IRONI PSIKO-ABNORMAL FLEXING DI TENGAH NEGERI YANG SEDANG SAKIT


 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Kembali marak perilaku flexing oleh segelintir pejabat dan artis yang merupakan kaum 1 persen di tengah negeri yang justru sedang sakit. Berbagai problem kebangsaan seperti kemiskinan, seks bebas, judi online, pinjol mahasiswa, fenomena bunuh diri, hingga banyaknya pengangguran menunjukkan bahwa negeri ini tidak sedang baik-baik aja.  Namun di sisi lain, justru kembali marak perilaku flexing atau memamerkan kekayaan dan prestasi sering kali dikaitkan dengan kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan sosial, status, atau validasi dari orang lain.

 

Dalam teori kepribadian, flexing bisa dikaitkan dengan perilaku narsisme. Orang yang memiliki ciri-ciri narsistik cenderung ingin dikagumi dan dilihat sebagai superior. Mereka mungkin melakukan flexing untuk menegaskan status mereka dan mendapatkan pujian atau perhatian. Individu dengan harga diri rendah mungkin terlibat dalam flexing sebagai cara untuk menutupi perasaan tidak aman mereka. Mereka mencoba untuk memperoleh validasi dari luar untuk mengkompensasi perasaan kurangnya penghargaan terhadap diri sendiri.

 

Dalam perspektif teori motivasi dan kebutuhan Maslow menjelaskan bahwa setelah kebutuhan dasar seperti keamanan dan cinta terpenuhi, seseorang mungkin mencari pengakuan dan penghargaan dari orang lain. Flexing bisa dianggap sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan akan harga diri dan pengakuan sosial. Menurut teori ini, manusia memiliki kebutuhan mendasar untuk diterima dan diakui oleh kelompok sosialnya. Flexing dapat menjadi upaya untuk memenuhi kebutuhan ini, dengan menampilkan atribut yang dianggap berharga oleh kelompok tersebut.

 

Dalam perspektif teori perilaku sosial, seorang individu sering membandingkan diri mereka dengan orang lain untuk mengevaluasi status mereka. Flexing bisa menjadi cara untuk menempatkan diri pada posisi yang lebih tinggi dalam hirarki sosial, dengan menunjukkan bahwa mereka lebih berhasil atau memiliki lebih banyak dari orang lain. Dalam konteks hubungan sosial, orang mungkin terlibat dalam flexing untuk mendapatkan imbalan sosial, seperti kekaguman atau perhatian, yang dianggap lebih berharga dari sumber daya yang dipamerkan.

 

Sedangkan menurut teori identitas diri menjelaskan bahwa orang mungkin menggunakan flexing untuk memperkuat identitas mereka di dalam kelompok sosial tertentu. Misalnya, menunjukkan kekayaan atau prestasi bisa menjadi cara untuk memperkuat identitas sebagai individu yang sukses. Individu mungkin melakukan flexing untuk mengontrol bagaimana mereka dilihat oleh orang lain. Dengan menunjukkan aspek-aspek tertentu dari diri mereka, mereka berharap untuk membentuk kesan yang positif dan kuat di mata orang lain.

 

Meskipun flexing bisa memberikan keuntungan jangka pendek dalam bentuk perhatian atau kekaguman, dalam jangka panjang, hal ini bisa merusak hubungan sosial. Orang lain mungkin merasa terintimidasi, iri, atau bahkan terganggu oleh perilaku ini. Flexing yang berlebihan dapat menandakan adanya masalah psikologis yang lebih dalam, seperti ketidakpuasan diri, kecemasan sosial, atau gangguan narsistik. Terlalu fokus pada citra luar juga bisa menghambat perkembangan emosional dan kepribadian seseorang.

 

Di masyarakat yang sangat menghargai materialisme dan prestasi, flexing mungkin lebih umum karena ada tekanan sosial yang kuat untuk menunjukkan keberhasilan. Namun, di budaya yang lebih menekankan kerendahan hati, flexing bisa dilihat sebagai sesuatu yang negatif.

 

Di era digital, media sosial telah memperbesar fenomena flexing. Orang dengan mudah memamerkan kekayaan, pencapaian, dan gaya hidup mereka kepada audiens yang lebih luas. Ini bisa memperkuat perilaku flexing karena ada imbalan langsung berupa like, komentar, dan followers.

 

Perilaku flexing dapat dikaitkan dengan beberapa konsep dalam psikologi abnormal, terutama ketika perilaku tersebut dilakukan secara berlebihan atau kompulsif, dan menjadi bagian dari gangguan mental atau kepribadian, terlebih jika dilakukan oleh pejabat di tengah kehidupan rakyat yang makin susah.

