MAU JADI PAHLAWAN DEMOKRASI ATAU PAHLAWAN ISLAM ?


 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS An Nisaa' : 59). Apa yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada kalian maka terimalah/laksanakanlah dia, dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah. (QS. Al Hasyr: 7)

 

Ada kata-kata kunci dalam ayat di atas yang mesti dipahami oleh seorang muslim, pertama kemutlakan ketaatan kepada Allah bagi seorang mukmin. Kedua, kemutlakan ketaatan kepada Rasulullah bagi seorang mukmin. Ketiga ketidakmutlakan ketaatkan kepada seorang penguasa atau ulil amri. Apa sebabnya. Sebab kepada Allah dan Rasulullah adalah bagian dari keimanan itu sendiri. Sementara ketaatan kepada penguasa hanya jika penguasa itu taat kepada Allah dan RasulNya.

 

Islam melarang seorang muslim mentaati kepada penguasa yang tidak taat kepada Allah dan Rasulullah, misalnya memerintahkan untuk melanggar perintah Allah, semisal ada seorang pemimpin yang menyuruh untuk minum yang memabukkan atau menyuruh untuk bertransaksi riba. Ulil amri adalah pemimpin yang taat kepada Allah dan Rasulullah, dalam hal ini adalah seorang khalifah dalam Islam, bukan presiden dalam sistem demokrasi atau raja dalam sistem kerajaan.

 

Ayat diatas juga menegaskan jika dalam hal ini terjadi perselisihan, maka kembalikan kepada Allah dan Rasulullah, kitabullah dan sunnah Rasulullah, bukan dikembalikan kepada consensus dengan suara terbanyak seperti demokrasi. Padahal suara terbanyak dalam Islam tidaklah menunjukkan kebenaran, sebab kebenaran adalah apa yang benar menurut Allah dan Rasulullah, bukan hasil dari kesepakatan manusia.

 

Misalnya di Amerika, sebagai negara kampium demokrasi, di mana rakyatnya menyetujui adanya LGBT sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia. Pertanyaanya apakah LGBT itu berarti benar hanya karena disepakati oleh banyak orang bahkan dibuat UU nya untuk melindungi ?. tentu saja tidak, sebab bagi seorang muslim, kebenaran itu mutlak datangnya dari Allah.

 

Dengan demikian, jika ingin menjadi pahlawan, mestinya seorang muslim menjadi pahlawan Islam dimana hidupnya digunakan untuk membela agama Allah, bukan malah menjadi pahlawan demokrasi yang bertentangan dengan Islam. Allah berfirman : Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS Al An'am : 162). Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS Muhammad : 7)

 

 

 

Allahlah pembuat hukum karena sumber kebenaran, tidak sebagaimana demokrasi yang menyerahkan hukum dibuat oleh manusia. Maka jika masih ada muslim yang justru menikmati demokrasi, sesungguhnya dia telah mengalami disorientasi aqidah, atau lebih tepatnya dalam istilah politik mengalami disorientasi ideologis. Disorientasi ideologis ditandai adanya sikap sekuler seorang muslim saat menjadi pelaku politik, khususnya saat masuk dalam sistem.

 

Pahlawan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang dianggap sebagai pejuang atau pembela dalam memperjuangkan sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya. Pahlawan Islam adalah tokoh-tokoh yang dikenal karena keberanian, keteguhan iman, serta perjuangan mereka dalam menegakkan nilai-nilai Islam dan membela umat Muslim. Pahlawan-pahlawan ini tidak hanya dikenal karena sumbangsihnya dalam aspek militer atau politik, tetapi juga dalam penyebaran dakwah, pendidikan, dan keadilan sosial.

 

Ada banyak pahlawan Islam yang dicatat sejarah, diantaranya adalah pertama,  Khalid bin Walid dengan julukan "Pedang Allah". Khalid bin Walid adalah salah satu panglima perang terbesar dalam sejarah Islam. Ia memainkan peran penting dalam banyak pertempuran besar di masa Rasulullah SAW, termasuk Perang Uhud dan Perang Mu'tah. Meskipun awalnya ia adalah musuh Islam, setelah memeluk Islam, ia menjadi salah satu komandan yang paling disegani.

 

Kedua, Salahuddin Al-Ayyubi (Saladin) adalah seorang pemimpin Muslim yang dikenal karena keberhasilannya merebut kembali Yerusalem dari Tentara Salib pada abad ke-12. Ia juga dihormati karena sikapnya yang adil dan penuh belas kasih terhadap musuh-musuhnya, bahkan dalam perang.

