Oleh : Ahmad Sastra
Ada poin baru dalam draf Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ). Dewan Aglomerasi, yang sebelumnya diatur bakal dipimpin Wakil Presiden, kini disepakati bakal ditunjuk presiden dengan ketentuan penunjukannya diatur lebih lanjut melalui keputusan presiden. Perubahan dalam draf RUU DKJ itu disepakati dalam rapat rapat Panja RUU DKJ yang berlangsung di ruang rapat Badan Legislasi DPR, gedung Nusantara I DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (15/3/2024). Rapat ini dihadiri perwakilan pemerintah hingga DPD RI.
Alasan utama tanggungjawab atributif penunjukan dewan kawasan aglomerasi di tangan presiden itu adalah karena Indonesia menganut sistem presidensial, meski bisa dilaksanakan oleh pihak lain, baik menko maupun wakil presiden sebagaimana ditegaskan oleh anggota Baleg DPR RI Taufik Basari. Sementara, anggota Baleg DPR RI Fraksi PKS Mardani Ali Sera setuju dengan rumusan baru tersebut. Mardani menyebut tak masalah jika nantinya presiden tetap menunjuk wakil presiden untuk memimpin Dewan Kawasan Aglomerasi.
Aglomerasi adalah istilah yang digunakan dalam geografi dan ekonomi untuk merujuk pada konsentrasi atau pengelompokan aktivitas manusia, industri, atau penduduk di satu wilayah tertentu. Aglomerasi biasanya terjadi ketika beberapa faktor seperti lokasi strategis, infrastruktur yang baik, dan peluang ekonomi menarik banyak perusahaan atau penduduk ke suatu area.
Dalam konteks urbanisasi, aglomerasi sering mengacu pada pengelompokan kota-kota atau wilayah perkotaan yang saling berdekatan dan saling terhubung. Misalnya, kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) di Indonesia adalah contoh aglomerasi perkotaan, di mana kota-kota ini terhubung satu sama lain dan membentuk satu wilayah metropolitan yang besar.
Dalam ekonomi, konsep aglomerasi sering dikaitkan dengan ekonomi skala dan efisiensi, karena perusahaan yang berada di area yang sama dapat saling menguntungkan, berbagi infrastruktur, tenaga kerja, atau bahkan pengetahuan, yang bisa mengurangi biaya dan meningkatkan produktivitas. Namun, aglomerasi juga dapat menimbulkan masalah, seperti kemacetan, polusi, dan kesenjangan sosial jika tidak dikelola dengan baik.
Aglomerasi dalam konteks sistem kapitalisme sekuler sebagaimana diterapkan di negeri ini merujuk pada proses konsentrasi atau pengumpulan aktivitas ekonomi, manusia, dan sumber daya di wilayah tertentu, biasanya kota-kota besar atau kawasan industry yang dalam hal ini adalah DKI Jakarta. Fenomena ini sangat terkait dengan prinsip efisiensi, keuntungan ekonomi, dan peningkatan produktivitas yang menjadi inti dari kapitalisme. Artinya, aglomerasi adalah kawasan ekonomi bagi para oligarki.
Aglomerasi ekonomi daerah khusus Jakarta merujuk pada pengelompokan industri dan aktivitas ekonomi untuk mencapai manfaat ekonomi para pemodal. Hal seperti ini telah ada contohnya, misalnya Silicon Valley di AS yang menjadi pusat industri teknologi, di mana banyak perusahaan teknologi besar dan start-up berkumpul.
Aglomerasi yang didominasi oligarki kapitalistik didorong oleh pencarian efisiensi dan keuntungan maksimal. Dengan berkumpulnya berbagai sektor industri di satu lokasi, perusahaan dapat memanfaatkan sinergi, inovasi lebih cepat, dan biaya yang lebih rendah. Fenomena ini sejalan dengan prinsip kompetisi bebas dalam kapitalisme, di mana perusahaan mencari keuntungan terbesar dengan memanfaatkan efisiensi yang ditawarkan oleh aglomerasi.
Aglomerasi seringkali menghasilkan "economies of scale", yaitu situasi di mana perusahaan dapat mengurangi biaya produksi per unit karena meningkatnya skala produksi. Selain itu, adanya akses cepat terhadap teknologi, inovasi, serta tenaga kerja terampil dapat mendorong produktivitas yang lebih tinggi. Ini mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan tersebut, namun seringkali menimbulkan kesenjangan regional antara pusat-pusat ekonomi yang makmur dan daerah yang tertinggal.
