Oleh : Ahmad Sastra
Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di sejumlah kampus yang tengah menjadi sorotan publik. Banyak pihak mengkritik keras soal kebijakan kenaikan UKT yang terjadi di beberapa perguruan tinggi negeri (PTN). Apakah kenaikan signifikan 50-100 persen yang terjadi secara mendadak adalah hal wajar ?. Tentu saja jawabnya bukan hanya tidak wajar, tapi miris, ironis dan paradoks.
Secara filosofis, pendidikan adalah cara sebuah negara menyiapkan generasi pengganti yang akan melanjutkan keberlangsungan negara dan kemajuan peradabannya. Jika diibaratkan, maka generasi bangsa adalah anak, sementara negara adalah orang tuanya. Orang tua yang paham, maka akan membiayai pendidikan anak-anaknya hingga jenjang yang paling tinggi.
Mengapa orang tua akan membiayai anaknya hingga jenjang yang paling tinggi, sebab selain merupakan kewajiban, orang tua juga karena memiliki harapan masa depan keluarga melalui kesuksesan dan peran anaknya. Jika orang tua tidak membiayai sekolah anaknya, maka namanya orang tua gagal paham pendidikan. Nah, bagaimana jika ada orang tua meminta biaya kepada anak-anaknya untuk membayar makanan di rumah ?.
Begitulah ilustrasi jika negara justru memungut biaya pendidikan dari para siswa dan mahasiswa, dimana mereka adalah generasi yang justru sedang disiapkan untuk memejukan bangsa dan negara di masa depan. Generasi hari ini adalah masa depan bangsa. Jika yang terjadi sebaliknya, negara memungut biaya tinggi pendidikan, maka sama saja dengan sedang sengaja menghancurkan masa depan bangsa ini. Artinya negara ini gagal paham filsafat pendidikan.
Hal ini jika ditinjau dalam perspektif filsafat pendidikan, namun lebih dari itu, negeri ini sebenarnya juga telah gagal paham pendidikan dikarenakan penerapan sistem kapitalisme liberal, dimana pemerintah lepas tanggungjawab soal pendidikan. Bahkan lebih jahat lagi adalah ketika pendidikan dipandang sebagai bisnis dan lahan dagang, sehingga terjadi kapitalisasi pendidikan.
Jadi gagal paham negara soal pendidikan disebabkan oleh dua hal, yakni filsafatnya dan ideologinya yang kemudian melahirkan wordlview yang salah juga. Negara ini mengalami semacam disorientasi soal sistem pendidikan ini. Bisa jadi semua ini disebabkan oleh bangkrutnya pemerintah akibat terjerat hutang ribawi, sehingga untuk membayarnya harus memotong dari berbagai anggaran di semua kementarian, bisa jadi demikian.
Padahal ada yang sebenarnya lebih berbahaya lagi terkait sistem pendidikan di negeri ini, yakni saat kapitalisme sekuler menjadi ideologi, maka bangsa ini sesungguhnya sedang menyiapkan generasi sekuler yang kehilangan adab, moral dan etika. Sebab disaat pendidikan dijauhkan dari agama, maka akan lahir manusia-manusia tanpa tuhan. Disaat seperti inilah, kehancuran suatu negara sangat dekat.
Meskipun negeri ini telah bersepakat bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan ditunjukkan oleh sila pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa yang maknanya adalah religius state. Sila pertama bahkan diyakini sebagai ruh bagi nilai sila lainnya seperti kemanusiaan, keadilan, keadaban, persatuan, kerakyatan, kepemimpinan, kebijaksanaan, hikmah, musyawarah dan perwakilan. Namun anehnya sistem ideologi negeri ini justru kapitalisme demokrasi sekuler liberal.
Salah satu persoalan mendasar juga bisa ditemukan dalam sistem pendidikan nasional yang cenderung sekuler liberal, dimana nilai-nilai agama justru dipinggirkan atau setidaknya diberikan porsi yang sangat sangat sedikit. Akibatnya agama tidak menjadi ruh bagi sistem pendidikan nasional yang tentu saja berdampak buruk kepada kualitas moral generasi bangsa. Sebab adab, moral dan akhlak bersumber dari nilai-nilai agama, terutama agama Islam.
Kriminalitas di kalangan remaja ini mengkonfirmasi bahwa generasi muda bangsa ini telah kehilangan adab (loss of adab). Jika generasi bangsa mengalami krisis adab, maka rusaklah peradaban bangsa tersebut. Apalah artinya sebuah bangsa yang maju secara ekonomi dan sains, jika masyarakatnya amoral.
Beberapa negara yang sering dijadikan contoh kemajuan justru negara yang sering kali tak beragama. Sementara negara religius sering distigma sebagai negara mundur dan terbelakang. Tentu saja hal ini merupakan contoh yang tidak benar bagi generasi penerus bangsa.
Ada banyak faktor pembentuk adab dan peradaban suatu bangsa. Mulai dari sistem pendidikan negara, masyarakat, media hingga keluarga. Keluarga mikro kosmos dari makro kosmos sistem negara. Penerapan sistem nilai pendidikan di negara sangat mempengaruhi sistem nilai di keluarga. Meskipun keluarga tetaplah memiliki tugas penting bagi pembentukan adab dan kepribadian anak.