 

Ketiga, Umar bin Khattab adalah Khalifah kedua dalam Islam dan dikenal karena keadilannya. Di bawah kepemimpinannya, Kekhalifahan Islam mengalami ekspansi besar, termasuk penaklukan Mesir, Persia, dan sebagian wilayah Bizantium. Ia juga memperkenalkan banyak reformasi yang memperkuat pemerintahan Islam.

 

Keempat, Imam Syafi'i  adalah seorang ulama besar yang memainkan peran penting dalam pengembangan ilmu fikih dalam Islam. Mazhab Syafi'i, salah satu dari empat mazhab utama dalam Islam, banyak diikuti oleh umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Kelima, Tariq bin Ziyad adalah panglima militer Muslim yang memimpin penaklukan Spanyol pada abad ke-8. Penaklukan ini membuka jalan bagi penyebaran peradaban Islam di Eropa, khususnya di wilayah Andalusia, yang menjadi pusat ilmu pengetahuan dan budaya selama beberapa abad.

 

Keenam, Sultan Muhammad II dari Kesultanan Utsmaniyah, yang dikenal sebagai Al-Fatih, adalah pahlawan yang berhasil menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453. Penaklukan ini menandai berakhirnya Kekaisaran Bizantium dan membuka era baru dalam sejarah Islam serta dunia. Ketujuh, Hamzah bin Abdul Muthalib adalah paman Nabi Muhammad SAW dan salah satu sahabat terdekat beliau. Ia memainkan peran penting dalam awal perjuangan Islam, termasuk dalam Perang Badar. Hamzah dikenal sebagai salah satu pahlawan Islam yang gagah berani dan akhirnya gugur dalam Perang Uhud.

 

Kedelapan, Syekh Yusuf Al-Makassari, seorang ulama besar dari Makassar, Indonesia, Syekh Yusuf dikenal sebagai penyebar Islam dan juga sebagai pahlawan yang berjuang melawan penjajahan Belanda di Nusantara. Beliau diakui sebagai Pahlawan Nasional Indonesia atas perannya dalam perjuangan kemerdekaan dan penyebaran ajaran Islam.

 

Kesembilan, Pangeran Diponegoro adalah tokoh besar dalam sejarah Indonesia yang memimpin Perang Jawa (1825-1830) melawan penjajah Belanda. Diponegoro juga dikenal sebagai pemimpin yang sangat taat beragama dan memiliki visi perjuangan Islam yang kuat. Kesepuluh, Teuku Umar, seorang pahlawan asal Aceh yang memimpin perlawanan melawan penjajah Belanda di akhir abad ke-19. Teuku Umar menggunakan strategi gerilya dan berpura-pura bekerja sama dengan Belanda sebelum akhirnya berbalik menyerang mereka. Selain itu, istrinya, Cut Nyak Dhien, juga dikenal sebagai pahlawan wanita yang gigih dalam perjuangan.

 

Mengapa kita harus memilih, apakah mau menjadi pahlawan Islam atau pahlawan demokrasi, jawabnya karena keduanya adalah berbeda, baik dari asas maupun prakteknya. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang berfokus pada partisipasi rakyat, kebebasan, dan hak asasi manusia. Islam adalah agama yang mencakup ajaran-ajaran spiritual, sosial, politik, dan hukum berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

 

Pertama, Sumber Kekuasaan. Dalam demokrasi, kekuasaan berada di tangan rakyat. Prinsip dasarnya adalah bahwa pemerintahan harus didasarkan pada kehendak mayoritas warga negara. Pemimpin dipilih melalui pemilihan umum, dan rakyat memiliki hak untuk mengganti pemimpin yang tidak lagi mereka kehendaki. Dalam ajaran Islam, sumber kekuasaan adalah Allah. Kekuasaan harus dikelola sesuai dengan hukum-hukum Allah (syariat). Pemimpin dalam sistem pemerintahan Islam harus menjalankan pemerintahan berdasarkan ajaran Al-Qur'an dan Sunnah. Meskipun ada mekanisme syura (musyawarah), kekuasaan tetap harus tunduk pada syariat.

 

Kedua, Hukum yang Berlaku. Dalam demokrasi, hukum yang berlaku adalah hukum buatan manusia yang disusun melalui legislatif dan disesuaikan dengan kebutuhan serta aspirasi masyarakat. Sistem hukum dapat berubah seiring dengan perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Dalam Islam, hukum utama yang berlaku adalah syariat, yaitu hukum berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. Syariat mencakup semua aspek kehidupan, termasuk hukum pidana, keluarga, ekonomi, dan politik. Hukum ini diyakini bersifat tetap karena berasal dari Allah.

