[8] Tadarus Pemikiran POST HUMANISME DAN DEKONSTRUKSI KONSEP MANUSIA




Oleh : Ahmad Sastra 


Post-humanisme adalah suatu aliran atau pemikiran dalam filsafat yang muncul sebagai respons terhadap pandangan manusia sebagai pusat dari segala sesuatu (anthropocentrism) dan menantang pemahaman tradisional tentang manusia, tubuh, dan pikiran. Post-humanisme tidak menolak manusia, tetapi lebih pada mendekonstruksi gagasan tentang "manusia" sebagai makhluk yang terpisah dan superior di atas segala hal lainnya, seperti alam atau teknologi.

 

Post-humanisme menantang pandangan bahwa manusia adalah pusat dari segala hal di alam semesta dan menekankan pentingnya hubungan yang lebih egaliter dengan non-manusia (seperti hewan, teknologi, atau lingkungan).

 

Post-humanisme sering kali berkaitan dengan teknologi dan peranannya dalam mengubah kondisi manusia, seperti pengembangan teknologi yang memungkinkan perbaikan tubuh manusia (misalnya, cyborgs atau manusia bionik) dan kecerdasan buatan. Ini membuka pertanyaan tentang apa yang mendefinisikan "manusia" dalam konteks kemajuan teknologi ini.

 

Transhumanisme adalah cabang dari post-humanisme yang lebih berfokus pada pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan kemampuan fisik dan kognitif manusia, seperti memperpanjang umur atau meningkatkan kecerdasan.

 

Post-humanisme mempertanyakan apa yang membuat seseorang "manusia" dalam arti yang lebih tradisional, apakah itu kesadaran, tubuh fisik, atau kapasitas tertentu. Ini membuka ruang untuk memikirkan tentang makhluk lain, seperti hewan atau mesin, yang mungkin memiliki bentuk kesadaran atau eksistensi yang berbeda.

 

Paham post-humanisme muncul sebagai respons terhadap berbagai perubahan filosofis, ilmiah, dan budaya yang terjadi pada abad ke-20 dan ke-21. Untuk memahami sejarah lahirnya post-humanisme, kita perlu melihat perkembangan beberapa gagasan dan aliran yang mengarah pada paham ini.

 

Humanisme tradisional, yang muncul pada zaman Renaisans, menempatkan manusia sebagai pusat segala sesuatu, dengan menekankan pada kapasitas rasional dan moral manusia. Pemikiran ini berkembang lebih lanjut pada humanisme modern yang lebih berfokus pada kebebasan individu, hak asasi manusia, dan peran akal dalam memahami dunia.

 

Post-humanisme berkembang sebagai kritik atau reaksi terhadap pandangan tersebut, yang dinilai terlalu antropocentris (berpusat pada manusia). Post-humanisme menolak gagasan bahwa manusia adalah pusat alam semesta dan cenderung melihat manusia sebagai bagian dari ekosistem yang lebih besar, dengan teknologi dan makhluk non-manusia turut memainkan peran penting dalam perkembangan kehidupan dan eksistensi.

 

Kemajuan dalam bioteknologi, kecerdasan buatan, dan robotika pada abad ke-20 telah memunculkan pertanyaan tentang batas antara manusia dan mesin. Seiring dengan itu, ada upaya untuk menghubungkan manusia dengan teknologi, yang memunculkan gagasan tentang cyborg dan transhumanisme.

 

Transhumanisme, yang sering kali dianggap sebagai bagian dari post-humanisme, mengusulkan bahwa teknologi dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan fisik dan mental manusia, bahkan memungkinkan kehidupan yang lebih panjang atau imortalitas. Pemikiran ini mengarah pada pandangan bahwa identitas manusia bisa berubah atau berkembang seiring waktu, bukan statis seperti yang dipahami oleh humanisme tradisional.

 

Pascamodernisme yang berkembang pada pertengahan abad ke-20 melalui tokoh-tokoh seperti Michel Foucault, Jean-François Lyotard, dan Jacques Derrida, mengkritik berbagai konsep besar dan universal, termasuk konsep "manusia" yang dianggap stabil dan terdefinisi secara jelas. Foucault, misalnya, menyarankan bahwa identitas manusia dibentuk oleh kekuasaan dan institusi sosial, bukan sesuatu yang bersifat alami atau esensial.

