JIKA TIDAK RADIKAL, BUKAN BERPIKIR NAMANYA - Ahmad Sastra.com

Breaking

Selasa, 05 Juli 2022

JIKA TIDAK RADIKAL, BUKAN BERPIKIR NAMANYA



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah radikal1/ra·di·kal/ a diartikan 1 secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip): perubahan yang --; 2 Pol amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); 3 maju dalam berpikir atau bertindak. KBBI memaknai kata radikal mengarah kepada karakteristik berpikir yang mendasar.

 

Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), istilah radikal berarti 'akar', 'sumber', atau 'asal-mula'. Dimaknai lebih luas, istilah radikal mengacu pada hal-hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental, pokok soal, dan esensial atas bermacam gejala, atau juga bisa bermakna “tidak biasanya” (unconventional).

 

Dalam perspektif filsafat, radikal adalah cara berpikir tentang mencari inti persoalan dalam satu masalah. Orang yang berpikir secara radikal adalah mereka yang ingin menggali akar masalah untuk mendapatkan solusi yang mendasar dan benar. Berpikir radikal itu justru bagus, bahwa segala sesuatu itu ada akar masalahnya. Akar masalah itu harus dicari solusi kalau ingin menuntaskan masalah itu. Jika tak radikal, maka bukan berpikir namanya, tapi menghayal atau berangan-angan. Karakteristik dasar proses berpikir adalah radikal.

 

Secara etimologis atau bahasa, radikal berasal dari kata radical atau  radix yang berarti “sama sekali” atau sampai ke akar akarnya. Dalam kamus Inggris Indonesia susunan Surawan Martinus kata radical disamaartikan (synonym) dengan kata “fundamentalis” dan “extreme”. ‘radikalisme’ berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”, artinya akar ; (radicula, radiculae: akar kecil).

 

Berbagai makna radikalisme, kemudian mengacu pada etimologi kata “akar” atau mengakar ini. Oleh sosiolog Thamrin Tamagola, antara radikal dan radikalisme itu dua hal yang berbeda. Kata radikal merujuk kepada pemikiran mendasar yang justru bagus, berbeda lagi dengan radikalisme. Menyamakan kata radikal dan radikalisme tentu saja sebuah kesalahan epistemologis.

 

Definisi berpikir (al-fikr, al-’aql, al-idrak), atau proses berpikir (‘amaliyat al-tafkir, Eng : thinking), merupakan sebuah persoalan yang banyak diabaikan oleh para pemikir, padahal dari aktivitas berpikir itulah, telah dihasilkan berbagai buah yang bermanfaat bagi manusia, misalnya berbagai pengetahuan (ma’rifah) dalam sains dan teknologi yang sangat bermanfaat bagi manusia. Memang sejak jaman dahulu, sudah ada yang mencoba mendefinisikan apa itu berpikir, tetapi belum mencapai definisi yang sahih dan memuaskan.

 

Beberapa definisi berpikir menurut para ahli dibawah ini akan menunjukkan sifar dasar berpikir, yakni radikal atau mendasar. Menurut Santrock (dalam Rahmawati:2014) berpikir adalah memanipulasi atau mengelola dan mentransformasi informasi dalam memori. Ini sering dilakukan untuk membentuk konsep, bernalar dan berpikir secara kritis, membuat keputusan, berpikir kreatif, dan memecahkan masalah (Rahmawati, 2014:15).

 

Menurut Najla (2016:16) dalam berpikir juga termuat kegiatan meragukan dan memastikan, merancang, menghitung, mengukur, mengevaluasi, membandingkan, menggolongkan, memilah-milah atau membedakan, menghubungkan, menafsirkan, melihat kemungkinan- kemungkinan yang ada, membuat analisis dan sintesis menalar atau menarik kesimpulan dari premis-premis yang ada, menimbang, dan memutuskan.

