POLITIK TRANSAKSIONAL DAN RUSAKNYA MASA DEPAN BANGSA - Ahmad Sastra.com

Breaking

Sabtu, 24 Februari 2024

POLITIK TRANSAKSIONAL DAN RUSAKNYA MASA DEPAN BANGSA



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Politik demokrasi sejak kelahirannya berwatak pragmatisme dan transaksional, karena bersifat antroposentrisme dimana relasi antara penguasa dan rakyat didasarkan oleh transaksi politik. Penguasa disebut sebagai pengemban amanah rakyat yang memilihnya. Hanya saja untuk menjadi penguasa, sistem demokrasi mengharuskan adanya biaya sangat tinggi karena adanya traksaksi ini. Disinilah lahirnya pragmatisme dan transaksional sistem demokrasi yang menjadi awal dari munculnya berbagai bentuk kerusakan, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme bahkan penipuan dan kebohongan.

 

Pragmatisme adalah pandangan filosofis yang menekankan pentingnya mempertimbangkan konsekuensi praktis dari ide atau tindakan sebagai kriteria utama dalam menilai kebenaran atau nilai. Menurut pandangan ini, suatu gagasan atau tindakan dianggap benar atau berguna jika menghasilkan hasil yang diinginkan atau berhasil memecahkan masalah yang dihadapi. Dalam rumus demokrasi, yang disebut hasil itu bersifat materialisme semata. Demokrasi dengan demikian tidak memiliki ruh ketuhanan.

 

Pragmatisme menempatkan penekanan pada pengalaman langsung, observasi, dan eksperimen sebagai cara untuk memperoleh pengetahuan yang berguna. Filosof terkenal seperti William James, John Dewey, dan Charles Sanders Peirce merupakan tokoh-tokoh utama dalam perkembangan pragmatisme sebagai aliran filosofis yang signifikan. Pandangan ini kemudian berkembang di dunia politik dan tumbuh subur dalam sistem demokrasi sekuler.

 

Pragmatisme politik adalah pendekatan dalam politik yang menekankan pada penyesuaian tindakan dan kebijakan politik berdasarkan pada apa yang dianggap sebagai "pragmatis" atau efektif dalam mencapai tujuan tertentu, tanpa harus terlalu memperhatikan ideologi atau prinsip yang mendasarinya. Dalam pragmatisme politik, keputusan politik diambil berdasarkan pada penilaian atas konsekuensi praktis dari suatu tindakan atau kebijakan, bukan berdasarkan pada pertimbangan ideologis atau nilai-nilai yang abstrak. Sejak lahir, demokrasi sudah sekuler. Memisahkan antara agama dan politik.

 

Tokoh-tokoh politik yang mengadopsi pendekatan pragmatis ini sering kali menekankan pentingnya fleksibilitas, adaptabilitas, dan responsibilitas terhadap perubahan situasi dan kondisi yang ada. Mereka mungkin menggabungkan elemen-elemen dari berbagai ideologi atau pendekatan politik, tergantung pada apa yang dianggap paling efektif dalam konteks tertentu.

 

Namun demikian, kritik terhadap pragmatisme politik sering kali menyoroti potensi untuk mengorbankan konsistensi ideologis atau nilai-nilai prinsipil dalam kepentingan pencapaian tujuan-tujuan pragmatis, termasuk di dalamnya etika.  Pragmatisme politik juga dapat memicu ketidakpastian atau kebingungan mengenai arah atau identitas politik suatu pihak atau pemimpin politik, karena terkesan lebih fokus pada pencapaian keuntungan atau kekuasaan daripada pada kesetiaan terhadap ideologi atau nilai-nilai yang konsisten. Demokrasi tak beretika, tak beragama sekaligus tak bertuhan.

 

Politik transaksional adalah pendekatan dalam politik yang menekankan pada pertukaran atau transaksi antara pihak-pihak politik untuk mencapai tujuan mereka. Dalam konteks ini, pertukaran tersebut bisa berupa dukungan politik, suara dalam pemilihan, atau sumber daya lainnya seperti uang.

 

Pendekatan ini sering kali menekankan pragmatisme dan penggunaan kekuasaan untuk mencapai tujuan tertentu, terlepas dari pertimbangan ideologis yang kuat, sebab yang ada dalam pikiran hanya bagaimana bisa berkuasa lantar mengumpulkan sebanyak-banyaknya harta dunia. Pihak yang terlibat dalam politik transaksional sering kali melihat politik sebagai permainan kekuasaan dan menggunakan strategi taktis untuk memperoleh keuntungan.

 

Meskipun politik transaksional dapat menciptakan kesepakatan yang dapat menghasilkan perubahan atau keputusan politik, kritikusnya sering menyatakan bahwa pendekatan ini dapat mengorbankan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang lebih mendasar demi kepentingan singkat. Pragmatisme politik pada faktanya selalu mengabaikan nilai, etika dan agama. Esensi demokrasi itu tak bertuhan. Negara yang menerapkan tak mementingkan agama. Pendukung demokrasi tak mementingkan etika.

 

Praktek politik demokrasi biasanya cenderung berwatak machievalistik, sebab paham ini paling cocok dalam demokrasi. Politik Machiavellianisme merujuk pada pendekatan politik yang terinspirasi oleh karya Niccolò Machiavelli, terutama "The Prince" ("Il Principe") yang ditulisnya pada abad ke-16. Dalam karyanya, Machiavelli menguraikan prinsip-prinsip yang dianggapnya efektif untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan politik.