 

Ketiga, Kebebasan Individu. Demokrasi sangat menjunjung tinggi kebebasan individu. Setiap orang memiliki hak untuk menyuarakan pendapat, memilih agamanya, berkumpul, dan berekspresi. Negara bertugas melindungi hak-hak tersebut tanpa diskriminasi. Islam juga menghargai kebebasan individu, tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh syariat. Misalnya, kebebasan berbicara atau berekspresi dalam Islam tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip moral atau ajaran Islam. Kebebasan agama diakui, tetapi orang yang telah memeluk Islam tidak dibenarkan untuk murtad (keluar dari agama Islam).

 

Keempat, Kedaulatan Hukum. Dalam demokrasi, kedaulatan hukum berada di tangan rakyat. Hukum-hukum yang berlaku diatur oleh lembaga legislatif yang dipilih oleh rakyat dan dapat diubah berdasarkan kehendak mayoritas. Kedaulatan hukum dalam Islam berada di tangan Allah. Hukum Allah (syariat) tidak bisa diubah berdasarkan kehendak manusia atau mayoritas. Semua orang, termasuk pemimpin, harus tunduk pada syariat yang dianggap sebagai hukum tertinggi.

 

Kelima, Pemilihan Pemimpin. Dalam demokrasi, pemimpin dipilih melalui proses pemilihan umum yang melibatkan seluruh rakyat atau sebagian besar rakyat. Proses ini bisa berbentuk langsung (setiap warga negara memilih) atau tidak langsung (melalui perwakilan). Dalam Islam, pemilihan pemimpin bisa dilakukan melalui musyawarah (syura) antara para pemuka agama dan masyarakat, atau melalui pemilihan. Namun, pemimpin yang terpilih harus menjalankan pemerintahannya sesuai dengan syariat Islam. Sejarah awal Islam menunjukkan bahwa pemimpin, seperti khalifah, dipilih berdasarkan kesepakatan umat atau melalui penunjukan dari pemimpin sebelumnya. Konsep presiden dalam demokrasi sangat berbeda dengan konsep khalifah dalam Islam.

 

Keenam, Sistem Pemerintahan. Demokrasi sering kali mengadopsi bentuk pemerintahan republik atau monarki konstitusional, di mana ada pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sistem ini bertujuan untuk membatasi kekuasaan agar tidak terpusat pada satu orang atau kelompok. Sistem pemerintahan Islam yang ideal disebut khalifah atau imamah, di mana seorang pemimpin Muslim (khalifah) memimpin umat sesuai dengan syariat. Kekuasaan khalifah tidak mutlak, karena ia harus tunduk pada hukum Islam dan berkonsultasi dengan umat dalam urusan yang tidak diatur secara spesifik oleh syariat.

 

Ketujuh, Prinsip Mayoritas versus Prinsip Hukum Allah. Keputusan dalam demokrasi biasanya dibuat berdasarkan kehendak mayoritas. Jika mayoritas rakyat setuju dengan suatu undang-undang atau kebijakan, maka itu yang akan diberlakukan. Dalam Islam, hukum Allah adalah yang tertinggi. Meskipun musyawarah dihargai, keputusan tidak boleh bertentangan dengan syariat, meskipun mayoritas masyarakat menghendakinya. Artinya, hukum Allah tidak bisa diubah hanya karena mayoritas tidak setuju.

 

Kedelapan, Hak Asasi Manusia. Demokrasi modern menekankan hak asasi manusia secara universal, termasuk kebebasan beragama, kebebasan berbicara, dan hak untuk hidup dengan martabat tanpa diskriminasi. Hak-hak ini berlaku sama untuk semua orang, tanpa memperhatikan agama, jenis kelamin, atau orientasi politik. Islam juga mengakui hak-hak asasi manusia, namun ada batasan berdasarkan syariat. Misalnya, hak-hak perempuan, non-Muslim, atau hukum terkait hukuman dalam syariat (hudud) diatur sesuai dengan ajaran agama. Kebebasan individu tidak boleh melanggar prinsip-prinsip yang diatur oleh Islam.

 

Kesembilan, Persamaan dan Keadilan. Demokrasi menekankan persamaan di depan hukum. Semua warga negara, tanpa kecuali, harus diperlakukan sama oleh sistem hukum dan pemerintahan. Tidak boleh ada diskriminasi berdasarkan agama, ras, atau latar belakang sosial. Islam juga menekankan keadilan, tetapi keadilan dalam Islam terikat dengan syariat, bukan hukum manusia apalagi kesepakatan. Sebab dalam Islam yang halal adalah jelas dan yang haram juga jelas. Semua orang di hadapan Allah dianggap sama, tetapi dalam konteks hukum, ada perbedaan perlakuan antara Muslim dan non-Muslim atau laki-laki dan perempuan sesuai dengan ketentuan syariat.

