Oleh :
Ahmad Sastra
Lingkaran setan
adalah frasa yang digunakan untuk menggambarkan situasi di mana serangkaian
peristiwa atau tindakan yang saling terkait membentuk siklus yang sulit untuk
dihentikan atau dipecahkan. Biasanya, setiap langkah dalam siklus tersebut
memperburuk situasi atau menyebabkan kembali ke titik awal, sehingga sulit
untuk keluar dari pola tersebut. Di negeri ini nampak tengah terjadi fenomena
lingkaran setan terkait dengan kompleksitas persoalan yang tidak kunjung
selesai, di hampir semua bidangnya.
Lingkaran setan
bisa disebabkan oleh diskompetensi para pengambil kebijakan di negeri ini. Para
pejabat dipilih bukan karena kompetensinya, namun karena relasi politik balas
jasa karena telah mendukung dalam kontestasi politik. Kedekatan politik akan
lebih dipilih dari pada yang berkompetensi, namun tidak punya kedekatan
politik. Politik transaksional telah melahirkan para pejabat yang tidak punya
kompetensi menganalisa, mengidiagnosis dan mengidentifikasi persoalan rakyat.
Akibatnya timbul apa yang disebut lingkaran setan.
Sebab kedua
adalah karena adanya disorientasi politik yang hanya bertumpu kepada
pragmatisme semata sehingga sangat mempengaruhi paradigma kebijakan. Mayoritas
pejabat memiliki niat yang salah saat memburu jabatan, yakni untuk menumpuk harta
dan mengejar tahta semata, bukan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Itulah
mengapa pejabat dan mantan pejabat selalu berlipat kekayaannya, sementara
persoalan rakyat semakin ruwet. Tiap kali pemilu, urusan rakyat bukan tambah
baik, justru semakin mengalami kompleksitas. Bahkan setiap kali selesai jadi
pemimpin, mereka hanya bisa mewariskan masalah atau mewariskan utang kepada
rakyatnya.
Lingkaran setan di bidang ekonomi adalah saat negara
ini terlilit utang tinggi mungkin meminjam lebih banyak uang untuk membayar
bunga utang yang sudah ada, bahkan membayar bunganya, sehingga menambah utang
dan menciptakan beban finansial yang lebih besar di masa depan. Kompleksitasnya
adalah semakin membebankan kehidupan rakyat, terlebih jika untuk membayar
memalak rakyat atau meninggikan pajak. Bukan jadi solusi, malah menanambah
masalah yang baru, ini namanya lingkaran setan. Bayar utang dengan utang lagi,
gali lobang tutup lobang juga merupakan lingkaran setan ekonomi di negeri ini.
Urusan negara itu
bersifat sistemik, bukan parsial. Untuk keluar dari lingkaran setan, sering
kali diperlukan intervensi eksternal atau perubahan signifikan dalam perilaku
atau kebijakan. Menyadari adanya lingkaran setan adalah langkah pertama untuk
mencari solusi yang efektif dan fundamental. Disebabkan karena kompleksitas
bersifat sistemik, maka solusinya harus ada perubahan sistem.
Secara sistem,
negara ini sesungguhnya dalam jeratan sistem ekonomi kapitalisme sekuler yang
kekayaan sumber daya dikuasai oleh segelintir oligarki asing dan aseng. Ini
bukan lagi lingkaran setan, tapi lingkaran iblis.
Lingkaran setan,
secara filosofis terkait dengan Interkonektivitas dan Kausalitas. Dimana, setiap
tindakan atau peristiwa dalam lingkaran setan saling terkait dan saling
mempengaruhi, menciptakan hubungan sebab-akibat yang kompleks. Memahami
bagaimana satu tindakan mempengaruhi yang lain adalah kunci untuk
mengidentifikasi pola dan mencari cara untuk memutus siklus tersebut.