 

Dalam konteks ini, post-humanisme berusaha untuk mengkritik dan menggugat pandangan manusia sebagai entitas yang terpisah dari dunia fisik dan sosial, serta menolak klaim tentang "kebenaran" atau esensi manusia yang bisa dipahami secara tunggal.

 

Beberapa pemikir yang sangat mempengaruhi lahirnya post-humanisme pada abad ke-20 adalah Donna Haraway, N. Katherine Hayles, Rosi Braidotti, dan Bruno Latour.

 

Donna Haraway, melalui karya terkenalnya A Cyborg Manifesto (1985), memperkenalkan konsep cyborg sebagai simbol transisi antara manusia, mesin, dan hewan, menantang dikotomi tradisional antara alam dan budaya, serta manusia dan teknologi. Haraway berpendapat bahwa tubuh manusia kini tidak terpisah lagi dari teknologi dan dunia sosial yang semakin kompleks.

 

N. Katherine Hayles dalam karyanya How We Became Posthuman (1999) membahas transformasi identitas manusia dalam konteks perkembangan teknologi digital dan kecerdasan buatan, serta bagaimana batas antara tubuh biologis dan dunia maya semakin kabur.

 

Rosi Braidotti mengembangkan teori posthumanisme yang lebih fokus pada dekonstruksi identitas manusia dan menciptakan pemahaman baru tentang subjek manusia yang lebih fluid, bergerak jauh dari ideologi klasik manusia sebagai makhluk superior.

 

Salah satu alasan berkembangnya post-humanisme adalah kesadaran akan dampak buruk yang ditimbulkan oleh pandangan antropocentris, yang menempatkan manusia di atas alam dan ekosistem lainnya. Pada abad ke-20, berbagai krisis lingkungan dan kerusakan ekosistem mendorong pemikiran yang lebih inklusif dan mempertimbangkan hubungan manusia dengan dunia non-manusia.

 

Pemikir seperti Bruno Latour dan Timothy Morton mengajukan pemikiran tentang objek non-manusia (seperti benda mati, hewan, dan entitas lain) yang memiliki agen dan dampaknya sendiri dalam dunia. Pemikiran ini berusaha untuk melampaui perspektif yang melihat manusia sebagai makhluk dominan dan menciptakan dunia yang lebih setara bagi seluruh bentuk eksistensi.

 

Apa kritik doktor ahmad sastra terhadap paham post humansime, ChatGPT said: Dr. Ahmad Sastra, seorang pemikir dan akademisi Indonesia, mengkritik paham post-humanisme dari perspektif Islam dengan menyoroti beberapa aspek yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai dasar dalam ajaran Islam. Dalam perspektif Islam, ada beberapa prinsip mendasar yang terkait dengan hakikat manusia, peranannya di dunia, dan hubungannya dengan Tuhan, yang dianggap tidak sejalan dengan paham post-humanisme.

 

Post-humanisme cenderung mengurangi atau menghilangkan peran Tuhan dalam menentukan eksistensi dan tujuan hidup manusia. Manusia dilihat sebagai entitas yang dapat berkembang dan berubah tanpa perlu bergantung pada penciptaan Tuhan.

 

Islam, di sisi lain, menekankan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan (Allah) dengan tujuan yang jelas dan mulia. Manusia memiliki fitrah (kecenderungan alami) yang diatur oleh Allah dan tidak dapat sepenuhnya diubah atau didominasi oleh teknologi atau kekuatan manusiawi lainnya.

 

Dalam ajaran Islam, manusia bukanlah makhluk yang terpisah dari Tuhan atau dunia ciptaan-Nya. Oleh karena itu, pandangan post-humanisme yang mengaburkan hubungan manusia dengan Tuhan dianggap bertentangan dengan prinsip tauhid (keesaan Tuhan).

 

Post-humanisme sering mengusung gagasan bahwa manusia bisa mengubah dirinya sendiri melalui teknologi (misalnya, melalui augmentasi tubuh atau kecerdasan buatan), yang mengarah pada transhumanisme atau bahkan cyborg.

