Oleh : Ahmad Sastra
Post-humanisme adalah suatu aliran atau pemikiran
dalam filsafat yang muncul sebagai respons terhadap pandangan manusia sebagai
pusat dari segala sesuatu (anthropocentrism) dan menantang pemahaman
tradisional tentang manusia, tubuh, dan pikiran. Post-humanisme tidak menolak
manusia, tetapi lebih pada mendekonstruksi gagasan tentang "manusia"
sebagai makhluk yang terpisah dan superior di atas segala hal lainnya, seperti
alam atau teknologi.
Post-humanisme menantang pandangan bahwa manusia
adalah pusat dari segala hal di alam semesta dan menekankan pentingnya hubungan
yang lebih egaliter dengan non-manusia (seperti hewan, teknologi, atau
lingkungan).
Post-humanisme sering kali berkaitan dengan teknologi
dan peranannya dalam mengubah kondisi manusia, seperti pengembangan teknologi
yang memungkinkan perbaikan tubuh manusia (misalnya, cyborgs atau manusia
bionik) dan kecerdasan buatan. Ini membuka pertanyaan tentang apa yang
mendefinisikan "manusia" dalam konteks kemajuan teknologi ini.
Transhumanisme adalah cabang dari post-humanisme yang
lebih berfokus pada pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan kemampuan fisik
dan kognitif manusia, seperti memperpanjang umur atau meningkatkan kecerdasan.
Post-humanisme mempertanyakan apa yang membuat
seseorang "manusia" dalam arti yang lebih tradisional, apakah itu
kesadaran, tubuh fisik, atau kapasitas tertentu. Ini membuka ruang untuk
memikirkan tentang makhluk lain, seperti hewan atau mesin, yang mungkin
memiliki bentuk kesadaran atau eksistensi yang berbeda.
Paham post-humanisme muncul sebagai respons terhadap
berbagai perubahan filosofis, ilmiah, dan budaya yang terjadi pada abad ke-20
dan ke-21. Untuk memahami sejarah lahirnya post-humanisme, kita perlu melihat
perkembangan beberapa gagasan dan aliran yang mengarah pada paham ini.
Humanisme tradisional, yang muncul pada zaman
Renaisans, menempatkan manusia sebagai pusat segala sesuatu, dengan menekankan
pada kapasitas rasional dan moral manusia. Pemikiran ini berkembang lebih
lanjut pada humanisme modern yang lebih berfokus pada kebebasan individu, hak
asasi manusia, dan peran akal dalam memahami dunia.
Post-humanisme berkembang sebagai kritik atau reaksi
terhadap pandangan tersebut, yang dinilai terlalu antropocentris (berpusat pada
manusia). Post-humanisme menolak gagasan bahwa manusia adalah pusat alam
semesta dan cenderung melihat manusia sebagai bagian dari ekosistem yang lebih
besar, dengan teknologi dan makhluk non-manusia turut memainkan peran penting
dalam perkembangan kehidupan dan eksistensi.
Kemajuan dalam bioteknologi, kecerdasan buatan, dan robotika
pada abad ke-20 telah memunculkan pertanyaan tentang batas antara manusia dan
mesin. Seiring dengan itu, ada upaya untuk menghubungkan manusia dengan
teknologi, yang memunculkan gagasan tentang cyborg dan transhumanisme.
Transhumanisme, yang sering kali dianggap sebagai
bagian dari post-humanisme, mengusulkan bahwa teknologi dapat digunakan untuk
meningkatkan kemampuan fisik dan mental manusia, bahkan memungkinkan kehidupan
yang lebih panjang atau imortalitas. Pemikiran ini mengarah pada pandangan
bahwa identitas manusia bisa berubah atau berkembang seiring waktu, bukan
statis seperti yang dipahami oleh humanisme tradisional.
Pascamodernisme yang berkembang pada pertengahan abad
ke-20 melalui tokoh-tokoh seperti Michel Foucault, Jean-François Lyotard, dan Jacques
Derrida, mengkritik berbagai konsep besar dan universal, termasuk konsep
"manusia" yang dianggap stabil dan terdefinisi secara jelas.
Foucault, misalnya, menyarankan bahwa identitas manusia dibentuk oleh kekuasaan
dan institusi sosial, bukan sesuatu yang bersifat alami atau esensial.
