Oleh : Ahmad Sastra
Jalan buntu demokrasi atau demokratic deadlock adalah istilah yang menggambarkan situasi di mana proses demokratis terhenti atau tidak berfungsi secara efektif. Hal ini biasanya terjadi ketika institusi demokrasi, seperti lembaga pemerintahan, parlemen, atau mekanisme pemilihan, tidak lagi mampu menjalankan fungsinya dengan baik, dan terjadi kebuntuan dalam pengambilan keputusan politik yang penting.
Trias politika demokrasi yang diterapkan di negeri ini seringkali justru tak berfungsi sama sekali. Hal ini disebabkan karena mereka terikat dengan partai pengusungnya, sehingga yang terjadi adalah hegemoni atau kedaulatan partai, bukan kedaulatan rakyat, apalagi kedaulatan Tuhan. Kebijakan pemerintah yang didukung anggota dewan seringkali justru sangat merugikan rakyat, karena berpihak kepada oligarki atas restu ketua partai. Di titik inilah demokrasi mengalami kebuntuan yang berujung pada kesengsaraan rakyat.
Ketika kelompok politik atau partai yang berbeda memiliki pandangan yang sangat bertentangan dan tidak ada kesediaan untuk berkompromi, kebuntuan sering terjadi. Polarisasi politik ini bisa memperburuk kualitas dialog demokrasi, meskipun kompromi itu sendiri seringkali hanya karena pragmatisme semata yang tidak berhubungan dengan kepengurusan rakyat. Jadi polarisasi maupun kompromi tetap akan berujung kepada kebuntuan.
Jika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi demokrasi seperti parlemen, lembaga kehakiman, atau pemerintah, mereka mungkin tidak lagi berpartisipasi dalam proses demokratis adalah bagian dari kebuntuan demokrasi dan hal ini sangat mungkin terjadi karena rakyat hanya dijadikan sapi perah dan penonton. Pemilu tidak lebih dari sekedar legitimasi formalitas bagi demokrasi.
Ketika satu kelompok politik atau pemimpin menggunakan kekuasaannya untuk melemahkan sistem demokrasi, misalnya dengan mengendalikan media, memanipulasi pemilu, atau mengabaikan peraturan hukum, hal ini bisa mengarah ke kebuntuan. Di negeri ini trias politika telah hampir sempurna memerankan hal ini. Akhirnya rakyat semakin muak dengan semua drama politik yang ada.
Di beberapa negara dengan sistem parlemen, bisa terjadi kebuntuan jika tidak ada koalisi mayoritas yang bisa dibentuk setelah pemilu, sehingga pemerintahan tidak bisa dijalankan. Munculnya pemimpin yang berorientasi populis atau otoriter dapat melemahkan institusi demokrasi. Pemimpin semacam ini sering kali mengesampingkan mekanisme demokrasi untuk menjaga kekuasaannya, sehingga memicu krisis politik.
Krisis besar, seperti resesi ekonomi atau masalah sosial seperti ketidaksetaraan yang tinggi, dapat memperburuk ketidakstabilan politik dan menyebabkan kebuntuan dalam demokrasi karena pemerintah sulit mengelola situasi secara efektif. Berapa kali Amerika mengalami krisis ekonomi gegara demokrasi oligarki ini ? Tidak ada negara yang tidak pernah mengalami krisis ekonomi dan sosial saat menerapkan demokrasi.
Karena itu tidak heran jika para filosof dahulu sudah sangat pesimis kepada demokrasi. Plato adalah salah satu filsuf paling awal yang sangat kritis terhadap demokrasi. Dalam karyanya, Republik, dia menggambarkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang tidak stabil dan cenderung menurun menjadi kekacauan. Menurut Plato, dalam demokrasi, rakyat memilih pemimpin berdasarkan popularitas, bukan kemampuan. Dia percaya bahwa massa sering kali tidak memiliki pengetahuan atau kebijaksanaan yang diperlukan untuk memimpin negara, dan akibatnya, demokrasi akan jatuh ke dalam tirani ketika rakyat tertarik pada pemimpin yang karismatik namun berbahaya.
