Oleh
: Ahmad Sastra
Gaza itu telah ajarkan ajarkan kita
tentang nikmat Allah, khususnya nikmat hidup. Gaza itu tetap menikmati hidup
sepanjang waktu, padahal drone tanpa henti berdengung dan mengintai mereka. Tiada
waktu tanpa dengung bunyi drone, selama 24 jam sehari. Jika drone itu berhenti
bunyi, mereka bersiap dengarkan ledakan. Jadi dengan kondisi itu, mereka sangat
sadari hidup itu begitu singkat. Sebelumnya mereka sadari bahwa hidup ini
adalah nikmat waktu hidup yang Allah berikan kepada orang-orang terpilih. Di Gaza
tanpa bisa diprediksi, tiba-tiba rumah sakit atau lokasi hancur lebur dan
menyelesaikan hidup mereka yang ada di sana. Dengan kondisi itu, tidak ada yang
bisa menjaga semangat hidup, kecuali karena hubunganmu dengan Allah. (Seorang
Ibu Tua, Warga Gaza).
Sebuah ungkapan dari seorang ibu tua warga Gaza di
atas, mestinya memberikan kesadaran paling mendalam, betapa berharganya nikmat
hidup bagi seorang muslim. Hidup dan mati hanya dalam genggaman Allah. Tak ada
kata putus asa dan mengeluh dalam menjalani kehidupan, jika Allah yang selalu
menjadi sandarannya. Mensyukuri hidup adalah kewajiban bagi setiap muslim yang
beriman kepada Allah.
Dalam Islam, hubungan seorang Muslim dengan Allah
memang menjadi sumber utama kekuatan, semangat, dan ketenangan hati. Saat
segala hal terasa berat atau dunia seolah tak berpihak, keimanan dan kedekatan
kepada Allah-lah yang mampu menyalakan kembali harapan dan tujuan hidup. Hidupnya
seorang muslim adalah saat ada keterhubungan dirinya dengan Allah (idra’ silla
billah).
Rasulullah ï·º bersabda: "Ketahuilah, di dalam tubuh ada segumpal daging.
Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh, dan jika ia rusak, maka rusaklah
seluruh tubuh. Ketahuilah, itu adalah hati." (HR. Bukhari dan Muslim).
Hati yang terhubung dengan Allah akan senantiasa
diberi kekuatan untuk terus melangkah, meski badai datang silih berganti. Optimisme
seorang muslim akan mengalahkan segala macam ujian dan rintangan dalam
menjalani kehidupan. Terlebih jika seorang muslim memilih jalan perjuangan dan
dakwah. Tidak ada yang ringan dalam perjalanan dakwah. Dakwah selalu akan
dihadapkan dengan ujian dan cobaan.
Seorang Muslim sejatinya selalu optimis, karena dia
percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi sudah dalam ketetapan Allah dan pasti
ada hikmahnya. Rasa optimis itu lahir dari iman, yakin bahwa setelah kesulitan
pasti ada kemudahan, dan bahwa rahmat Allah selalu lebih luas daripada masalah
apa pun yang kita hadapi.
Allah berfirman: "Karena sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan." (QS. Al-Insyirah: 6). Dan dalam hadis,
Rasulullah ï·º bersabda: "Janganlah engkau
menganggap dirimu hina." (HR. Muslim)
Sebaliknya, pesimisme itu datang dari bisikan setan
yang ingin melemahkan semangat dan menjauhkan kita dari rahmat Allah. Tapi
seorang Muslim tahu bahwa selama dia hidup, masih ada peluang untuk berubah,
memperbaiki diri, dan mengejar ridha-Nya. Optimisme dalam Islam bukan berarti
mengabaikan kenyataan, tapi memilih untuk percaya bahwa dengan ikhtiar, doa,
dan tawakal, kebaikan pasti akan didatangkan oleh Allah, cepat atau lambat.
Hidup dan mati seorang Muslim sepenuhnya di tangan
Allah, karena tak ada soal tentang hidup dan mati. Dentuman drone dan ledakan
bom tak akan bisa menjadikan kematian, jika Allah belum berkehendak. Kehidupan seorang
muslim adalah kemuliaan, sementara kematiannya adalah syahid. Keduanya adalah
kebaikan.