Dalam konteks ini, post-humanisme berusaha untuk
mengkritik dan menggugat pandangan manusia sebagai entitas yang terpisah dari
dunia fisik dan sosial, serta menolak klaim tentang "kebenaran" atau
esensi manusia yang bisa dipahami secara tunggal.
Beberapa pemikir yang sangat mempengaruhi lahirnya
post-humanisme pada abad ke-20 adalah Donna Haraway, N. Katherine Hayles, Rosi
Braidotti, dan Bruno Latour.
Donna Haraway, melalui karya terkenalnya A Cyborg
Manifesto (1985), memperkenalkan konsep cyborg sebagai simbol transisi
antara manusia, mesin, dan hewan, menantang dikotomi tradisional antara alam
dan budaya, serta manusia dan teknologi. Haraway berpendapat bahwa tubuh
manusia kini tidak terpisah lagi dari teknologi dan dunia sosial yang semakin
kompleks.
N. Katherine Hayles dalam karyanya How We Became
Posthuman (1999) membahas transformasi identitas manusia dalam konteks
perkembangan teknologi digital dan kecerdasan buatan, serta bagaimana batas
antara tubuh biologis dan dunia maya semakin kabur.
Rosi Braidotti mengembangkan teori posthumanisme yang
lebih fokus pada dekonstruksi identitas manusia dan menciptakan pemahaman baru
tentang subjek manusia yang lebih fluid, bergerak jauh dari ideologi klasik
manusia sebagai makhluk superior.
Salah satu alasan berkembangnya post-humanisme adalah
kesadaran akan dampak buruk yang ditimbulkan oleh pandangan antropocentris,
yang menempatkan manusia di atas alam dan ekosistem lainnya. Pada abad ke-20,
berbagai krisis lingkungan dan kerusakan ekosistem mendorong pemikiran yang
lebih inklusif dan mempertimbangkan hubungan manusia dengan dunia non-manusia.
Pemikir seperti Bruno Latour dan Timothy Morton
mengajukan pemikiran tentang objek non-manusia (seperti benda mati, hewan, dan
entitas lain) yang memiliki agen dan dampaknya sendiri dalam dunia. Pemikiran
ini berusaha untuk melampaui perspektif yang melihat manusia sebagai makhluk
dominan dan menciptakan dunia yang lebih setara bagi seluruh bentuk eksistensi.
Apa kritik doktor ahmad sastra terhadap paham post
humansime, ChatGPT said: Dr. Ahmad Sastra, seorang pemikir dan akademisi
Indonesia, mengkritik paham post-humanisme dari perspektif Islam dengan
menyoroti beberapa aspek yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai dasar
dalam ajaran Islam. Dalam perspektif Islam, ada beberapa prinsip mendasar yang
terkait dengan hakikat manusia, peranannya di dunia, dan hubungannya dengan
Tuhan, yang dianggap tidak sejalan dengan paham post-humanisme.
Post-humanisme cenderung mengurangi atau menghilangkan
peran Tuhan dalam menentukan eksistensi dan tujuan hidup manusia. Manusia
dilihat sebagai entitas yang dapat berkembang dan berubah tanpa perlu
bergantung pada penciptaan Tuhan.
Islam, di sisi lain, menekankan bahwa manusia
diciptakan oleh Tuhan (Allah) dengan tujuan yang jelas dan mulia. Manusia
memiliki fitrah (kecenderungan alami) yang diatur oleh Allah dan tidak dapat
sepenuhnya diubah atau didominasi oleh teknologi atau kekuatan manusiawi
lainnya.
Dalam ajaran Islam, manusia bukanlah makhluk yang
terpisah dari Tuhan atau dunia ciptaan-Nya. Oleh karena itu, pandangan
post-humanisme yang mengaburkan hubungan manusia dengan Tuhan dianggap
bertentangan dengan prinsip tauhid (keesaan Tuhan).
Post-humanisme sering mengusung gagasan bahwa manusia
bisa mengubah dirinya sendiri melalui teknologi (misalnya, melalui augmentasi
tubuh atau kecerdasan buatan), yang mengarah pada transhumanisme atau bahkan cyborg.