Murid Plato, Aristoteles, juga memiliki pandangan kritis terhadap demokrasi. Dalam Politik, Aristoteles membedakan antara berbagai bentuk pemerintahan, termasuk demokrasi, yang ia anggap sebagai bentuk pemerintahan yang "buruk" ketika dibandingkan dengan politeia (pemerintahan oleh banyak orang dengan aturan hukum). Menurut Aristoteles, demokrasi berisiko karena cenderung menjadi pemerintahan oleh mayoritas yang termotivasi oleh kepentingan pribadi mereka sendiri, bukan oleh keadilan atau kesejahteraan bersama.
Tocqueville, seorang filsuf dan sosiolog asal Prancis, mengamati sistem demokrasi Amerika dalam bukunya Democracy in America. Dia khawatir bahwa dalam demokrasi, kehendak mayoritas dapat menekan minoritas dan memaksakan pandangan yang homogen. Selain itu, dia melihat adanya risiko munculnya apatisme dan individualisme yang dapat melemahkan keterlibatan politik masyarakat.
Sementara, dalam pandangan Nietzsche, demokrasi mempromosikan kesetaraan yang merendahkan, di mana yang unggul disamakan dengan yang biasa. Dia melihat demokrasi sebagai pemerintahan massa yang menghancurkan keunggulan individu dan inovasi. Nietzsche percaya bahwa demokrasi dapat menyebabkan mediokritas dan menghalangi perkembangan "superman" (Ãœbermensch) atau individu yang luar biasa yang dapat memimpin umat manusia menuju tingkat yang lebih tinggi.
Ortega y Gasset, seorang filsuf Spanyol, dalam bukunya The Revolt of the Masses (1930), mengemukakan kekhawatiran tentang demokrasi massal modern. Dia berpendapat bahwa demokrasi berisiko dikendalikan oleh "massa," yang ia anggap sebagai orang-orang yang pasif, tidak berbudaya, dan kurang dalam kualitas intelektual. Menurutnya, demokrasi dapat menyebabkan munculnya pemerintahan oleh orang biasa yang tidak berkompeten, dan hal ini dapat merusak tatanan sosial dan budaya.
Carl Schmitt, seorang filsuf politik Jerman, adalah kritikus tajam terhadap demokrasi liberal. Schmitt berpendapat bahwa demokrasi tidak bisa menangani konflik politik secara efektif, karena demokrasi cenderung mencari konsensus atau kompromi. Menurut Schmitt, politik pada dasarnya adalah soal perbedaan antara "kawan" dan "lawan," dan demokrasi, dengan keinginannya untuk menghilangkan perbedaan tersebut, tidak realistis dan akan gagal dalam menghadapi krisis.
Rancière mengemukakan pandangan bahwa demokrasi sejati hampir tidak pernah tercapai, karena sistem politik yang ada sering kali merupakan oligarki yang menyamar sebagai demokrasi. Menurut Rancière, dalam demokrasi modern, kekuasaan sering kali berada di tangan segelintir elit yang mendominasi pengambilan keputusan. Dia menekankan bahwa demokrasi adalah sesuatu yang terus-menerus dalam perjuangan antara kekuatan rakyat dan elite.
Pesimisme terhadap demokrasi juga hadir di kalangan cendekiawan Muslim, terutama yang memiliki pandangan tradisionalis atau yang memprioritaskan nilai-nilai Islam dalam politik. Banyak cendekiawan Muslim yang memandang demokrasi sebagai sistem politik yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam, terutama dalam hal otoritas hukum. Dalam Islam, syariah dianggap sebagai sumber hukum tertinggi yang berasal dari Tuhan, sedangkan dalam demokrasi, hukum dibuat oleh manusia melalui pemungutan suara dan debat politik. Bagi beberapa cendekiawan, ini menimbulkan ketidakcocokan mendasar, karena demokrasi dianggap menggantikan otoritas ilahi dengan otoritas rakyat.