 

Pendekatan ini sering kali dianggap sebagai cenderung realistis dan kadang-kadang diinterpretasikan sebagai membenarkan tindakan-tindakan yang tidak bermoral atau manipulatif dalam politik. Dalam "The Prince", Machiavelli menekankan pentingnya bagi seorang penguasa untuk menggunakan segala cara yang diperlukan untuk mempertahankan kekuasaannya, bahkan jika itu berarti bertindak tidak jujur, melanggar janji, atau menggunakan kekerasan. Demokrasi itu sebenarnya sebuah kejahatan politik, jika tidak hendak dikatakan keculasan.

 

Politik Machiavellianisme menempatkan kepentingan dan keberhasilan politik di atas segala-galanya, dan pihak yang mengadopsi pendekatan ini cenderung mengutamakan kekuasaan, stabilitas politik, dan keuntungan pribadi atau kelompok atas segala hal lainnya. Meskipun sering kali dianggap kontroversial atau bahkan immoril, pendekatan ini tetap menjadi subjek kajian dan debat dalam ilmu politik dan filsafat politik, karena menghadirkan pertanyaan-pertanyaan penting tentang hubungan antara etika dan kekuasaan dalam politik.

 

Dari sifat machievalistik demokrasi menuju paham materialisme. Materialisme politik adalah kerangka pemikiran dalam ilmu politik yang menekankan peran materi atau faktor ekonomi dalam membentuk struktur politik, kebijakan, dan dinamika kekuasaan dalam masyarakat. Konsep ini berakar dalam teori materialisme historis yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels.

 

Dalam konteks materialisme politik, faktor-faktor ekonomi seperti kepemilikan properti, distribusi kekayaan, dan struktur kelas sosial dianggap sebagai kekuatan utama yang membentuk politik dan kebijakan. Pemikiran ini menekankan bahwa kebijakan politik sering kali mencerminkan kepentingan kelas dominan atau elite ekonomi dalam masyarakat. Elit ekonomi disebut sebagai oligarki sebagai anak kandung ideologi kapitalisme.

 

Materialisme politik juga memperhatikan bagaimana kekuatan ekonomi memengaruhi proses pembentukan kebijakan, pengambilan keputusan politik, dan distribusi kekuasaan di dalam masyarakat. Misalnya, teori materialisme politik dapat menjelaskan bagaimana oligarki  atau kelompok kepentingan ekonomi mempengaruhi kebijakan fiskal, regulasi bisnis, atau kebijakan perdagangan internasional.

 

Meskipun materialisme politik memberikan wawasan penting tentang hubungan antara ekonomi dan politik, kritikusnya menyoroti bahwa pendekatan ini terlalu deterministik dan kurang memperhitungkan faktor-faktor non-ekonomi yang juga dapat memengaruhi dinamika politik, seperti budaya, identitas, atau faktor institusional. Selain itu, pendekatan ini juga bisa mendorong untuk mengabaikan peran agen individu atau kelompok dalam mengubah struktur politik dan ekonomi.

 

Daya rusak pragmatisme politik demokrasi yang berwatak pragmatis, transaksional, machievalistik dan sekuleristik  dapat tercermin dalam beberapa aspek. Pertama, pragmatisme politik sering kali memungkinkan para pemimpin untuk mengabaikan atau mengorbankan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mendasari demokrasi atau hak asasi manusia demi mencapai tujuan-tujuan pragmatis. Ini bisa mengarah pada tindakan-tindakan yang tidak etis atau tidak bertanggung jawab.

 

Kedua, karena pragmatisme politik cenderung berfokus pada tindakan yang paling efektif dalam situasi tertentu, hal ini dapat menciptakan ketidakpastian dan ketidakstabilan dalam kebijakan publik. Perubahan kebijakan yang sering atau tidak konsisten dapat mengganggu kepercayaan publik dan stabilitas politik.

 

Ketiga, dalam beberapa kasus, pragmatisme politik dapat menyebabkan ketergantungan yang berlebihan pada kekuasaan dan kepentingan khusus, seperti korporasi atau kelompok politik tertentu, dari pada kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini dapat mengakibatkan korupsi, kebijakan yang merugikan, atau konsentrasi kekuasaan yang tidak sehat.

 

Keempat, pendekatan pragmatis yang terlalu pragmatis dalam politik dapat memperkuat polarisasi politik dengan menekankan pada taktik-taktik jangka pendek yang memperkuat perpecahan antara partai politik atau kelompok masyarakat, daripada mencari kesepakatan atau solusi jangka panjang yang dapat memperbaiki perbedaan-perbedaan politik.

 

Kelima, ketika pragmatisme politik diinterpretasikan sebagai keengganan untuk memegang teguh nilai-nilai atau janji-janji kampanye, hal ini dapat menyebabkan kehilangan kepercayaan publik terhadap pemerintah atau institusi politik secara keseluruhan.

 

Dengan penjelasan di atas, penerapan demokrasi yang pragmatis dan transaksional sebenarnya suatu negara sedang mewariskan keburukan bagi generasi bangsa sekaligus sedang menjerumuskan ke dalam jurang kehancuran peradaban bangsa tersebut. Indonesia sendiri menerapkan ideologi rusak ini, jadi bersiaplah menuju jurang kehancurannya.

 

(AhmadSastra,KotaHujan,24/02/24 : 13.16 WIB)

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories