Oleh : Ahmad Sastra
Dilansir oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengungkapkan dampak mengerikan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% terhadap perekonomian Indonesia. Indef menyebut kebijakan yang akan dilakukan pada tahun 2025 ini memiliki dampak yang amat luas, mulai dari pertumbuhan ekonomi hingga ekspor-impor.
Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti memahami kenaikan PPN menjadi 12% merupakan upaya pemerintah untuk menaikkan penerimaan pajak. Namun, dia menilai kebijakan ini kontraproduktif dengan upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi. "Kenaikan tarif ini membuat perekonomian terkontraksi," kata Esther dalam diskusi virtual Indef berjudul Moneter dan Fiskal Ketat, Daya Beli Melarat, Kamis, (12/9/2024).
PPN 12% merupakan kebijakan yang tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (HPP). Peraturan tersebut mengamanatkan pemerintah untuk menerapkan kebijakan ini paling lambat 1 Januari 2025. Undang-undang Harmonisasi Perpajakan (HPP) mengamanatkan kepada pemerintah untuk naikkan PPN menjadi 12% pada tahun 2025.
Ini juga jadi bukti aturan dan UU yang dihasilkan oleh sistem politik demokrasi tidak pro rakyat. Rakyat sebenarnya tidak suka dengan pajak. Apalagi pajak ini. Bukankah ini sama saja menambah beban rakyat? Padahal rakyat butuh kestabilan ekonomi berupa distribusi yang merata ke semua lapisan masyarakat. Stop pajak, sebab rakyat sudah sengsara dan melarat.
Kontraksi ekonomi yang tidak stabil mengindikasikan negeri ini mengadopsi ekonomi kapitalisme yang merusak. Jelas juga ekonomi ini kian liberal dan negara salah kaprah dengan menjadikan pajak sebagai pemasukan utama. Sungguh penerapan politik demokrasi yang menghasilkan UU tak pro rakyat dan ekonomi kapitalistik yang bikin melarat, tidak boleh dipertahankan. Sebaliknya semua harus berfikir solutif untuk keluar dari kungkungan ini.
Mengapa pajak menjadi instrumen pembangunan di negeri ini, karena Indonesia menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, pajak dan utang memiliki peran penting dalam mempengaruhi dinamika ekonomi.
Pajak adalah salah satu alat utama pemerintah dalam mendanai operasi negara, seperti pelayanan publik, infrastruktur, dan kesejahteraan sosial. Di negara dengan sistem kapitalisme juga menerapkan pajak individu. Pajak yang dikenakan pada individu dan perusahaan berdasarkan pendapatan mereka. Pemerintah mengumpulkan pajak dari pendapatan perorangan (PPh Orang Pribadi) dan pajak penghasilan badan usaha (PPh Badan). Pajak penghasilan progresif sering diterapkan untuk memastikan mereka yang berpenghasilan lebih tinggi membayar lebih besar secara persentase.
Termasuk pajak penjualan atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang dikenakan pada barang dan jasa. Pajak ini bersifat regresif karena semua orang membayar tarif yang sama, terlepas dari penghasilan mereka. Hal ini juga diterapkan oleh negera-negara kapitalisme.
Beberapa negara kapitalis menerapkan pajak atas kekayaan, seperti properti atau aset tertentu. Ini bertujuan untuk mendistribusikan kekayaan dan mengurangi ketimpangan ekonomi.
Negara kapitalis juga menerapkan pajak perusahaan atas keuntungan mereka. Dalam beberapa kasus, pemerintah memberikan insentif pajak kepada perusahaan untuk investasi tertentu, yang mendukung pertumbuhan ekonomi.
Dalam logika kapitalisme, pajak membantu mendanai pengeluaran pemerintah yang penting, tetapi dalam kapitalisme, pajak juga bisa diperdebatkan. Ada tekanan untuk menjaga pajak tetap rendah untuk mendorong investasi dan konsumsi, tetapi di sisi lain, pajak yang rendah bisa mengurangi kemampuan negara untuk menyediakan layanan publik yang memadai.
Pendukung pasar bebas sering berargumen bahwa pajak yang rendah meningkatkan investasi, inovasi, dan pertumbuhan ekonomi. Pendukung sistem yang lebih progresif berargumen bahwa pajak yang lebih tinggi pada golongan kaya dapat membantu mengurangi ketimpangan dan mendanai program sosial untuk kesejahteraan publik.
Utang, baik di tingkat individu, perusahaan, maupun negara, juga merupakan aspek penting dalam sistem kapitalisme. Utang memungkinkan berbagai aktor ekonomi untuk meminjam uang demi investasi dan konsumsi di masa kini dengan harapan keuntungan di masa depan.
Dalam sistem kapitalisme, individu sering mengambil utang untuk kebutuhan konsumsi, seperti kredit rumah (hipotek), pendidikan, dan barang-barang konsumsi lainnya. Ketersediaan kredit konsumen ini mendukung permintaan barang dan jasa, yang mendorong pertumbuhan ekonomi.
Perusahaan sering kali memanfaatkan utang untuk ekspansi bisnis, seperti investasi dalam teknologi baru, pabrik, atau memperluas pasar. Utang memungkinkan perusahaan untuk tumbuh dengan cepat, meskipun dengan risiko kebangkrutan jika tidak dapat membayar kembali pinjaman mereka.
Negara kapitalis sering mengambil utang untuk membiayai defisit anggaran, seperti proyek infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan. Utang pemerintah membantu memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, tetapi akumulasi utang yang terlalu besar dapat menimbulkan risiko terhadap stabilitas ekonomi suatu negara.
Utang adalah bagian dari dinamika kapitalisme yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan meminjam uang, individu, perusahaan, dan negara dapat melakukan investasi yang menghasilkan keuntungan di masa depan. Namun, utang juga membawa risiko jika tidak dikelola dengan baik, seperti krisis keuangan yang disebabkan oleh utang berlebihan.
Dalam pandangan yang lebih liberal, utang dilihat sebagai alat yang produktif untuk mempercepat pertumbuhan. Kredit yang mudah diakses memungkinkan inovasi, pembangunan, dan pengembangan ekonomi. Namun, utang yang berlebihan dapat menyebabkan krisis keuangan, terutama jika sektor swasta atau pemerintah gagal membayar kembali pinjamannya. Contoh nyata adalah krisis subprime mortgage di Amerika Serikat pada 2008, yang memicu krisis keuangan global.
Dalam sistem kapitalisme, ada hubungan yang erat antara pajak dan utang. Pemerintah yang tidak ingin menaikkan pajak untuk menghindari ketidakpuasan masyarakat sering kali memilih untuk membiayai pengeluaran dengan utang. Namun, utang yang terus meningkat tanpa disertai penerimaan pajak yang memadai dapat menyebabkan masalah fiskal jangka panjang.
Dalam sistem kapitalisme, pajak dan utang adalah dua instrumen utama yang mempengaruhi dinamika ekonomi. Pajak membantu mendanai operasi pemerintah dan redistribusi kekayaan, sedangkan utang memfasilitasi investasi dan konsumsi. Namun, keduanya harus dikelola dengan hati-hati agar tidak menyebabkan stagnasi ekonomi atau krisis keuangan
Dalam perspektif sistem ekonomi Islam, sistem ekonomi memiliki prinsip yang berbeda dari sistem kapitalisme, terutama terkait dengan pajak dan utang. Islam menekankan pada keadilan sosial, distribusi kekayaan, dan penolakan terhadap praktik riba (bunga).
Secara prinsip, sistem Islam tidak mengenal pajak dalam pengertian seperti yang diterapkan dalam kapitalisme. Sebagai gantinya, Islam memiliki mekanisme keuangan yang khas, yaitu melalui zakat, ushr, kharaj, dan sumber lainnya yang bersifat berbeda dengan pajak konvensional.
Zakat adalah kewajiban agama bagi umat Islam yang berkecukupan untuk memberikan sebagian dari kekayaan mereka kepada yang membutuhkan. Zakat adalah rukun Islam yang kelima dan bukan dianggap sebagai pajak, melainkan sebagai bentuk ibadah.
Besaran zakat ditentukan oleh hukum Islam, biasanya sebesar 2,5% dari harta yang telah memenuhi syarat nisab (batas minimum kekayaan yang wajib dizakati). Zakat ditujukan untuk delapan kelompok penerima (asnaf), seperti fakir miskin, amil zakat, dan orang yang terlilit utang (ghārimīn). Sementara Ushr adalah pajak pertanian yang dikenakan pada hasil bumi, baik dari lahan yang diairi secara alami (10%) atau dengan irigasi buatan (5%).
Kharaj adalah pajak yang dikenakan pada tanah yang dimiliki oleh non-Muslim (ahl dzimmah) di wilayah Islam. Pajak ini berbeda dengan zakat dan diperuntukkan bagi pendapatan negara. Sementara jizyah adalah pajak yang dikenakan kepada non-Muslim yang hidup di bawah pemerintahan Islam. Pajak ini sebagai imbalan atas perlindungan dan hak untuk tetap mempraktikkan agama mereka.