 

Dalam Islam, tubuh manusia dianggap sebagai amanah dari Tuhan, dan manusia memiliki kewajiban moral untuk menjaga dan merawat tubuhnya sesuai dengan petunjuk-Nya. Islam mengajarkan bahwa kehidupan manusia memiliki nilai yang sangat luhur dan harus dijalani sesuai dengan syariat, bukan sekadar melalui peningkatan fisik atau teknologi untuk mencapai keabadian atau kesempurnaan tubuh.

 

Teknologi yang mengarah pada perubahan tubuh manusia yang radikal atau transhumanisme, seperti penggunaan mesin untuk meningkatkan kemampuan fisik atau mental manusia, dilihat oleh Dr. Ahmad Sastra sebagai bentuk pelanggaran terhadap hakikat kemanusiaan yang telah ditentukan oleh Tuhan.

 

Post-humanisme menekankan bahwa manusia tidak lagi menjadi makhluk yang terpusat atau superior di dunia ini, tetapi lebih dianggap sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang lebih luas, termasuk teknologi dan bahkan mesin.

 

Dalam Islam, manusia adalah makhluk yang diberi kedudukan tinggi oleh Tuhan di dunia, dengan tanggung jawab untuk memakmurkan bumi dan menjaga keseimbangan alam. Namun, manusia tetap memiliki peran sebagai khalifah (wakil Tuhan) di bumi, yang tugasnya adalah untuk menjaga keharmonisan dan keseimbangan alam, bukan untuk mengubah atau mendominasi dunia melalui teknologi atau kekuasaan manusia semata.

 

Oleh karena itu, kritik Dr. Ahmad Sastra terhadap post-humanisme juga berfokus pada gagasan bahwa paham ini bisa mengarah pada pandangan anthropocentrism (sentrisme manusia) yang terlalu menekankan pada manusia sebagai pusat dunia tanpa mempertimbangkan hubungan yang lebih besar dengan Tuhan dan alam ciptaan-Nya.

 

Post-humanisme sering kali menekankan kehidupan duniawi sebagai tujuan utama dan berfokus pada peningkatan kemampuan manusia melalui teknologi. Hal ini bisa mengarah pada pengabaian terhadap aspek spiritualitas dan kehidupan setelah mati.

 

Dalam Islam, kehidupan dunia hanyalah sementara, dan tujuan hidup yang sesungguhnya adalah untuk mencari keridhaan Allah dan persiapan untuk kehidupan akhirat. Islam mengajarkan bahwa manusia tidak dapat mengubah takdir Tuhan atau mencapai keabadian melalui teknologi atau pencapaian duniawi semata.

 

Pandangan ini bertentangan dengan post-humanisme, yang cenderung menekankan pada keabadian fisik dan pencapaian duniawi, tanpa memperhitungkan tujuan spiritual yang lebih tinggi.

 

Kritik lain yang diungkapkan oleh Dr. Ahmad Sastra adalah potensi penyalahgunaan teknologi yang dapat terjadi seiring dengan pengembangan ide post-humanisme. Teknologi yang digunakan untuk memperbaiki tubuh atau pikiran manusia dapat dimanfaatkan dengan cara yang tidak etis, merugikan, atau bahkan merusak tatanan sosial dan moral.

 

Dalam Islam, teknologi dan ilmu pengetahuan harus digunakan untuk tujuan yang baik dan sesuai dengan prinsip moral, bukan untuk mengubah esensi atau tujuan hidup manusia secara sepihak. Penyalahgunaan teknologi yang dapat merusak kemanusiaan atau keseimbangan sosial akan berlawanan dengan ajaran Islam.

 

Kritik Dr. Ahmad Sastra terhadap post-humanisme dari perspektif Islam berfokus pada potensi paham ini untuk mengabaikan dimensi spiritual dan moral yang menjadi inti ajaran Islam. Paham post-humanisme yang menekankan pada kemampuan manusia untuk mengubah dirinya melalui teknologi dianggap dapat merusak hakikat kemanusiaan yang telah ditentukan oleh Tuhan.

 

Dalam Islam, manusia memiliki kedudukan mulia yang ditentukan oleh Allah, dan teknologi harus digunakan dengan bijaksana, selaras dengan nilai-nilai spiritual dan moral yang terkandung dalam wahyu-Nya.

 

Allah berfiman : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (QS Al Baqarah : 30)

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 28 Ramadhan 1446 H – 28 Maret 2025 M : 20.45 WIB)

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.