Sayyid Qutb (1906–1966), seorang pemikir Islam dari Mesir, adalah contoh penting dari cendekiawan yang pesimis terhadap demokrasi. Menurutnya, demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang menjauhkan masyarakat dari hukum Tuhan. Qutb menyebut sistem politik Barat, termasuk demokrasi, sebagai "jahiliyyah modern" (kebodohan atau kegelapan modern) karena memisahkan kehidupan sosial dan politik dari prinsip-prinsip syariah.
Abul A'la Maududi (1903–1979), seorang pemikir politik Islam dari Pakistan, menolak demokrasi dalam bentuk Barat karena dianggap mengabaikan prinsip-prinsip moral dan agama. Menurut Maududi, demokrasi hanya benar jika didasarkan pada kedaulatan Tuhan dan bukan kedaulatan rakyat. Demokrasi yang beroperasi berdasarkan kehendak mayoritas tanpa panduan ilahi akan menghasilkan kezaliman terhadap kelompok minoritas dan mendorong kerusakan moral.
Ali Shariati (1933–1977), seorang cendekiawan dari Iran, mengkritik konsep sekularisme yang datang bersamaan dengan demokrasi Barat, karena ia melihatnya sebagai upaya untuk memisahkan Islam dari urusan sosial dan politik yang biasa disebut dengan istilah sekulerisme. Shariati percaya bahwa Islam harus menjadi dasar tatanan sosial-politik dan menolak gagasan bahwa agama hanya sebatas urusan pribadi, seperti yang diterapkan dalam demokrasi sekuler.
Pemikir kontemporer seperti Taqiuddin al-Nabhani (1909–1977), pendiri Hizb ut-Tahrir, mengkritik demokrasi karena menilai bahwa demokrasi menempatkan kepentingan politik dan ekonomi di atas kebenaran dan prinsip agama. Ia menganggap demokrasi sebagai alat bagi elite politik untuk meraih kekuasaan dengan cara manipulatif, yang pada akhirnya mengabaikan keadilan dan kejujuran yang dijunjung tinggi dalam Islam.
Ayatollah Ruhollah Khomeini (1902–1989), pemimpin Revolusi Islam Iran, adalah salah satu tokoh yang dengan tegas menolak demokrasi dalam bentuk Barat. Khomeini berpendapat bahwa demokrasi Barat mengarah pada individualisme dan penghancuran moral masyarakat. Dia menekankan pentingnya pemerintahan yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam untuk melindungi masyarakat dari korupsi material dan spiritual yang dibawa oleh sistem politik Barat.
Hasan al-Banna (1906–1949), pendiri Ikhwanul Muslimin di Mesir, berargumen bahwa sistem demokrasi tidak mampu mengatasi ketidakadilan ekonomi dan sosial yang dihadapi oleh masyarakat Muslim. Menurutnya, Islam memiliki solusi yang lebih adil dan komprehensif untuk mengatasi masalah-masalah ini, seperti melalui sistem zakat dan hukum ekonomi Islam, yang memastikan distribusi kekayaan yang lebih adil.
Pesimisme cendekiawan Muslim terhadap demokrasi sering kali didasarkan pada ketidakcocokan antara prinsip-prinsip demokrasi modern, seperti sekularisme, kedaulatan rakyat, dan kebebasan individu, dengan nilai-nilai inti Islam yang menekankan kedaulatan Tuhan, keadilan moral, dan kesatuan antara agama dan politik.
Allah sendiri menegaskan bahwa jika manusia mengabaikan hukum-hukum Allah, maka yang akan muncul adalah kehidupan yang sempit atau kebuntuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Allah berfirman : Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. (QS Thaha : 124)
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa siapa pun yang berpaling dari peringatan-Nya (yakni, ajaran dan petunjuk-Nya yang terdapat dalam Al-Qur'an dan agama Islam), mereka akan menghadapi kehidupan yang sempit, baik secara fisik maupun batin. "Kehidupan yang sempit" di sini sering diartikan sebagai kehidupan yang penuh kesulitan, kegelisahan, kebingungan, atau kurangnya kedamaian batin, meskipun secara materi mungkin seseorang terlihat berhasil. Ayat ini mengingatkan manusia akan pentingnya petunjuk Ilahi dalam mencapai kehidupan yang tenang dan damai.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 22/09/24 : 13.16 WIB)