak.   Kemudian kalian tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kalian (QS. Baqarah:83). Tatkala berperang diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa orang saja diantara mereka (QS. Al-Baqarah:246)

 

(iblis berkata), “terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang engkau muliakan atas diriku ? Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai Hari Kiamat, niscaya akan aku sesatkan anak keturunannya, kecuali sebahagian kecil (QS. Al-Isra:62)

 

Mengapa tidak ada dari umat-umat sebelum kalian orang yang mempunyai keutamaan yang melarang (mengerjakan) kerusakan dimuka bumi, kecuali sebahagian kecil diantara orang yang telah kami selamatkan diantara mereka (QS. Hud:116). Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah (QS. Al-Baqarah:246)

 

Kebenaran juga bukan bersumber dari perasaan manusia. Perhatikan firman Allah :   … boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sesuatu sedang kamu tidak mengetahui (QS. Al-Baqarah: 216)


Tidaklah beriman seseorang diantara kamu hingga hawa nafsunya tunduk kepada apa yang aku bawa  (Hadist Hasan Shahih, an-Nawawi telah meriwayatkan-nya dalam kitab al-Hujjah dengan sanad shahih dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash)

 

Sekali lagi Allah menegaskan bahwa kebenaran itu bersumber dari syariat Islam, bukan dari manusia, apalagi sistem demokrasi. Perhatikan firman Allah :  Maka sekali-kali tidak, demi Rabb-Mu, tidaklah mereka ber-iman hingga mereka menjadikan-mu (Muhammad SAW) sebagai pemutus hukum terhadap perselisihan diantara mereka. Lalu mereka tidak ditemukan dalam diri mereka sendiri keberatan atas apa yang telah engkau tetapkan, serta mereka berserah diri (dalam menerima ketetapanmu) semenyerah-menyerah-nya (QS An-Nisa : 65). 

 

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir  (QS. Al-Maaidah : 44). Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim (QS. Al-Maaidah : 45). Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik (QS. Al-Maaidah : 47).

 

Sesuai nash, kelak Negara Khilafah akan menghancurkan tatanan jahiliyah ini (insyaAllah).  Negara yang akan mempersatukan seluruh kaum Muslimin sedunia  dalam perasaan, pemikiran dan peraturan  yang sama yaitu Syariat Islam, yakni tatanan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya.

 

(AhmadSastra,KotaHujan,29/06/22 : 07.42 WIB)

 

 

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories