PRAGMATISME DEMOKRASI : DARI PINDAH KUBU SAMPAI PINDAH IDEOLOGI


 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia mengungkapkan rencana politik Fahri Hamzah. Ia menyebut Fahri Hamzah akan bergabung dengan Golkar.

 

Hal itu diutarakan Bahlil saat meresmikan smelter PT Amman Mineral Internasional di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Senin (23/9). Bahlil mulanya menyapa pejabat yang hadir, mulai dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga Pj Gubernur NTB Hassanudin.


Lalu, Bahlil menyapa tokoh nasional dari NTB, yakni Fahri Hamzah. Pada momen itu, Bahlil mengatakan Fahri Hamzah akan masuk Golkar. "Khusus kepada tokoh nasional asal NTB, Pak Fahri Hamzah, coba dulu pak, Pak Fahri sekarang rencana mau masuk Partai Golkar," kata Bahlil, dikutip dari detikcom.


Saat ini, Fahri menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gelora. Ia ikut mendirikan dan bergabung dengan Gelora setelah keluar dari PKS. Menurut Bahlil, proses Fahri Hamzah masuk Golkar sudah dalam tahap negosiasi. "Tadi sudah negosiasi, makanya tadi kita datang ke Amman baju sudah kuning-kuning," katanya.

 

Hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan dan komentar dari Fahri Hamzah terkait pernyataan Bahlil. CNN Indonesia.com masih berupaya menghubungi Fahri Hamzah untuk meminta tanggapan. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240923123447-32-1147274/bahlil-fahri-hamzah-mau-masuk-golkar-sudah-negosiasi#.)

Terlepas dari kebenaran berita di atas, atau hanya sekedar guyonan politik, hal ini tidaklah penting. Namun dalam konteks ini penulis hanya ingin memamparkan bahwa pindah kubu dalam sistem demokrasi adalah sebuah keniscayaan, karena karakter dasar sistem politik demokrasi adalah pragmatisme transaksional. Maka, tak mengherankan jika banyak tokoh pindah-pindah partai, apalagi kalau ada partai baru. Pertimbangannya tentu saja pragmatisme dan transaksional semata.

 

Pragmatisme demokrasi memandang kriteria kebenaran ajaran adalah faedah atau manfaat, sedangkan pragmatisme William James menawarkan sebuah konsep baru dalam memandang kebenaran. William James menolak kebenaran sebagai sesuatu yang sifatnya statis, yang dikandung oleh suatu gagasan.

 

Hal ini menimbulkan implikasi bahwa kebenaran tidak bersifat mutlak, melainkan berubah-ubah. Jelas sekali pragmatisme ini sebagai standar ide dan perbuatan yang sangat bertentangan dengan Islam. Standar perbuatan Islam ialah halal haram, bukan manfaat atau kegunaan riil untuk memenuhi kebutuhan manusia yang dihasilkan oleh sebuah ide, ajaran, teori, atau hipotesis.

 

Pragmatisme politik dan politik transaksional melahirkan kemunafikan politik atau politik dua kaki. Istilah "politik dua kaki" sering digunakan untuk menggambarkan perilaku politikus atau partai politik yang terlihat beralih sikap atau pendirian sesuai dengan kepentingan politik atau situasi tertentu. Ini mengacu pada perilaku yang tidak konsisten atau yang terlihat berubah-ubah, tergantung pada situasi atau kebutuhan politik mereka. Dalam konteks ini, politikus atau partai politik mungkin terlihat seperti memiliki dua pendekatan atau pandangan yang berbeda tergantung pada keuntungan atau situasi politik yang sedang mereka hadapi. Munafik digambarkan sebagai manusia yang memiliki dua muka.

 

Pragmatisme politik adalah pendekatan dalam politik yang menekankan pada pencapaian tujuan-tujuan politik dengan cara yang praktis dan efektif, tanpa harus memperhatikan ideologi atau prinsip yang kaku. Pragmatisme politik menempatkan penekanan pada hasil konkret dan kemampuan untuk mencapai kompromi untuk memajukan agenda politik tertentu. Pragmatisme politik berujung kepada perburuan terhadap harta dan tahta semata. Tujuan pragmatisme politik adalah untuk terus berkuasa dan terus menumpuk harta kekayaan di atas kemelaratan rakyat.

 

Dalam pragmatisme politik, keputusan dan tindakan politik diambil berdasarkan pada pertimbangan praktis tentang apa yang dianggap paling efektif dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu, meskipun itu mungkin tidak selalu sejalan dengan prinsip-prinsip atau nilai-nilai ideologis tertentu. Pendekatan ini sering kali dianggap sebagai respons terhadap kompleksitas dunia politik yang selalu berubah dan kebutuhan untuk menyesuaikan strategi politik dengan situasi yang berkembang. Namun, sebenarnya lebih karena pengaruh dan intervensi oligarki.

 

Pragmatisme politik dapat memungkinkan kemajuan dan kompromi dalam proses politik, juga dapat menyebabkan kritik bahwa politisi atau partai yang menganut pendekatan ini mungkin kurang konsisten atau dapat dianggap tidak memiliki integritas ideologis. Ujung dari kontestasi politik pragmatis adalah kompromi elit, sementara rakyat terabaikan.

 

Politik transaksional adalah pendekatan dalam politik di mana keputusan politik dibuat berdasarkan pada pertukaran kepentingan atau manfaat yang langsung diharapkan dari transaksi tersebut. Dalam konteks politik, transaksi dapat berupa pertukaran suara politik, dukungan politik, atau sumber daya lainnya antara berbagai pihak yang terlibat, seperti politisi, partai politik, atau kelompok kepentingan.

 

Pendekatan politik transaksional sering kali menekankan pada pencapaian tujuan-tujuan politik melalui perundingan dan kompromi yang melibatkan pertukaran kepentingan yang bersifat praktis. Ini bisa berarti bahwa keputusan politik diambil berdasarkan pada pertimbangan yang lebih pragmatis daripada ideologis, dengan fokus pada pencapaian hasil-hasil konkret dalam jangka pendek.

 

Politik transaksional sering kali menyoroti bahwa pendekatan ini dapat menyebabkan ketidakstabilan politik jangka panjang dan kurangnya konsistensi dalam kebijakan, karena keputusan politik didasarkan pada pertukaran kepentingan yang mungkin berubah-ubah dari waktu ke waktu. Selain itu, politik transaksional juga dapat menyebabkan praktik-praktik politik yang tidak transparan atau korup, terutama jika pertukaran kepentingan tersebut melibatkan pengaruh atau dukungan yang tidak jujur atau adil.

 

Kompromi politik adalah kesepakatan yang dicapai antara pihak-pihak yang memiliki kepentingan atau pandangan yang berbeda dalam politik, dengan tujuan untuk mencapai solusi yang dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat. Dalam konteks politik, kompromi sering kali diperlukan karena adanya perbedaan pendapat atau kepentingan di antara berbagai kelompok atau individu.

 

Kompromi politik biasanya melibatkan pengorbanan atau penyesuaian dari setiap pihak yang terlibat, sehingga menciptakan titik tengah atau solusi bersama yang mungkin tidak sepenuhnya memenuhi keinginan setiap pihak, tetapi dianggap dapat diterima dan adil.  Kompromi politik sebagai tindakan mengorbankan prinsip atau nilai tertentu demi kepentingan politik atau pragmatisme. Nasib rakyat di tengah sistem politik yang pragmatis dan transaksional akan semakin tidak baik, sebab oligarki bermain di ruang demokrasi ini.

 

Dengan demikian, bukan hanya pindah kubu atau partai sebagai keniscayaan dari karakter pragmatisme politik, melainkan juga bisa jadi pindah ideologi dalam arti pindah prinsip nilai dari seseorang. Pada faktanya, setiap partai memiliki sudut pandang terhadap segala sesuatu yang kemudian menjadi semacam pandangan hidup yang melahirkan berbagai sikap dan kebijakan serta program partai tersebut.

