Oleh : Ahmad Sastra
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari
perilaku dan proses mental manusia, termasuk bagaimana pikiran, perasaan,
motivasi, serta interaksi sosial memengaruhi cara kita bertindak. Secara umum,
psikologi berfokus pada pemahaman tentang bagaimana individu berperilaku,
merasakan, dan berpikir dalam berbagai situasi.
Psikologi mempelajari apa yang mendorong individu
untuk melakukan suatu tindakan. Ini bisa berupa motivasi intrinsik (dorongan
dari dalam diri, seperti rasa ingin tahu) atau motivasi ekstrinsik (dorongan
dari faktor eksternal, seperti hadiah atau pengakuan).
Emosi adalah respons psikologis yang kompleks terhadap
rangsangan. Psikologi mempelajari bagaimana emosi memengaruhi perilaku kita,
serta bagaimana kita mengelola dan mengekspresikan perasaan.
Kepribadian adalah pola konsisten dalam cara seseorang
berpikir, merasakan, dan berperilaku. Psikologi kepribadian mempelajari
bagaimana sifat-sifat ini berkembang dan bagaimana mereka memengaruhi interaksi
sosial serta kehidupan sehari-hari.
Persepsi adalah cara kita menginterpretasikan
informasi yang kita terima dari dunia sekitar. Psikologi persepsi mempelajari
bagaimana indera kita bekerja untuk memberi makna pada lingkungan kita.
Psikologi belajar berkaitan dengan bagaimana individu
memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru. Ini termasuk teori-teori seperti pengkondisian
klasik dan pengkondisian operan, yang menjelaskan bagaimana kita belajar
melalui pengalaman dan penguatan.
Psikologi adalah ilmu yang sangat luas dan
beragam, mencakup berbagai pendekatan untuk memahami bagaimana manusia
berperilaku, berpikir, dan merasakan. Dengan pendekatan ilmiah, psikologi
berusaha untuk menjelaskan, memprediksi, dan mengubah perilaku manusia dalam
berbagai konteks, dari individu hingga masyarakat luas.
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, seorang pemikir
dan cendekiawan Muslim terkemuka, pandangan beliau mengenai psikologi manusia
sangat dipengaruhi oleh pendekatan Islamic philosophy atau filsafat Islam yang
lebih holistik, berfokus pada konsep kesatuan antara tubuh, jiwa, dan roh.
Dalam pandangan al-Attas, psikologi manusia tidak hanya memandang perilaku atau
reaksi individu terhadap rangsangan eksternal, tetapi juga bagaimana keduanya
terkait dengan esensi spiritual dan moralitas.
Al-Attas menekankan bahwa manusia memiliki hubungan
yang sangat mendalam dengan Tuhan. Dalam pandangannya, jiwa manusia (atau
"nafs") merupakan ciptaan Allah yang memiliki potensi untuk mencapai
kebahagiaan dan kesejahteraan spiritual, tetapi juga dapat tergelincir jika
tidak dikelola dengan baik.
Oleh karena itu, pemahaman tentang diri manusia harus
mencakup hubungan spiritual yang kuat dengan Tuhan, dan manusia harus berusaha
untuk mencapai "al-‘Ilm al-YaqÄ«n" (pengetahuan yang pasti) tentang
dirinya dan Tuhan.
Al-Attas percaya bahwa manusia terdiri dari berbagai
dimensi: akal (intellect), hati (spiritual heart), dan nafs (jiwa). Akal adalah
kekuatan yang dapat membimbing manusia menuju kebaikan dan kebijaksanaan, sementara
hati adalah pusat dari perasaan dan spiritualitas. Kedua aspek ini harus berada
dalam keseimbangan yang baik agar individu dapat menjalani hidup dengan
bijaksana dan mencapai tujuan hidup sejati.
Al-Attas berpendapat bahwa pengetahuan yang benar
adalah pengetahuan yang datang dari wahyu Allah dan bukan hanya pengetahuan
duniawi semata. Ia menekankan bahwa akal manusia harus digerakkan oleh wahyu
untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang realitas hidup dan keberadaan
manusia. Oleh karena itu, pengetahuan yang benar menjadi kunci dalam memahami
psikologi manusia, karena pengetahuan yang benar akan memberikan arah yang
jelas bagi kehidupan manusia.
Al-Attas menggunakan konsep fitrah, yang merujuk pada
sifat dasar manusia yang murni dan alami, untuk menjelaskan perilaku dan
kecenderungan manusia. Fitrah ini adalah sesuatu yang diberikan oleh Tuhan
kepada setiap manusia dan dapat diarahkan pada kebaikan atau keburukan.
Meskipun fitrah manusia pada awalnya cenderung menuju
kebaikan, ia bisa dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti lingkungan dan
pengaruh negatif, yang bisa mengarah pada penyimpangan moral dan spiritual.
Dalam pandangan al-Attas, psikologi manusia tidak
terlepas dari aspek moral dan etika. Akhlak (moralitas) memainkan peran penting
dalam membentuk kepribadian manusia yang seimbang dan sehat. Tanpa moralitas
yang kuat, manusia akan cenderung jatuh dalam perilaku yang merugikan dirinya
sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, pendidikan moral dan etika sangat
penting dalam membentuk kepribadian yang baik.
