LOGICAL FALLACY : PILIH PEMIMPIN TERBAIK DARI YANG BURUK


 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Meskipun masyarakat sebenarnya sudah muak dengan pemilu atau pilkada yang terus bergulir, namun tak memberikan dampak positif bagi kehidupan mereka. Sebagai rakyat jelata selalu dihadapkan dengan kebingungan. Tidak memilih diancam, memilih juga sudah tahu keburukannya. Akhirnya ada istilah yang sering dipropagandakan : pilihlah pemimpin yang terbaik dari yang terburuk.

 

Kesalahan pikir dalam istilah pilihlah pemimpin terbaik dari yang terburuk adalah menganggap yang buruk itu terdapat kebaikan. Padahal buruk adalah buruk, sementara baik adalah baik. Istilah ini merupakan logical fallacy dan bentuk keputusasaan karen atak mampu mencari solusi alternative yang lebih baik. Seolah dalam pemilu tak ada ruang lagi selain wajib memilih, meski bertentangan dengan hati nuraninya sendiri.

 

Istilah ini juga mengacu pada sebuah fenomena di mana seseorang atau kelompok cenderung untuk berpikir atau bertindak dengan cara yang sebenarnya merugikan meskipun mereka meyakini bahwa itu adalah keputusan atau pilihan yang terbaik.

 

Fenomena ini sering terjadi ketika seseorang membuat keputusan berdasarkan penilaian yang salah, keyakinan yang keliru, atau distorsi kognitif yang mengarah pada hasil yang tidak diinginkan. Masyarakat sudah tahu bahwa pemilu tak pernah memberikan kebaikan bagi rakyat, sementara mereka harus memilihnya. Ini dilemma.

 

Istilah itu juga menunjukkan apa yang disebut sebagai efek overconfidence (terlalu percaya diri). Saat seseorang terlalu yakin pada kemampuannya atau penilaiannya, bahkan jika bukti atau situasi menunjukkan sebaliknya. Mereka menganggap bahwa mereka telah membuat keputusan terbaik, meskipun kenyataannya bisa berisiko atau salah.

 

Istilah itu juga merupakan sebuah fallacy of the perfect solution (salah kaprah solusi sempurna). Ketika seseorang berpikir bahwa solusi ideal adalah yang terbaik, dan mengabaikan kenyataan bahwa tidak ada solusi yang sempurna, atau mereka menilai sesuatu sebagai buruk hanya karena tidak memenuhi semua harapan atau standar mereka.

 

Selain itu, istilah ini juga merupakan confirmation bias (bias konfirmasi). Di mana seseorang cenderung mencari informasi yang mendukung pandangannya yang sudah ada dan mengabaikan bukti yang bertentangan. Ini bisa menyebabkan mereka berpikir mereka sedang membuat pilihan terbaik, padahal itu hanya memperburuk situasi. Sudah tahu pasca pemilu akan tambah kacau, tapi tetap aja memilih.

 

Istilah itu juga merujuk kepada apa yang disebut sebagai the gambler's fallacy (salah kaprah penjudi). Menganggap bahwa hasil sebelumnya dalam suatu peristiwa acak memengaruhi hasil selanjutnya, padahal setiap peristiwa independen. Misalnya, seseorang berpikir bahwa karena mereka sudah kalah beberapa kali, maka kemenangan berikutnya pasti akan datang, padahal itu adalah kesalahan dalam penilaian.

 

Kesalahan berpikir ini dalam istilah pilihlah pemimpin terbaik dari yang terburuk sering muncul dalam pengambilan keputusan yang didorong oleh emosi, tekanan sosial, atau keyakinan yang tidak berdasar, yang berakhir dengan pilihan yang tampaknya "terbaik" namun sebenarnya merugikan dalam jangka panjang. Begitulah fakta pemilu atau pilkada.

 

Selain sebagai logical fallacy, istilah di atas juga menunjukkan sebuah distorsi kognitif, yakni pola pikir yang tidak realistis atau berpikiran salah yang dapat mempengaruhi cara seseorang menilai situasi, peristiwa, atau diri mereka sendiri. Distorsi kognitif sering kali menyebabkan seseorang membuat kesimpulan yang keliru, cemas, atau tertekan, karena cara berpikir yang tidak akurat atau berlebihan. Biasanya, distorsi kognitif ini terjadi secara otomatis tanpa disadari dan dapat memengaruhi perilaku dan kesejahteraan emosional seseorang.

 

Ada beberapa jenis distorsi kognitif, diantaranya adalah : Pertama, pemikiran hitam-putih (all-or-nothing thinking). Ini adalah distorsi di mana seseorang melihat segala sesuatu dalam ekstrem, tanpa melihat spektrum antara dua kutub. Misalnya, seseorang yang berpikir "Jika saya gagal sedikit, berarti saya adalah kegagalan total.". ada juga yang berpikir bahwa pemilu itu hanya memilih dan tidak memilih saja, padahal ada ruang yang jauh lebih bermakna, misalnya mengkaji dan mengkritisi tentang gagasan para calon.

 

Distorsi kognitif dapat memengaruhi kesejahteraan emosional dan mental seseorang. Hal ini sering kali berhubungan dengan kecemasan, depresi, dan stres karena pikiran yang tidak realistis dapat memperburuk perasaan dan membatasi kemampuan seseorang untuk melihat solusi yang lebih rasional. Cognitive bias (sesat pikir) adalah distorsi sistematis dalam pemrosesan atau penilaian informasi yang dapat menyebabkan kesalahan dalam pengambilan keputusan.