 

Pendiri demokrasi tidak bisa disematkan pada satu individu, karena konsep demokrasi berkembang melalui sejarah panjang yang melibatkan banyak tokoh, peradaban, dan pemikiran. Namun, demokrasi pertama kali dikenal dan dipraktikkan di Yunani Kuno, khususnya di kota Athena, sekitar abad ke-5 SM.

 

Demokrasi Athena sering dianggap sebagai bentuk pertama dari demokrasi yang dicatat dalam sejarah. Meskipun hanya laki-laki warga negara yang boleh berpartisipasi, konsep ini meletakkan dasar-dasar penting untuk pengambilan keputusan kolektif. Solon (c. 638 – 558 SM) adalah salah satu tokoh reformis yang dianggap sebagai peletak dasar demokrasi di Athena. Ia memperkenalkan reformasi hukum yang mengurangi kekuasaan aristokrasi dan memperluas partisipasi politik.

 

Cleisthenes (c. 570 – 508 SM), dikenal sebagai "Bapak Demokrasi Athena." Ia memperkenalkan reformasi yang membentuk dasar demokrasi langsung, di mana warga negara bisa berpartisipasi dalam pengambilan keputusan melalui pertemuan umum (eklesia). Pericles (c. 495 – 429 SM) adalah seorang pemimpin dan orator Athena yang memperkuat institusi demokrasi di kota itu. Di bawah kepemimpinannya, Athena mengalami puncak kejayaannya sebagai negara-kota demokratis.

 

Socrates, Plato, dan Aristoteles adalah filsuf Yunani yang banyak berdiskusi tentang pemerintahan, termasuk demokrasi. Meski tidak semua mendukung demokrasi, pemikiran mereka memberikan wawasan penting tentang sifat kekuasaan, kebebasan, dan keadilan. Socrates sering berbicara tentang pentingnya kebenaran dan kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan, meski ia dieksekusi oleh negara demokratis Athena.

 

Plato lebih kritis terhadap demokrasi, menyebutnya sebagai bentuk pemerintahan yang berisiko menjadi anarki. Dalam Republik, ia mengajukan gagasan tentang pemerintahan oleh para filsuf. Aristoteles, murid Plato, memberikan analisis yang lebih netral, membedakan berbagai bentuk pemerintahan dan melihat demokrasi sebagai salah satu dari bentuk pemerintahan yang mungkin.

 

Demokrasi modern mulai berkembang kembali pada zaman Pencerahan di Eropa (abad ke-17 hingga ke-18), ketika banyak pemikir filsafat menantang kekuasaan monarki absolut dan menganjurkan hak-hak politik bagi rakyat. John Locke (1632–1704), seorang filsuf Inggris yang dikenal sebagai "Bapak Liberalisme." Ia mempengaruhi konsep hak-hak individu dan pemerintahan yang harus mendapatkan persetujuan dari yang diperintah. Pandangannya tentang kebebasan dan hak asasi manusia sangat mempengaruhi perkembangan demokrasi modern.

 

Jean-Jacques Rousseau (1712–1778), filsuf Swiss yang memperkenalkan konsep kedaulatan rakyat dalam karyanya The Social Contract (1762). Ia menekankan pentingnya kehendak umum dan bahwa kekuasaan sejati harus datang dari rakyat. Baron de Montesquieu (1689–1755), seorang pemikir asal Prancis yang mempromosikan pemisahan kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dalam bukunya The Spirit of the Laws (1748), yang menjadi dasar bagi sistem demokrasi konstitusional modern.

 

Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Prancis (1789) memainkan peran penting dalam mempopulerkan demokrasi sebagai sistem politik. Thomas Jefferson, salah satu pendiri Amerika Serikat, sangat dipengaruhi oleh filsafat Pencerahan, terutama karya John Locke. Konstitusi AS dan Deklarasi Kemerdekaan mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi, termasuk hak asasi manusia dan kedaulatan rakyat. Maximilien Robespierre dan tokoh-tokoh revolusioner Prancis memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan hak-hak universal meskipun dalam konteks yang lebih radikal selama Revolusi Prancis.

 

Jika seorang muslim memilih demokrasi dan bahkan ingin menjadi pahlawan demokrasi, berarti telah mengikuti tokoh-tokoh pencetus demorkasi yang justru bukan seorang muslim, bahkan banyak diantara mereka adalah seorang ateis.

 

Sementara, seorang muslim wajib hukumnya menjadikan Rasulullah sebagai teladan dalam semua aspek kehidupannya. Hal ini sejalan dengan firman Allah :  Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS Al Ahzab : 21)

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 06/09/24 : 11.40 WIB)

 

 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.