Akibatnya adalah
ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah rakyat. Lingkaran setan
menggambarkan perasaan ketidakmampuan untuk keluar dari situasi tertentu,
terjebak dalam siklus yang terus berulang karena pengambil kebijakan yang tidak
punya kompetensi atau karena disorientasi. Ini bisa juga disebabkan oleh kurangnya sumber daya,
pengetahuan, atau dukungan untuk melakukan perubahan yang diperlukan. Yang
paling fundamental adalah kesalahan menerapkan sistem. Meminjam bahasa Mahfud
MD, malaikatpun jika masuk sistem akan menjadi iblis.
Dalam banyak
kasus, lingkaran setan melibatkan pola perilaku atau situasi yang berulang.
Mengidentifikasi dan memahami pola ini adalah langkah penting untuk menemukan
cara untuk mengubahnya. Filosofi lingkaran setan menekankan pentingnya
intervensi eksternal atau perubahan signifikan untuk memutus siklus tersebut.
Ini bisa berupa perubahan dalam kebijakan, dukungan sosial, atau upaya pribadi
yang signifikan.
Menyadari bahwa
seseorang atau suatu sistem berada dalam lingkaran setan adalah langkah pertama
menuju perubahan. Kesadaran diri ini memungkinkan identifikasi masalah yang
mendasarinya dan pengembangan strategi untuk keluar dari siklus tersebut. Lingkaran
setan sering kali melibatkan paradoks atau dilema di mana tindakan yang
dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah justru memperburuk situasi. Memahami
dan mengatasi dilema ini adalah kunci untuk memecahkan lingkaran setan.
Kompleksitas
negara dan politik mencerminkan sifat rumit dari bagaimana negara dijalankan,
bagaimana keputusan dibuat, dan bagaimana berbagai elemen dalam masyarakat
saling berinteraksi. Negara dan politik melibatkan banyak aktor, institusi, dan
faktor yang berinteraksi dengan cara yang dinamis dan sering tidak dapat
diprediksi.
Kompleksitas di
negeri ini dimulai dari sistem pemerintahannya. Termasuk berbagai cabang
pemerintahan seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif, yang memiliki fungsi
dan tanggung jawab berbeda. Sementara partai politik yang mewakili berbagai
ideologi dan kepentingan, bersaing untuk mendapatkan kekuasaan dan mempengaruhi
kebijakan. Tak ketinggalan kelompok kepentingan dan lobi, yakni organisasi yang
mencoba mempengaruhi kebijakan dan keputusan politik untuk menguntungkan
anggota mereka.
Kompleksitas juga
bisa disebabkan oleh dinamika kekuasaan yang tidak sehat akibat perilaku yang
tidak etis. Proses pemilihan umum yang melibatkan kampanye, pemungutan suara,
dan pergantian kekuasaan yang dapat memengaruhi arah kebijakan. Sistem di mana
kekuasaan terkonsentrasi pada satu individu atau kelompok kecil, seringkali
mengurangi partisipasi dan kebebasan politik. Proses perubahan rezim yang
sering kali penuh dengan ketidakstabilan dan ketidakpastian.
Proses pembuatan kebijakan yang melibatkan kepentingan
pragmatis juga akan menimbulkan kompleksitas. Kebijakan seringkali melibatkan
penelitian, debat, dan kompromi antara berbagai aktor politik dan kepentingan. Tantangan
dalam mengubah keputusan kebijakan menjadi tindakan nyata, sering kali
terhambat oleh birokrasi, korupsi, atau resistensi dari berbagai kelompok.
Memahami
kompleksitas negara dan politik memerlukan pendekatan holistik yang
mempertimbangkan berbagai elemen dan interaksi di antara mereka. Analisis
sistemik, partisipasi yang luas, dan transparansi adalah kunci untuk mengelola
kompleksitas ini dan mencapai pemerintahan yang efektif dan inklusif. Relasi
yang salah antara pemerintah dengan rakyat akibat sistem kapitalisme sekuler
telah menyebabkan kompleksitas dan lingkaran setan.