Ketika pemerintah tidak peduli terhadap tayangan media, maka sama saja sedang membiarkan generasi bangsa kehilangan adab. Pemerintah mestinya merumuskan peta jalan pendidikan untuk mewujdukan bangsa Indonesia yang beradab, bukan semata-mata untuk kemajuan ekonomi dan teknologi.
Miris jika kita mau melihat moralitas anak bangsa, bahkan yang masih usia sekolah yang terjun bebas. Banyak kasus-kasus kriminal yang melibatkan siswa. Kasus tawuran pelajar bahkan telah menjadi berita biasa di negeri ini, meskipun hingga menelan korban jiwa. Remaja di negeri ini juga telah menjadi generasi yang jauh dari kata beradab. Banyak terjadi kasus seperti perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, penipuan, perkelahian, penculikan, geng motor, penjambretan dan sederet kasus kriminal lainnya. Banyak kasus kriminal ini yang bahkan melibatkan pelajar sebagai pelaku atau sebagai korban. Paham sekulerisme telah menjadikan negeri ini carut marut dan penuh kejahatan dan kemaksiatan, karena anti nilai-nilai agama.
Secara etimologi sekularisme berasal dari kata saeculum (bahasa latin) yang memiliki arti waktu tertentu atau tempat tertentu. Atau lebih tepatnya menunjukkan kepada waktu sekarang dan di sini, dunia ini. Tahun 2015 MUI telah mengeluarkan fatwa haram atas paham sekulerisme agama ini, selain liberalisme dan pluralism agama.
Secara terminologis, sekulerisme adalah sebagai sebuah konsep atau ideologi yang memisahkan antara negara dan agama (state and religion). Agama hanya sebatas urusan ritual penyembahan kepada Tuhan dan tidak digunakan untuk mengatur tata kehidupan yang lebih luas. Agama dipandang sekedar ritualistik bukan sistemik. Sekularisme mengalihkan aktivitas berorientasi ukhrawi kepada orientasi duniawi semata.
Tepat jika saeculum disinonimkan dengan kata wordly dalam bahasa inggrisnya. (Ensiklopedia Wikipedia). Sekulerisme secara harfiah adalah faham yang hanya melihat kepada kehidupan saat ini saja dan di dunia ini (keduniaan an sich). Tanpa ada perhatian sama sekali kepada hal-hal yang bersifat spiritual seperti adanya kehidupan setelah kematian yang notabene adalah inti dari ajaran agama.
Sekularisme adalah ideologi kufur yang bertujuan menjauhkan peranan agama dalam kehidupan dunia, sekulerisme mencoba untuk mewujudkan dominasi dunia pada semua sisi kehidupan, abai terhadap perintah dan melanggar larangaNya. Sekulerisme bersifat laadiniyah, sebuah ideologi anti agama dengan alasan dan penipuan dengan kedok priorotas emperimental (ilmiah). Pemisahan antara institusi (negara) dengan pemahaman agama, menolak hegemoni agama dalam kehidupan masyarakat dan negara.
Sekulerisme itu intinya anti Islam, makanya memuji kemaksiatan. Maksiat merupakan lawan dari taat, istiqomah, dan takwa. Perbuatan ini dapat menjerumuskan dan membahayakan manusia, baik di dunia maupun akhirat. Lantas, apa itu maksiat ?. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maksiat diartikan sebagai perbuatan yang melanggar perintah Allah SWT. Jika seorang hamba melakukan perbuatan bermaksiat, artinya dia menentang Allah SWT.
Orang yang melakukan maksiat ialah yang berbuat sia-sia dan akan mendapatkan hukuman atas perbuatannya itu. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang Artinya : (Aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia akan mendapat (azab) neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS. Al Jinn: 23).
Dalam kitab berjudul Fawaidul Fawaid karya Ibnul Qayyim disebutkan bahwa pokok-pokok maksiat, baik yang kecil maupun yang besar ada tiga perkara, yakni bergantungnya hati kepada selain Allah, mengikuti kekuatan marah, dan menaati kekuatan syahwat. Perdukunan termasuk perkara yang pertama dari kemaksiatan. Sementara nikah beda agama termasuk kemaksiatan jenis ketiga.
Karena itu, selama negeri ini menerapkan sistem pendidikan sekuler liberal, maka selama itu pula generasi bangsa ini akan menjadi generasi tak beradab bahkan bodoh. Bertrand Russell pernah menulis bahwa manusia terlahir tidak tahu (ignorent), bukan bodoh (stupid). mereka dibuat bodoh oleh pendidikan.
Sementara pancasila hanya diteriakkan oleh para pemimpin untuk menutupi kegagalannya mengelola negara ini. Sedangkan Islam sebagai agama sempurna yang mengajarkan keagungan adab dan akhlak justru dipinggirkan, bahkan dilenyapkan. Ironis memang negeri ini.
(AhmadSastra,KotaHujan, 14/05/24 : 20.12 WIB)