 

Pertama, psiko-abnormal flexing bernama narsisme patologis. Flexing sering kali terlihat pada individu dengan gangguan kepribadian narsistik. Mereka memiliki kebutuhan yang ekstrem akan kekaguman, merasa diri superior, dan memiliki sedikit empati terhadap orang lain. Flexing dalam kasus ini bukan hanya tentang menunjukkan kekayaan atau prestasi, tetapi juga tentang meyakinkan diri sendiri dan orang lain akan nilai atau keunggulan pribadi yang dirasakan.

 

Pada orang dengan narsisme patologis, flexing bisa mencerminkan grandiosity, yaitu perasaan superioritas yang tidak realistis. Mereka mungkin terus-menerus mencari cara untuk menunjukkan betapa lebih baik atau lebih sukses mereka dibandingkan orang lain, sebagai cara untuk menegaskan identitas mereka.

 

Perilaku kompulsif dan ketergantungan sosial dalam perilaku flexing juga menunjukkan gejala psiko-abnormal bernama obsessive-compulsive personality disorder (OCPD).  Pada individu dengan OCPD, ada kebutuhan yang berlebihan untuk perfeksionisme, kontrol, dan validasi sosial. Flexing bisa menjadi perilaku kompulsif untuk memastikan bahwa mereka tetap dipandang sebagai individu yang sukses atau superior.

 

Beberapa orang mungkin mengembangkan ketergantungan yang tidak sehat pada validasi eksternal melalui flexing. Mereka mungkin merasa gelisah atau tidak berharga tanpa umpan balik positif yang mereka peroleh dari menunjukkan prestasi atau kekayaan.

 

Dalam pandangan psiko-abnormal perilaku flexing ada istilah insekuritas dan harga diri rendah yang disebabkan oleh gangguan depresi. Pada beberapa individu, flexing bisa menjadi mekanisme untuk menutupi rasa tidak aman atau harga diri yang rendah, yang sering dikaitkan dengan kondisi seperti gangguan depresi. Mereka mungkin merasa perlu untuk terus-menerus membuktikan nilai diri mereka kepada orang lain karena perasaan tidak cukup baik atau tidak berharga. Orang dengan gangguan kepribadian ambang (Borderline Personality Disorder) sering mengalami ketidakstabilan dalam citra diri dan suasana hati. Flexing bisa menjadi cara mereka untuk mencoba mengatasi perasaan tidak stabil dan mencari validasi eksternal sebagai upaya untuk menenangkan ketidakpastian tentang diri mereka sendiri.

 

Dalam kajian psiko-abnomal, perilaku flexing juga merupakan gangguan perilaku sosial yang dikenal dengan istilah antisosial personality disorder. Pada individu dengan gangguan kepribadian antisosial, flexing bisa menjadi cara untuk memanipulasi atau mendominasi orang lain. Mereka mungkin menggunakan kekayaan atau prestasi sebagai alat untuk mengontrol atau mempengaruhi orang lain tanpa memperhatikan dampak negatif pada hubungan sosial. Flexing dalam konteks ini bisa dilihat sebagai upaya terus-menerus untuk mengelola kesan orang lain demi keuntungan pribadi, sering kali dengan cara yang manipulatif atau tidak jujur.

 

Perilaku flexing juga merupakan Gangguan Kecemasan Sosial atau Social Anxiety Disorder. Pada beberapa orang dengan kecemasan sosial, flexing mungkin terjadi sebagai cara untuk mengatasi rasa takut akan penolakan atau penghinaan. Mereka mungkin merasa perlu untuk menunjukkan sisi terbaik dari diri mereka secara berlebihan agar tidak dihakimi atau direndahkan oleh orang lain.

 

Flexing yang berlebihan dapat menyebabkan siklus ketidakpuasan diri, di mana individu terus-menerus merasa perlu mencapai lebih banyak atau memiliki lebih banyak untuk mempertahankan citra diri yang diinginkan. Orang yang terlalu sering flexing mungkin menghadapi isolasi sosial, karena orang lain mulai menjauh atau merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut. Ini bisa memperburuk kondisi psikologis dan menyebabkan perasaan kesepian atau depresi.

 

Dalam konteks psikologi abnormal, flexing bisa menjadi gejala atau perilaku yang terkait dengan berbagai gangguan mental, terutama jika dilakukan secara berlebihan atau sebagai kompensasi untuk masalah psikologis yang mendasar. Penting untuk memahami bahwa perilaku ini, meskipun mungkin tampak sebagai upaya untuk mendapatkan pengakuan atau status, dapat mencerminkan ketidakstabilan emosional atau gangguan dalam regulasi diri yang membutuhkan perhatian lebih lanjut.

 

Maka, akan lebih parah jika perilaku psiko-abnormal flexing justru dilakukan oleh pejabat di tengah kesusahan rakyat. Apakah negeri ini sedang memiliki para pemimpin yang abnormal ?

 

(AhmadSastra,KotaHujan,25/08/24 : 20.53 WIB)

 

 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.