Aglomerasi juga membawa beberapa masalah dalam kapitalisme sekuler. Kota-kota besar yang menjadi pusat aglomerasi dapat menghadapi masalah seperti kepadatan penduduk, kemacetan lalu lintas, ketidakadilan sosial, dan degradasi lingkungan. Dalam sistem kapitalisme, di mana keuntungan ekonomi sering diutamakan, masalah-masalah ini kadang tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan menjadi karakteristik dasar sistem kapitalisme sekuler.
Dalam sistem kapitalisme sekuler, nilai-nilai spiritual atau moral sering kali dianggap terpisah dari ekonomi. Fokus utamanya adalah pada pertumbuhan ekonomi dan keuntungan materi. Ini membuat fenomena aglomerasi lebih murni dilihat dari sudut pandang efisiensi dan keuntungan ekonomi tanpa memperhatikan dampak etis atau moral yang mungkin muncul.
Dengan kondisi ini, maka akan bermunculan tempat-tempat hiburan yang menawarkan perjudian, minuman berakohol dan prostitusi di wilayah aglomerasi Jakarta karena mengabaikan nilai agama. Sistem ekomoni kapitalisme sekuler hanya fokus pada manfaat dan keuntungan materi, tidak mengenal hukum halal dan haram. Sistem inilah yang justru akan menimbulkan kompleksitas dan tidak akan memberikan solusi ekonomi bagi masyarakat.
Dalam konteks sistem Islam, konsep aglomerasi dapat dikaitkan dengan prinsip-prinsip urbanisasi, ekonomi, dan tata kelola wilayah berdasarkan ajaran Islam. Islam tidak secara eksplisit membahas aglomerasi seperti dalam ilmu ekonomi atau geografi modern, namun beberapa prinsip dapat dihubungkan dengan fenomena ini.
Dalam sistem Islam, salah satu aspek penting dari pengelolaan kota dan wilayah adalah keadilan dalam distribusi sumber daya, termasuk distribusi ekonomi dan sosial karena memiliki prinsip kepemilikan yang khas. Aglomerasi ekonomi, di mana perusahaan atau kegiatan ekonomi terkonsentrasi di wilayah tertentu, harus dikelola agar tidak menciptakan ketimpangan ekonomi yang tajam. Islam menekankan prinsip al-'adl (keadilan) dan melarang akumulasi kekayaan secara tidak adil di tangan segelintir orang atau wilayah tertentu, seperti yang dijelaskan dalam Qur'an Surah Al-Hasyr ayat 7. Oleh karena itu, dalam sistem Islam, aglomerasi ekonomi seharusnya tidak merugikan wilayah atau kelompok lain.
Islam juga memiliki konsep perencanaan kota dan masyarakat yang menekankan kesejahteraan sosial dan spiritual. Misalnya, kota Madinah pada masa Rasulullah ﷺ dirancang dengan mempertimbangkan keseimbangan antara aktivitas ekonomi, ibadah, dan interaksi sosial. Aglomerasi penduduk dan aktivitas ekonomi di satu wilayah dalam Islam harus menciptakan harmoni, baik dalam hal ibadah maupun kebutuhan duniawi, serta menjaga keseimbangan dengan alam.
Kota-kota Islam klasik seperti Baghdad dan Kairo pada masa keemasannya adalah contoh aglomerasi perkotaan yang dibangun dengan prinsip-prinsip Islam. Mereka menjadi pusat perdagangan, ilmu pengetahuan, dan peradaban, namun tetap mempertahankan nilai-nilai keadilan sosial, akses terhadap pendidikan, dan distribusi sumber daya yang adil.
Dalam Islam, konsep maslahah (kemaslahatan umum) sangat penting. Setiap aglomerasi ekonomi atau sosial harus mempromosikan kemakmuran umum dan kebaikan kolektif. Oleh karena itu, pengelompokan aktivitas ekonomi atau urbanisasi besar harus membawa manfaat bagi masyarakat luas, bukan hanya kelompok tertentu. Keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan serta keharmonisan sosial menjadi tujuan utama dalam aglomerasi wilayah menurut prinsip Islam.
Sistem Islam juga menekankan pentingnya pembangunan infrastruktur yang merata untuk mendukung kesejahteraan seluruh penduduk. Dalam sebuah aglomerasi, infrastruktur, seperti akses air, tempat ibadah, fasilitas pendidikan, dan kesehatan harus tersedia secara adil dan merata. Tidak boleh ada ketimpangan antara pusat kota dan pinggiran kota, seperti yang sering terjadi dalam aglomerasi modern di luar prinsip-prinsip Islam.