 

Tentu saja berbeda pandangan hidup, nilai antara partai Islam dengan partai sekuler. Namun, dalam budaya demokrasi, pindah kubu tidaklah sebuah aib, meski juga harus pindah ideologi. Sebab politik demokrasi sebenarnya hanyalah pragmatisme semata, jadi pindah kubu tak akan memperdulikan kalau harus pindah ideologi, toh yang terpenting mendapatkan kekuasaan dan harta.

 

Ada kisah menarik yang bisa kita jadikan renungan. Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar RA muncul lah Nabi palsu bernama Musailamah yang kemudian diberi gelar oleh orang-orang Muslim sebagai Al Kadzab (pendusta), Musailamah Al Kadzab.

 

Keberadaan nabi palsu ini semakin mengkhawatirkan sebab pengikut nya kian hari kian bertambah dan semakin menjadi-jadi, mereka punya Al-Qur'an baru, mereka membawa Islam baru dengan dipimpin oleh seorang nabi palsu. Sebab itulah Khalifah Abu Bakar RA sudah berniat untuk memerangi mereka habis-habisan.

 

Ar Rajjal bin Unfuwah merupakan seorang sahabat yang banyak hafalan Qur'an nya. jadi sudah hafal Al-Qur'an, juga dia sudah hidup dan berjuang bersama Rasulullah SAW beserta para sahabat RA. Dia bahkan beberapa kali diutus untuk mendakwahkan Islam di berbagai daerah.

 

Akhirnya dia sendiri yang meminta agar dikirim oleh Khalifah Abu Bakar RA untuk menemui dan mendakwahi Musailamah Al Kadzaab. Khalifah pun memberikan keizinan dan berangkat lah Ar Rajjal menemui si Nabi palsu ini. Ketika berdakwah kepada Musailamah, dia menjadi ragu-ragu  disana.

 

Dia melihat bahwa jumlah pengikut Musailamah sangat banyak, dia mendapatkan tawaran yang menggiurkan disertai argumen Musailamah yang cukup masuk akalnya, maka Ar Rajjal memutuskan bahwa dia mulai saat itu menjadi pengikut Musailamah dan khianati kepercayaan Khalifah. Akhirnya Ar Rajjal pindah kubu dan pindah ideologi menjadi pengikut nabi palsu.

 

Pasukan Muslimin juga semakin bersemangat sebab mereka makin yakin bahwa mereka di kubu yang benar berdasarkan hadith yang dibawa dari Abu Hurairah RA. Semakin panaslah suasana antara dua kubu, yakni kubu kebenaran dan kubu kebatilan.  Masing-masing memiliki kekuatan yang dahsyat, namun tentu saja umat Islam memiliki kekuatan yang jauh lebih dahsyat, yang tidak dimiliki oleh pasukan Musailamah, yakni pertolongan dari ALLAH yang Maha Kuat.

 

Kisah di atas adalah fakta sejarah yang mestinya menjadi pelajaran bagi umat Islam dalam menjalankan misi politiknya. Meski pindah kubu dan pindah ideology adalah keniscayaan dalam pragmatism demokrasi, namun sebaiknya seorang muslim istiqomah dengan perjuangan Islamnya.

 

Semoga kabar tentang Fahri Hamzah bukan dalam kontek ini. Kita tunggu saja kabar berikutnya.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 24/09/24 : 11.01 WIB)

 

 

 

 

 



Posting Komentar

1 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
  1. Agus R. Rahman NPM 24110508055828 September 2024 pukul 10.25

    Praktek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia memperlihatkan fakta pragmatisme demokrasi, baik dalam bentuk perpindahan atau pergeseran kubu dan atau bahkan ideologi. Saya sependapat dengan Bapak, dalam hal pindah kubu atau pergeseran ideologi. Akan tetapi, dalam pragmatisme demokrasi ini, di sana terdapat fakta lain bahwa Indonesia memerlukan konsensus. Sayangnya, Bapat belum memaparkan konsensus politiknya. Konsensus politik ini sangat diperlukan di Indonesia karena latar belakang karakter heterogenitas masyarakatnya. Hal ini untuk menjamin harmoni dalam berdemokrasi. (Agus R. Rahman, NPM 241105080558, Prodi IAT)

    BalasHapus

Categories