Dalam sistem ekonomi Islam yang ideal dan diterapkan dalam daulah Islam, zakat dan bentuk-bentuk pendapatan lainnya dianggap sudah cukup untuk mendanai kebutuhan negara. Pajak tambahan seperti dalam kapitalisme, yang dikenakan pada penghasilan, properti, atau konsumsi, tidak diterapkan. Pemerintah Islam lebih mengandalkan zakat, kharaj, dan jizyah untuk membiayai negara. Ditopang oleh konsep kepemilikan yang terbagi tiga : kepemilikan individu, kepemilikan negara dan kepemilikan umum akan lebih bisa menjamin kesejahteraan masyarakat tanpa harus utang.
Islam sangat menekankan pada keadilan dalam transaksi keuangan dan pengharaman riba (bunga). Oleh karena itu, praktik utang dalam sistem Islam sangat berbeda dari kapitalisme. Riba (bunga) adalah salah satu dosa besar dalam Islam, dan segala bentuk transaksi yang mengandung riba dilarang keras. Al-Qur'an melarang riba dengan tegas dalam beberapa ayat, salah satunya dalam surat Al-Baqarah ayat 275-279. Dalam ekonomi kapitalis, utang sering kali dikaitkan dengan bunga yang harus dibayar oleh peminjam. Hal ini tidak berlaku dalam sistem ekonomi Islam karena riba dianggap eksploitasi dan ketidakadilan.
Islam mengajarkan konsep qard hasan, yaitu pinjaman tanpa bunga yang diberikan untuk membantu mereka yang membutuhkan. Tujuannya adalah untuk membantu sesama tanpa mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain. Dalam Islam, utang diambil dengan niat yang tulus dan peminjam berkewajiban untuk mengembalikan utang tersebut dengan penuh kejujuran. Namun, tidak ada kewajiban bagi peminjam untuk membayar bunga.
Daripada berutang dengan bunga, Islam mendorong penggunaan sistem bagi hasil seperti mudharabah (kerja sama usaha antara pemilik modal dan pengelola) dan musyarakah (kerja sama investasi antar dua pihak). Dalam mudharabah, seorang pemodal (shahibul maal) memberikan dana kepada pengusaha (mudharib) untuk mengelola bisnis. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai kesepakatan, namun jika rugi, kerugian hanya ditanggung oleh pemodal, kecuali jika ada kelalaian dari pihak pengelola.
Sistem ekonomi Islam dianggap lebih stabil dan adil karena, pertama, distribusi kekayaan yang merata, seperti zakat, kharaj, dan instrumen lainnya membantu redistribusi kekayaan secara adil, mengurangi ketimpangan sosial. Kedua, penghindaran riba: Larangan riba mencegah eksploitasi melalui utang berbunga, yang sering menjadi penyebab utama ketidakadilan ekonomi dan krisis keuangan dalam sistem kapitalisme. Ketiga, transaksi berbasis bagi hasil menciptakan kemitraan yang lebih adil dan mendorong kerja sama produktif antara pemodal dan pengusaha, bukan hubungan eksploitatif.
Politik Islam yang menerapkan ekonomi Islam telah menggariskan kebaikan. Penerapannya membawa Rahmat bagi seluruh alam. Sumber pendapatan negara bukan dari pajak, tapi pengelolaan kepemilikan umum seperti sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara pun tidak akan memberikan monopoli penguasaan harta hanya di kalangan orang kaya. Makan jadilah penguasa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dengan menerapkan syariah kaffah. Inilah jalan keselamatan dunia dan akhirat.
Ingatlah pesan Rasulullah kepada para pemimpin dan penguasa : "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang imam (pemimpin) adalah pemimpin dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya..." (HR. Bukhari no. 893 dan Muslim no. 1829).
"Ya Allah, siapa saja yang mengurus urusan umatku, lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia. Dan siapa saja yang mengurus urusan umatku, lalu ia bersikap lembut kepada mereka, maka lembutlah Engkau terhadapnya." (HR. Muslim no. 1828).
"Tidaklah seorang hamba yang Allah berikan tanggung jawab atas rakyat, kemudian ia meninggal pada hari ia meninggal dalam keadaan ia menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan baginya surga." (HR. Ahmad, no. 22781, Sahih menurut al-Albani)
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 16/09/24 : 09.50 WIB)