Prinsip tanggung jawab kolektif dan etika bisnis dalam Islam juga mempengaruhi konsep aglomerasi. Setiap individu atau kelompok yang terlibat dalam aktivitas ekonomi di wilayah aglomerasi harus mematuhi prinsip kejujuran, keadilan, dan tidak merugikan orang lain. Hal ini berkaitan dengan muamalah (interaksi sosial dan bisnis) yang diajarkan dalam Islam, di mana segala bentuk interaksi ekonomi tidak boleh mengandung ghoror dan riba.
Dalam Islam, keseimbangan (mīzān) sangat penting. Tata kota Islam tidak hanya memperhatikan kebutuhan manusia, tetapi juga menjaga keseimbangan dengan lingkungan dan alam. Konsep khilafah mengajarkan bahwa manusia bertanggung jawab untuk menjaga bumi dan tidak boleh mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Perencanaan kota dalam sistem Islam memperhatikan pemeliharaan ruang hijau, air, dan kebersihan lingkungan.
Masjid memiliki peran sentral dalam tata kota Islam. Dalam perencanaan kota, masjid sering ditempatkan di pusat sebagai tempat ibadah dan berkumpulnya umat, serta pusat kegiatan sosial dan pendidikan. Masjid berfungsi sebagai simbol kesatuan dan kehidupan sosial yang berlandaskan spiritualitas. Ini menegaskan bahwa kehidupan manusia dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari aspek keagamaan.
Dalam tata kota Islam, pasar (suq) dirancang sedemikian rupa untuk mendukung kegiatan ekonomi yang adil dan beradab. Islam menekankan transaksi yang adil, tanpa riba (bunga) dan tanpa penipuan. Oleh karena itu, pasar-pasar di kota-kota Islam harus diawasi secara ketat untuk memastikan aktivitas perdagangan berlangsung sesuai dengan syariat, di mana tidak ada eksploitasi, harga tidak dimanipulasi, dan hak-hak pekerja dihormati.
Salah satu ciri khas tata kota dalam sistem Islam adalah penggunaan waqaf (tanah atau properti yang disumbangkan untuk kepentingan umum). Waqaf digunakan untuk mendanai fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur sosial lainnya. Prinsip ini memastikan bahwa kota dibangun untuk mendukung kesejahteraan sosial dan masyarakat, bukan hanya untuk kepentingan pribadi atau elit ekonomi.
Islam sangat menekankan kebersihan (ṭahārah), yang juga tercermin dalam tata kota Islam. Sistem sanitasi yang baik, pembuangan limbah yang teratur, dan penyediaan air bersih adalah elemen penting dalam perencanaan kota. Nabi Muhammad SAW juga mendorong umat Islam untuk menjaga lingkungan sekitar tetap bersih, termasuk jalan dan pasar. Hal ini membuat kebersihan kota menjadi aspek vital dalam tata kota Islam.
Dalam tata kota Islam, perumahan dirancang dengan memperhatikan privasi dan kehormatan penghuni. Setiap rumah diatur agar tidak saling mengganggu, seperti menjaga agar pintu dan jendela tidak langsung menghadap rumah tetangga. Ada perhatian terhadap tata letak yang meminimalisasi konflik sosial serta memperhatikan hak-hak tetangga. Islam juga mendorong agar setiap individu memiliki tempat tinggal yang layak sebagai bagian dari hak dasar manusia.
Jalan dalam tata kota Islam dirancang agar cukup lebar untuk memfasilitasi lalu lintas dan interaksi sosial. Jalan tidak boleh terlalu sempit sehingga mengganggu mobilitas. Selain itu, ruang terbuka seperti taman dan area publik lainnya diperhitungkan untuk memberikan tempat bersantai dan beraktivitas bagi penduduk, yang juga menguatkan ikatan sosial antarwarga.
Kota dalam Islam harus memberikan rasa aman bagi warganya. Ini bukan hanya keamanan fisik dari ancaman eksternal, tetapi juga keamanan sosial dan spiritual. Sistem tata kota Islam bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang harmonis, di mana keadilan ditegakkan dan ketertiban sosial terjaga.
Tata kota Islam memperhatikan kemudahan aksesibilitas bagi seluruh warganya. Dalam sejarah, kota-kota Islam dirancang agar mudah diakses dengan jalur yang jelas menuju masjid, pasar, dan fasilitas penting lainnya. Dengan demikian, setiap warga memiliki akses yang sama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 09/09/2024 : 13.00 WIB)