Al-Attas menekankan pentingnya tazkiyah atau penyucian
jiwa dalam psikologi manusia. Proses ini mencakup pembersihan hati dan jiwa
dari sifat-sifat negatif seperti keserakahan, kebencian, dan kebodohan. Melalui
tazkiyah, individu akan mampu mencapai maqamat (tingkatan spiritual) yang lebih
tinggi dan mendekatkan diri kepada Allah.
Bagi Naquib al-Attas, psikologi manusia tidak bisa
dipisahkan dari spiritualitas, moralitas, dan pencarian pengetahuan yang benar.
Menurutnya, untuk memahami psikologi manusia secara menyeluruh, kita harus
mempertimbangkan dimensi fisik, intelektual, dan rohani, serta memahami
bagaimana manusia dapat berhubungan dengan Tuhan melalui berbagai aspek
kehidupan mereka.
Dalam pandangan al-Attas, kesejahteraan psikologis
manusia bergantung pada keseimbangan antara akal, hati, dan jiwa, yang dapat
tercapai melalui ilmu, etika, dan penyucian jiwa yang berkelanjutan
Lantas bagaimana pengaruh puasa Ramadhan
pada psikologi manusia yang menjalankannya (psyco-ramadhan) ?. Puasa tidak hanya memiliki dampak pada tubuh, tetapi juga pada pikiran
dan perasaan seseorang. Secara psikologis, puasa dapat mempengaruhi suasana
hati, kognisi, dan emosi kita dalam berbagai cara.
Puasa memberi kesempatan bagi seseorang untuk merenung
dan lebih fokus pada diri sendiri. Dengan mengurangi gangguan eksternal,
seperti makan dan minum, seseorang bisa menjadi lebih introspektif, menggali
perasaan dan pemikiran yang mungkin terabaikan dalam kehidupan sehari-hari yang
sibuk. Ini dapat membantu meningkatkan kesadaran diri dan pengelolaan emosi.
Puasa melibatkan pengendalian diri yang kuat, yang
dapat memperkuat ketahanan mental. Mengelola rasa lapar, haus, dan keinginan
untuk makan atau minum bisa meningkatkan rasa percaya diri dalam hal kemampuan
seseorang untuk mengendalikan dorongan dan mengatasi tantangan. Ini juga dapat
membantu dalam pengembangan disiplin diri dalam aspek kehidupan lainnya.
Pada awalnya, puasa dapat menyebabkan fluktuasi emosi,
seperti rasa frustrasi, cemas, atau marah, terutama ketika tubuh beradaptasi
dengan tidak makan dan minum. Hal ini disebabkan oleh perubahan kadar gula
darah, hormon, atau stres fisik yang dialami selama puasa. Namun, seiring
berjalannya waktu, puasa juga bisa meningkatkan perasaan kedamaian dan
ketenangan mental.
Banyak orang merasa lebih dekat dengan dimensi
spiritual mereka selama puasa, terutama jika dilaksanakan dalam konteks ibadah
seperti puasa Ramadhan. Kegiatan ibadah yang lebih banyak dilakukan, seperti
salat, membaca Al-Qur'an, dan doa, dapat meningkatkan perasaan damai dan
memperdalam koneksi dengan Tuhan. Ini juga bisa mengurangi stres dan memberikan
perasaan tujuan hidup yang lebih jelas.
Ketika seseorang merasakan lapar dan haus, mereka
cenderung menjadi lebih empatik terhadap orang lain yang hidup dalam
kekurangan. Hal ini dapat mengarah pada peningkatan rasa simpati dan dorongan
untuk lebih peduli terhadap sesama, seperti yang diharapkan dalam tradisi puasa
di banyak agama.
Setelah tubuh beradaptasi dengan pola makan yang
teratur dan terbatas, banyak orang melaporkan merasa lebih stabil secara
emosional. Sebagian merasa lebih puas dan bahagia setelah berhasil melalui
tantangan fisik puasa, dan ini dapat berdampak positif pada suasana hati
mereka.
Puasa juga bisa mempengaruhi kemampuan kognitif.
Beberapa orang merasa bahwa konsentrasi mereka meningkat selama puasa,
sementara yang lain merasa lebih mudah lelah dan sulit berkonsentrasi. Ini
seringkali bergantung pada pengalaman individu dan tingkat kebiasaan mereka
dalam berpuasa.
Puasa, terutama jika dilakukan dengan niat spiritual
atau mental, dapat berfungsi sebagai pembersihan mental. Dengan mengurangi
konsumsi makanan atau minuman yang biasa kita konsumsi, kita juga sering kali
mengurangi kebiasaan atau pola pikir yang merugikan. Ini memberi ruang untuk
kebiasaan atau pola pikir yang lebih sehat dan positif.
Intinya, puasa Ramadhan memiliki dampak psikologis (Psyco-Ramadhan)
yang kompleks. Meskipun mungkin menantang di awal, banyak orang melaporkan
perasaan peningkatan kesejahteraan mental setelah menjalani proses puasa, baik
dalam konteks spiritual maupun kesejahteraan psikologis mereka.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 06 Ramadhan 1446 H – 06 Maret
2025 M : 14.49 WIB)