Dalam Islam, tubuh manusia dianggap sebagai amanah
dari Tuhan, dan manusia memiliki kewajiban moral untuk menjaga dan merawat
tubuhnya sesuai dengan petunjuk-Nya. Islam mengajarkan bahwa kehidupan manusia
memiliki nilai yang sangat luhur dan harus dijalani sesuai dengan syariat,
bukan sekadar melalui peningkatan fisik atau teknologi untuk mencapai keabadian
atau kesempurnaan tubuh.
Teknologi yang mengarah pada perubahan tubuh manusia
yang radikal atau transhumanisme, seperti penggunaan mesin untuk meningkatkan
kemampuan fisik atau mental manusia, dilihat oleh Dr. Ahmad Sastra sebagai
bentuk pelanggaran terhadap hakikat kemanusiaan yang telah ditentukan oleh
Tuhan.
Post-humanisme menekankan bahwa manusia tidak lagi
menjadi makhluk yang terpusat atau superior di dunia ini, tetapi lebih dianggap
sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang lebih luas, termasuk teknologi dan
bahkan mesin.
Dalam Islam, manusia adalah makhluk yang diberi
kedudukan tinggi oleh Tuhan di dunia, dengan tanggung jawab untuk memakmurkan
bumi dan menjaga keseimbangan alam. Namun, manusia tetap memiliki peran sebagai
khalifah (wakil Tuhan) di bumi, yang tugasnya adalah untuk menjaga keharmonisan
dan keseimbangan alam, bukan untuk mengubah atau mendominasi dunia melalui
teknologi atau kekuasaan manusia semata.
Oleh karena itu, kritik Dr. Ahmad Sastra terhadap
post-humanisme juga berfokus pada gagasan bahwa paham ini bisa mengarah pada
pandangan anthropocentrism (sentrisme manusia) yang terlalu menekankan pada
manusia sebagai pusat dunia tanpa mempertimbangkan hubungan yang lebih besar
dengan Tuhan dan alam ciptaan-Nya.
Post-humanisme sering kali menekankan kehidupan
duniawi sebagai tujuan utama dan berfokus pada peningkatan kemampuan manusia
melalui teknologi. Hal ini bisa mengarah pada pengabaian terhadap aspek
spiritualitas dan kehidupan setelah mati.
Dalam Islam, kehidupan dunia hanyalah sementara, dan
tujuan hidup yang sesungguhnya adalah untuk mencari keridhaan Allah dan
persiapan untuk kehidupan akhirat. Islam mengajarkan bahwa manusia tidak dapat
mengubah takdir Tuhan atau mencapai keabadian melalui teknologi atau pencapaian
duniawi semata.
Pandangan ini bertentangan dengan post-humanisme, yang
cenderung menekankan pada keabadian fisik dan pencapaian duniawi, tanpa
memperhitungkan tujuan spiritual yang lebih tinggi.
Kritik lain yang diungkapkan oleh Dr. Ahmad Sastra
adalah potensi penyalahgunaan teknologi yang dapat terjadi seiring dengan
pengembangan ide post-humanisme. Teknologi yang digunakan untuk memperbaiki
tubuh atau pikiran manusia dapat dimanfaatkan dengan cara yang tidak etis,
merugikan, atau bahkan merusak tatanan sosial dan moral.
Dalam Islam, teknologi dan ilmu pengetahuan harus
digunakan untuk tujuan yang baik dan sesuai dengan prinsip moral, bukan untuk
mengubah esensi atau tujuan hidup manusia secara sepihak. Penyalahgunaan
teknologi yang dapat merusak kemanusiaan atau keseimbangan sosial akan
berlawanan dengan ajaran Islam.
Kritik Dr. Ahmad Sastra terhadap post-humanisme dari
perspektif Islam berfokus pada potensi paham ini untuk mengabaikan dimensi
spiritual dan moral yang menjadi inti ajaran Islam. Paham post-humanisme yang
menekankan pada kemampuan manusia untuk mengubah dirinya melalui teknologi
dianggap dapat merusak hakikat kemanusiaan yang telah ditentukan oleh Tuhan.
Dalam Islam, manusia memiliki kedudukan mulia yang
ditentukan oleh Allah, dan teknologi harus digunakan dengan bijaksana, selaras
dengan nilai-nilai spiritual dan moral yang terkandung dalam wahyu-Nya.
Allah berfiman : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah
di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui". (QS Al Baqarah : 30)
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 28 Ramadhan 1446 H – 28 Maret
2025 M : 20.45 WIB)