 

Jadi, mulai sekarang jangan percaya kepada orang yang suka mempropagandakan pilihlah pemimpin terbaik dari yang terburuk. Apalagi jika ukuran baik buruknya juga absurd, karena menurut akal dan nafsu manusia. Padahal sebagai seorang muslim, baik buruk itu semestinya diukur berdasarkan standar syariat Islam.

 

Dalam Islam, konsep baik dan buruk sangat terkait dengan ajaran-ajaran yang berasal dari Al-Qur'an dan Hadis. Standar untuk menilai sesuatu sebagai baik atau buruk dalam Islam didasarkan pada apa yang diperintahkan atau dilarang oleh Allah dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad (SAW). Islam menekankan pada kesucian hati, tindakan yang benar, dan tujuan yang sesuai dengan kehendak Allah.

 

Segala sesuatu yang mendekatkan seorang Muslim pada Allah dan mengikuti ajaran Rasul-Nya dianggap baik. Ini termasuk menjalankan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, serta berperilaku baik dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan syariat Islam. sebaliknya, segala sesuatu yang melanggar perintah Allah atau ajaran Rasul-Nya dianggap buruk. Ini termasuk perbuatan yang dilarang dalam Islam, seperti syirik (mempersekutukan Allah), zina, pencurian, dan kebohongan.

Akhlak yang baik menurut Islam adalah perilaku yang mencerminkan kebaikan hati dan jiwa, seperti jujur, sabar, rendah hati, dermawan, dan menghormati orang lain. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia" (HR. Al-Bukhari). Sebaliknya, Akhlak yang buruk, seperti sombong, kasar, egois, pemarah, atau dengki, dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Islam mengajarkan bahwa perilaku buruk akan menghalangi seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah.

 

Dalam Islam, segala perbuatan harus dilandasi dengan niat yang tulus untuk mendapatkan ridha Allah. Apapun yang dilakukan dengan niat untuk beribadah kepada Allah, seperti bekerja, mencari ilmu, atau berbuat baik kepada orang lain, dapat menjadi baik selama niatnya benar. Sebaliknya, keburukan adalah saat melakukan sesuatu dengan niat yang buruk atau untuk kepentingan dunia semata, seperti riya' (pamer) atau mencari pujian manusia, dianggap buruk dalam Islam.

 

Keadilan adalah salah satu prinsip dasar dalam Islam. Menegakkan keadilan untuk semua orang, tanpa memandang status, ras, atau agama, adalah sesuatu yang baik. Islam mengajarkan untuk berlaku adil dan berbuat baik kepada sesama. Sebaliknya, adalah keburukan berupa ketidakadilan, penindasan, atau penyalahgunaan kekuasaan adalah perbuatan buruk dalam Islam. Allah berfirman dalam Al-Qur'an: "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim" (QS. Al-Imran: 57).

 

Dalam Islam, makanan yang halal dan baik untuk tubuh dianggap baik. Hal ini termasuk makanan yang tidak mengandung unsur haram, seperti babi atau alkohol, dan yang diperoleh dengan cara yang sah menurut syariat. Sebaliknya, makanan atau minuman yang haram, seperti yang mengandung babi, alkohol, atau yang diperoleh dengan cara yang tidak sah (misalnya, pencurian), dianggap buruk.

 

Berbuat baik kepada orang lain, terutama mereka yang membutuhkan, adalah hal yang sangat dianjurkan dalam Islam. Islam mengajarkan untuk memberikan sedekah, membantu orang yang kesusahan, dan menjaga hubungan baik dengan keluarga dan masyarakat. Sebaliknya, mengabaikan kebutuhan orang lain, tidak peduli terhadap sesama, atau berbuat zalim kepada orang lain adalah perbuatan yang buruk menurut Islam.

 

Islam mengajarkan keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. Berusaha untuk sukses di dunia sambil tetap memperhatikan kehidupan akhirat dengan beribadah dan beramal shalih adalah standar yang baik dalam Islam. sebaliknya, menyalahgunakan dunia untuk kesenangan sementara mengabaikan persiapan untuk akhirat dianggap buruk. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman: "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari dunia" (QS. Al-Qasas: 77).

 

Sabar dalam menghadapi ujian hidup dan bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah adalah perilaku yang sangat dihargai dalam Islam. "Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar" (QS. Al-Baqarah: 153). Sebaliknya, tidak sabar, mengeluh, atau kufur nikmat (tidak bersyukur) terhadap pemberian Allah dianggap buruk.

 

Dalam Islam, yang baik adalah segala sesuatu yang sesuai dengan perintah Allah dan sunnah Rasulullah SAW, yang mendatangkan manfaat untuk dunia dan akhirat, serta memberikan dampak positif bagi diri sendiri dan orang lain. Sebaliknya, yang buruk adalah segala sesuatu yang dilarang oleh Allah, berlawanan dengan akhlak mulia, atau merugikan diri sendiri dan orang lain. Islam mengajarkan bahwa setiap Muslim harus selalu berusaha untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang ditentukan oleh syariat, dengan niat untuk mendapatkan ridha Allah.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 26/11/24 : 10.30 WIB)

 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.