Manusia tidak memiliki kuasa atas kapan kita lahir,
kapan kita wafat, atau apa yang terjadi di antaranya, semuanya dalam kehendak
dan ilmu Allah yang Maha Sempurna. Kesadaran ini membuat hati seorang Muslim
menjadi tenang—karena tahu bahwa hidup ini bukan tanpa arah. Kita hidup bukan
untuk dunia semata, tapi untuk beribadah kepada Allah dan kembali kepada-Nya
dalam keadaan terbaik.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an: "Dan tidak ada
seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya
besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan
mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal." (QS. Luqman: 34)
Dan dalam ayat lain Allah berfirman : "Katakanlah,
sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian
itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), Yang
Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang
telah kamu kerjakan." (QS. Al-Jumu’ah: 8).
Kita yang hidup di negeri damai, mestinya malu kepada
warga Gaza yang teguh hati, meskipun menerima ujian yang sangat berat. Dan
sungguh, mereka adalah cermin kekuatan iman, bahwa dengan Allah, kita bisa
tetap teguh bahkan ketika dunia terasa runtuh.
Belajar dari keteguhan saudara-saudara kita di Gaza
itu seperti menimba kekuatan dari mata air yang tak pernah kering. Mereka hidup
dalam ujian yang berat, dalam tekanan, penderitaan, bahkan ancaman kematian
setiap hari, namun hati mereka tetap kokoh, tak goyah, dan penuh tawakal kepada
Allah.
Warga Gaza meyakini bahwa hidup ini hanya sementara,
dan bahwa surga adalah janji yang nyata bagi mereka yang bersabar dan berjuang
di jalan Allah. Banyak anak-anak Gaza yang hafal Qur’an meski hidup dalam
kondisi sulit. Kitabullah menjadi cahaya yang membimbing langkah mereka.
Warga Gaza mungkin tak punya perlindungan duniawi yang kuat, tapi keyakinan
mereka bahwa Allah cukup sebagai pelindung membuat mereka tetap berdiri tegak. Mereka
mengajarkan kita makna hidup yang sejati—bahwa kehidupan adalah ladang amal,
bukan tempat bersenang-senang.
Allah berfirman: "Janganlah kamu mengira bahwa
orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi
Tuhan mereka dengan mendapat rezeki." (QS. Ali ‘Imran: 169).
Warga Gaza adalah muslim yang benar-benar kuat
keimanan dan ketaqwaanya, sehingga melahirkan kesabaran dan semangat jihad yang
luar biasa. Mereka adalah orang-orang yang menjadikan Rasulullah sebagai
teladan dalam menghadapi ujian hidup yang datang dari orang-orang kafir.
Rasulullah adalah manusia paling sabar, paling lembut,
dan paling tabah dalam membawa risalah Islam, meski ujian yang beliau hadapi
luar biasa berat. Orang-orang Quraisy yang tumbuh bersama beliau, bahkan
sebagian keluarganya sendiri, menolak dakwah beliau. Tapi beliau tidak pernah
berhenti mendoakan mereka.
Beliau dilempari batu di Thaif hingga berdarah,
dituduh gila, dukun, pembohong. Tapi beliau tetap sabar dan tidak membalas
dengan kebencian. Doa beliau di Thaif sangat menyentuh: “Ya Allah, ampunilah
kaumku, karena mereka tidak tahu.”
Rasulullah ï·º
pernah mengganjal perutnya dengan batu karena lapar, sementara beliau adalah
kekasih Allah. Tapi tak sekalipun beliau mengeluh. Khadijah dan Abu Thalib
wafat di saat-saat sulit, tapi beliau tetap tegar melanjutkan dakwah.
Apa yang bisa kita pelajari ? (1) Sabar itu bukan
pasrah, tapi kekuatan untuk tetap bergerak. (2) Bersikap lembut, bahkan kepada
yang menolak kita. (3) Yakin bahwa kemenangan itu datang setelah kesabaran. (4)
Menggantungkan hati hanya kepada Allah.
Allah berfirman: "Dan bersabarlah engkau
(Muhammad), dan kesabaranmu itu tidak lain kecuali dengan (pertolongan)
Allah..." (QS. An-Nahl: 127)
Rasulullah ï·º
adalah guru kehidupan. Semakin kita pelajari perjuangan beliau, semakin kita
sadar bahwa semua ujian kita hari ini, seberat apa pun, masih sangat kecil
dibanding kesabaran beliau dalam membawa cahaya Islam ke dunia. Begitupun dengan
keindahan kesabaran, keimanan dan semangat jihad muslim Gaza di tengah gempuran
serangan Israel dan diamnya para pemimpin muslim di dunia.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 25/04/25 : 11.49 WIB)