Sementara, relasi
antara pemerintah dan rakyat dalam Islam didasarkan pada prinsip-prinsip dasar
yang tercantum dalam Al-Qur'an, Hadis, dan ajaran para ulama. Islam menekankan
keadilan, akuntabilitas, kepemimpinan yang adil, dan partisipasi rakyat dalam
proses pengambilan keputusan.
Dalam Islam,
pemimpin (khalifah atau imam) dipandang sebagai pelayan rakyat, bukan sebagai
penguasa absolut. Mereka bertanggung jawab untuk memastikan kesejahteraan dan
keadilan bagi semua warga. Kepemimpinan dianggap sebagai amanah dari Allah.
Pemimpin harus menjalankan tugasnya dengan integritas dan kejujuran, selalu
mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
Islam menekankan
pentingnya keadilan dalam semua aspek kehidupan, termasuk distribusi kekayaan,
perlakuan terhadap minoritas, dan penegakan hukum. Pemimpin harus memastikan
bahwa keadilan ditegakkan tanpa memandang status sosial atau ekonomi. Penegakan
hukum harus didasarkan pada Syariah yang adil dan tidak diskriminatif.
Konsep hisbah
dalam Islam merujuk pada mekanisme pengawasan masyarakat terhadap pemerintah.
Masyarakat memiliki hak untuk menuntut pertanggungjawaban pemimpin atas
kebijakan dan tindakan mereka. Para ulama dan cendekiawan memiliki peran
penting dalam menasihati dan mengawasi pemerintah, memastikan bahwa kebijakan
dan tindakan pemerintah sesuai dengan ajaran Islam.
Islam mendorong
proses pengambilan keputusan melalui musyawarah atau konsultasi. Pemimpin harus
mendengarkan masukan dari rakyat dan melibatkan mereka dalam pengambilan
keputusan. Keputusan harus diambil berdasarkan kesepakatan bersama setelah
mempertimbangkan pandangan dan masukan dari berbagai pihak, selama masalahnya
adalah mubah. Keputusan dalam Islam tidak boleh menyalahi syariah Islam, sebab
kedaulatan hukum ada di tangan Allah.
Islam mengakui
dan melindungi hak asasi manusia, termasuk hak atas kebebasan berpendapat yang
tidak melanggar syariah, hak untuk hidup dengan layak, dan hak atas keamanan. Rakyat
memiliki kewajiban untuk mematuhi hukum, mendukung pemerintah yang adil, dan
berkontribusi pada kesejahteraan umum, termasuk melalui pembayaran zakat.
Keuangan negara
harus dikelola dengan transparan, dan pemimpin harus bertanggung jawab atas
penggunaan dana publik. Pemerintah harus menyediakan informasi yang akurat dan
transparan kepada rakyat mengenai kebijakan dan kegiatan pemerintah.
Pemerintah harus
memastikan bahwa semua warga negara memiliki akses ke layanan dasar seperti
pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Islam menekankan perlindungan
terhadap kelompok-kelompok rentan, termasuk anak-anak, wanita, dan orang
miskin.
Dikenal karena
keadilan dan kerendahatiannya, Khalifah Umar sering berkeliling di malam hari
untuk mendengarkan keluhan rakyatnya dan memastikan kesejahteraan mereka.
Sementara Khalifah Abu Bakar As-Siddiq menunjukkan akuntabilitas dan
transparansi ketika ia memimpin umat Islam, selalu berusaha untuk menegakkan
keadilan dan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Relasi antara
pemerintah dan rakyat dalam Islam didasarkan pada prinsip keadilan,
akuntabilitas, partisipasi, dan kesejahteraan umum. Kepemimpinan dalam Islam
dianggap sebagai amanah yang harus dijalankan dengan integritas dan kejujuran,
sementara rakyat memiliki hak dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam proses
politik dan menuntut pertanggungjawaban dari pemimpin mereka. Dengan demikian,
Islam menyediakan kerangka kerja yang komprehensif untuk menciptakan relasi
yang harmonis dan adil antara pemerintah dan rakyat. Sistem khilafah dalam
sejarahnya telah membuktikannya.
(AhmadSastra,KotaHujan,19/06/24
: 10.55 WIB)