 

Menurut Adinda (dalam Azizah, dkk : 2018) orang yang mampu berpikir kritis adalah orang yang mampu menyimpulkan apa yang diketahuinya, mengetahui cara menggunakan informasi untuk memecahkan permasalahan, dan mampu mencari sumber-sumber informasi yang relevan sebagai pendukung pemecahan masalah. Orang yang mampu berpikir kritis adalah orang yang mampu menyimpulkan apa yang diketahuinya, mengetahui cara menggunakan informasi untuk memecahkan suatu permasalahan, dan mampu mencari sumber-sumber informasi yang relevan sebagai pendukung pemecahan masalah (Rahma, 2017:17).

 

 

Sheikh Taqiyuddin An-Nabhani dan Kitab Al-Syakhshiyyah Al Islamiyyah,1/120 menuliskan beberapa pendapat tentang berpikir yang dinyatakan belum tepay. Diantara beberapa pendapat berikut : Sesungguhnya akal [atau berpikir] adalah satu kekuatan bagi jiwa dan kekuatan untuk [mencapai berbagai] pemahaman (comprehension). Ada juga yang berpendapat bahwa [Akal] adalah suatu naluri yang diikuti oleh pengetahuan terhadap hal-hal yang bersifat dharuri (tanpa dipikirkan) pada saat sehatnya berbagai indera manusia. Ada lagi pendapat bahwa sesungguhnya akal adalah suatu substansi yang dengannya akan dapat dijangkau hal-hal yang gaib dengan perantara-perantara dan penginderaanpenginderaan terhadap hal-hal yang dapat dipersaksikan.

 

Definisi yang paling dekat dengan fakta berpikir, menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, sebagaimana dalam kitab At-Tafkir (1973), adalah justru definisi menurut kaum komunis, yaitu : Sesungguhnya akal adalah refleksi realitas ke dalam otak. Namun demikian, definisi ini pun tidak luput dari kritikan beliau, yaitu dalam proses berpikir itu yang terjadi sebenarnya bukanlah refleksi, melainkan penginderaan (suatu objek), dan mustahil proses berpikir terjadi otomatis tanpa informasi sebelumnya.

 

Allah berfirman : Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!. Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana". Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini". Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan ? (QS Al Baqarah : 31-33)

 

Sheikh Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan  bahwa surat tersebut memiliki komponen proses berpikir yang menyatakan bahwa ayat tersebut menunjukkan informasi sebelumnya (ma’lumat sabiqah) harus ada sampai pada pengetahuan apa pun. Nabi Adam a.s. telah diberi informasi oleh Allah SWT. Adapun empat unsur tersebut meliputi konsep berpikir Taqiyuddin an-Nabhani, karena unsur dengan konsepnya saling berkaitan. Konsep berpikir Taqiyuddin an-Nabhani terbagi menjadi tiga bagian yaitu berpikir dangkal (at-tafkir as-sathi), berpikir mendalam (at-tafkir al-‘amiq), dan berpikir cemerlang (at-tafkir al-mustanir).

 

Akal merupakan deskripsi mengenai suatu fakta, dan yang dikehendaki dari akal. Demikian akal di bangun atas dasar realitas yang ada (musyahad) yang dapat di indera (mahsus) dan nash-nash akal bukanlah bagian dari organ tubuh tertentu akan tetapi merupakan proses berpikir. Dalam proses berpikir memerlukan empat unsur yaitu: fakta atau realita (kata, informasi), penginderaan fakta yang dikirim ke otak, otak manusia (otak yang bisa membedakan), informasi (informasi sebelumnya tentang fakta untuk dikaitkan dengan tiga hal diatas.

 

Tiga level berpikir menurut  Syeikh Taqiudin An Nabhani, bisa dijelaskan sebagai berikut : Pertama,  berfikir dangkal yakni melihat alam semesta dengan berbagai gejalanya sebatas fenomena alam yang berdiri sendiri. Pekiran dangkal hanya melihat sebatas empirisme dan inderawi. Obyek yang diindera dilihat sebagai material belaka. Ideologi materialisme komunis sosialis melihat alam semesta dalam pandangan dangkal ini. Hasilnya kaum sosialis materialis gejala perubahan alam semesta adalah gejala alamiah melalui mekanisme evolusi yakni perkembangan dan perubahan alam dalam jangka waktu yang lama tanpa ada skenario kekuatan yang lain. Itulah mengapa kaum sosialis menamakan dirinya sebagai ateis, yakni tidak mempercayai eksistensi Tuhan yang maha mencipta.

 

Kedua berfikir mendalam yakni berfikir bukan sekedar empirisme dari apa yang terindera, melainkan memikirkan juga hakekat dibalik realitas yang ada. Dari cara berfikir inilah lahirnya ilmu filsafat bisa ditelusuri jejaknya. Karena itu berfikir filsafat bisa dikatakan berfikir yang mendalam. Berfilsafat berarti mencari kebenaran dan hekekat dibalik realitas yang empirik atau inderawi. Tentu saja berfikir mendalam ini instrumen utamanya adalah akal manusia yang nota bene sangat terbatas. Pertanyaannya adalah apakah dengan berfikir filsafat akan mendapatkan hakekat kebenaran, tentu tidak bisa sama sekali.

 

Filsafat tidak akan pernah membawa manusia pada tujuan hakiki dari adanya realitas ini. Apa buktinya ? Buktinya kebanyakan para filosof yang menjadi penggagas filsafat adalah orang-orang atheis juga.  Filsafat secara genetis bukan saja atheisme, melainkan memiliki misi untuk mendekontruksi wahyu. Filsafat itu anti-agama. Bagaimana jika ada gerakan ilmuwan muslim yang kemudian menggagas idiom filsafat Islam ?  Tepatnya apakah ada ilmu yang bernama filsafat Islam itu ? Istilah filsafat Islam adalah soal interpretasi epistemologis belaka dan karenanya masih menimbulkan kerancuan (confius). Istilah ini dikaji lebih mendalam dalam sub bab lain.

 

Ketiga berfikir cemerlang yakni melakukan penginderaan terhadap semua relaitas alam semesta lantas mengkaitkan dengan kuasa ilahi Allah SWT sang pencipta. Pemikiran cemerlang adalah pemikiran yang benar dan akan meningkatkan keimanan seorang ilmuwan. Pemikiran cemerlang (al fikru al mustanir) selain akan menghasilkan hakekat kebenaran realitas juga akan menjadikan pemikirnya mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan. Pemikiran cemerlang akan memberikan pencerahan bagi manusia. Islam telah meletakkan pondasi yang kokoh di bidang metode berfikir ini yang jelas bertentangan dengan metode berfikir ala filsafat yang justru akan menimbulkan berbagai kerusakan kehidupan manusia. Metode berfikir cara Islam akan melahirkan kebangkitan hakiki yakni terangnya kebenaran sebagai pondasi peradaban manusia yang mulia. Adapaun filsafat sebaliknya akan melahirkan keterpurukan karena pondasinya adalah kegelapan dan kerancuan. Filsafat mendasarkan akal dan pengetahuan manusia sebagai basis kebenaran sedangkan Islam mendasarkan kebenaran wahyu sebagai landasan berfikir dan membangun peradaban manusia. Islam layak menjadi solusi bagi kehidupamn manusia di dunia, bukan filsafat dengan semua turunnnya seperti kapitalisme, sekulerisme, demokrasi, HAM, liberalisme, empirisme, rasionalisme, pragmatisme, feminisme, dan sejenisnya. Isme-isme itu.

 

Nah sudah jelas kan bahwa karakter dasar berpikir adalah radikal, terlepas benar salahnya orang berpikir. Sebab berpikir sebagai sebuah metode ternyata berakar dari ideologi. Jadi tuduhan radikal yang selama ini marak di negeri ini menunjukkan para penuduhnya tidak pernah berpikir alias dungu.

 

(AhmadSastra,KotaHujan, 05/07/22 : 19.22 Wib)

 

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories