Oleh : Ahmad Sastra
Dilansir oleh Tempo.co., kementerian
Kesehatan di Gaza mengumumkan pada Ahad bahwa jumlah korban tewas akibat
serangan Israel telah meningkat menjadi sedikitnya 52.243 orang. Lonjakan ini
terjadi setelah kementerian menghitung ratusan orang yang sebelumnya terdaftar
sebagai orang hilang dan kematiannya kini telah dikonfirmasi.
Badan pertahanan sipil Gaza telah
mengumumkan sebelumnya pada Ahad bahwa serangan Israel menewaskan sedikitnya
delapan orang, termasuk seorang remaja berusia 17 tahun yang tewas dalam
serangan di sebuah kota di Gaza selatan.
Israel melanjutkan genosida di Jalur Gaza
pada 18 Maret, sebagai pelanggaran gencatan senjata. Sebelumnya mereka
menyepakati gencatan senjata hingga tiga tahap yang diusulkan mantan presiden
AS Joe Biden.
Namun, setelah gencatan senjata tahap
pertama berakhir, mereka secara sepihak memblokir seluruh bantuan kemanusiaan
sejak 2 Maret dan menggempur kembali Gaza. Juru bicara pertahanan sipil Mahmoud
Bassal mengatakan pada Ahad bahwa "sedikitnya delapan orang tewas dan
puluhan lainnya terluka dalam serangan udara Israel sejak fajar."
Bassal mengatakan tiga orang tewas ketika
sekelompok warga sipil diserang di lingkungan Zeitun di Kota Gaza, dan tiga
lainnya tewas dalam serangan yang menghantam sebuah bangunan tempat tinggal di
kamp pengungsi Bureij.
Bassal mengatakan dua orang tewas di
wilayah selatan Khan Younis, termasuk seorang anak laki-laki berusia 17 tahun
dalam serangan di kota Khuzaa dan satu orang lainnya tewas ketika pasukan
Israel menyerang perahu nelayan di lepas pantai.
Dalam insiden terpisah di dekat Khan
Younis, sebuah serangan melukai sedikitnya 12 orang, sebagian besar dari mereka
anak-anak, di Al-Mawasi, juru bicara pertahanan sipil menambahkan.
Serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 diklaim
mengakibatkan kematian 1.218 orang berdasarkan angka resmi Israel. Hamas juga
menculik 251 orang, 58 di antaranya masih ditahan di Gaza, termasuk 34 orang yang
menurut militer Israel telah tewas akibat pengeboman Israel.
Namun dalam sebuah wawancara usai dipecat
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, mantan menteri pertahanan Yoav Gallant
mengakui bahwa ada sejumlah korban tewas pada hari itu akibat serangan helikopter
Apache Israel. Mereka tewas sebagai bagian dari Arahan Hannibal yang bertujuan
agar tidak ada warga Israel yang ditawan hidup-hidup oleh musuh.
Sebenarnya, bukan hanya rakyat Palestina
yang menjadi korban kekejaman kaum kafir Barat, namun diberbagai negara juga
telah terzolimi, teraniaya, terusir dan berbagai kondisi yang menyedihkan. Mengapa
hal tragis ini bisa terjadi, padahal muslim adalah kaum terbaik yang dilahirkan
di dunia ini.
Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran : 110)
Salah satu penyebabnya adalah perpecahan
di kalangan umat Islam karena tersekat oleh ikatan nasionalisme dan
disorientasi karena kekuasaan dan pragmatisme. Pecah belahnya umat Islam dapat
membawa berbagai akibat negatif baik dalam aspek agama, sosial, politik, maupun
ekonomi di seluruh dunia, kasus Palestina hanya salah satunya.
Ketika umat Islam terpecah, mereka
kehilangan potensi untuk bersatu dalam menghadapi tantangan dunia. Sebagaimana
dalam Al-Qur'an, Allah memerintahkan umat Islam untuk bersatu: "Dan
berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai-berai." (Surah Al-Imran: 103).
Umat Islam yang terpecah lebih rentan
terhadap intervensi luar dan menjadi sasaran eksploitasi atau dominasi oleh
kekuatan asing. Sejarah membuktikan bahwa umat Islam yang bersatu memiliki
kekuatan yang luar biasa dalam menghadapi musuh.
Perpecahan umat Islam sering kali mengarah
pada konflik internal yang dapat berujung pada perang saudara, seperti yang
terjadi di beberapa negara Muslim di Timur Tengah. Hal ini menghancurkan
tatanan sosial, merusak infrastruktur, dan menyebabkan korban jiwa yang besar.
Perpecahan bisa juga mengarah pada
perbedaan yang tajam dalam hal keyakinan, praktik ibadah, dan pandangan agama.
Hal ini menyebabkan terjadinya perselisihan antar kelompok, bahkan dengan
kekerasan, seperti yang sering kita lihat dalam berbagai bentuk sektarianisme.
Perpecahan yang terjadi menyebabkan umat
Islam menghabiskan sumber daya yang sangat besar untuk konflik internal,
alih-alih menggunakan sumber daya tersebut untuk kemajuan ekonomi dan
kesejahteraan umat. Negara-negara Muslim yang terpecah sering kali menghadapi
kesulitan untuk membangun kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan, yang
pada akhirnya melemahkan daya saing mereka di pasar global.
Perpecahan dalam umat Islam dapat
melemahkan dakwah dan mengurangi efektifitas penyebaran Islam di seluruh dunia.
Alih-alih bersatu untuk memperkenalkan Islam dengan kedamaian, umat Islam malah
terlibat dalam konflik satu sama lain, sehingga memberi kesan buruk terhadap
agama Islam.
Konflik antar umat Islam bisa memberi
kesempatan bagi pihak luar untuk memperburuk citra Islam, sering kali dengan
mendistorsi fakta dan memperburuk kesan bahwa Islam adalah agama yang penuh
dengan kekerasan.
Perpecahan yang mendalam di kalangan umat
Islam dapat menyebabkan hilangnya identitas kolektif mereka. Setiap kelompok
cenderung lebih fokus pada kelompok atau madzhabnya masing-masing daripada pada
identitas Islam yang lebih luas. Ketika umat Islam tidak dapat bersatu dalam
memahami ajaran agama mereka, hal ini dapat menyebabkan keraguan di kalangan
individu mengenai ajaran Islam yang sesungguhnya. Pada gilirannya, ini bisa
menyebabkan penurunan keimanan.
Negara-negara dengan populasi Muslim yang
terpecah dapat mengalami ketegangan sosial dan politik yang tinggi. Misalnya,
dalam negara dengan banyak kelompok Muslim berbeda, seperti Sunni dan Syiah,
perbedaan ini bisa menjadi faktor ketegangan yang mempengaruhi stabilitas
politik.
Negara-negara yang terpecah sering kali
menjadi sasaran intervensi dari kekuatan luar yang memanfaatkan perpecahan
tersebut untuk kepentingan mereka sendiri. Hal ini bisa mengarah pada
penjajahan atau ketergantungan yang berkepanjangan pada kekuatan asing.
Ketika umat Islam terpecah, mereka sering
kali mengabaikan masalah sosial dan kemanusiaan yang lebih besar, seperti
kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan. Fokus mereka teralihkan pada pertikaian
internal daripada menyelesaikan masalah yang lebih mendesak bagi kesejahteraan
umat.
Umat Islam yang terpecah akan menghadapi
tantangan dalam membangun komunitas yang solid dan saling mendukung. Kehidupan
sosial yang harmonis menjadi sulit tercapai ketika kelompok-kelompok terpisah
karena perbedaan internal.
Perpecahan membuka peluang bagi musuh
Islam untuk menaklukkan atau mempengaruhi umat Islam. Ketika umat Islam tidak
bersatu, mereka menjadi lebih rentan terhadap pengaruh dan tekanan dari
negara-negara atau ideologi asing. Musuh-musuh Islam seringkali menggunakan
perpecahan ini sebagai cara untuk mendiskreditkan agama Islam, dengan
menyebutkan perpecahan sebagai bukti kelemahan atau kegagalan Islam dalam
menciptakan perdamaian.
Hanya khilafah yang dapat menyatukan
kembali umat Islam di dunia dan menjadikannya sebagai negara super power,
karena itu harus terus diperjuangkan hingga terwujud. merupakan pandangan yang sering dibicarakan
dalam berbagai diskursus politik dan agama di kalangan sebagian umat Islam.
Khilafah, dalam pengertian tradisional,
adalah pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Khalifah yang bertugas memimpin
umat Islam dan menjaga prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Sejarah Khilafah, seperti Khilafah
Rashidah, Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah, memang mencatatkan bahwa umat
Islam pernah berada dalam keadaan relatif bersatu dan memiliki pengaruh besar
dalam sejarah dunia.
Pada masa kejayaannya, Khilafah menjadi
pusat peradaban besar, memajukan ilmu pengetahuan, seni, arsitektur, dan perdagangan.
Misalnya, di bawah Khilafah Abbasiyah, Baghdad menjadi pusat intelektual dengan
banyaknya ilmuwan Muslim yang berkontribusi dalam berbagai bidang seperti
matematika, astronomi, kedokteran, dan filosofi.
Setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah pada
1924, dunia Muslim terpecah menjadi negara-negara nasional dengan sistem
politik yang bervariasi. Banyak faktor yang menyebabkan keruntuhan ini,
termasuk kolonialisasi, intervensi asing, dan perbedaan ideologi di kalangan
umat Islam sendiri.
Negara-negara Muslim sering kali terjebak
dalam permainan geopolitik global, di mana negara-negara besar (seperti AS,
Rusia, China, dan negara-negara Eropa) memiliki kepentingan yang bertentangan
dengan kesatuan umat Islam. Intervensi asing ini sering memperburuk ketegangan
antar negara-negara Muslim.
Sebagian besar negara-negara Muslim kaya
akan sumber daya alam, seperti minyak, gas, dan bahan tambang lainnya, yang
seharusnya bisa menjadi kekuatan ekonomi yang besar jika dikelola dengan
bijaksana dan bersatu. Namun, pengelolaan yang buruk, ketergantungan pada
negara-negara Barat, dan ketidakstabilan politik sering menghalangi potensi
ini.
Sejarah mencatat bahwa umat Islam pernah
menjadi pionir dalam sains dan teknologi, dan potensi ini bisa kembali
dimaksimalkan jika ada persatuan dan kerja sama antar negara-negara Muslim.
Namun, saat ini banyak negara Muslim yang tertinggal dalam bidang riset dan
inovasi.
Beberapa negara Muslim, seperti Turki,
Pakistan, dan Arab Saudi, memiliki kekuatan militer yang signifikan. Jika ada
koordinasi yang baik, ini bisa menjadi fondasi untuk menciptakan kekuatan yang
lebih besar di panggung internasional. Namun, banyak faktor eksternal yang
membatasi kemampuan ini, seperti intervensi asing dan pengaruh negara-negara
besar.
Umat Islam saat ini memiliki berbagai
sistem pemerintahan yang berbeda. Beberapa negara Muslim lebih condong ke
sistem demokrasi (seperti Indonesia dan Tunisia), sementara yang lainnya masih
mempraktikkan monarki atau pemerintahan otoriter. Perbedaan dalam cara
memandang pemerintahan ini menjadi tantangan besar dalam membentuk satu entitas
politik yang bersatu dalam bentuk Khilafah.
Dalam banyak pandangan fiqh, konsep
Khilafah bukan hanya soal pemerintahan, tetapi juga tentang penegakan hukum
Allah dan kesejahteraan umat manusia. Namun, terdapat perbedaan dalam hal siapa
yang berhak menjadi Khalifah, bagaimana sistem Khilafah dijalankan, dan
bagaimana umat Islam menghadapinya dalam konteks modern.
Secara historis, Khilafah bisa berfungsi
sebagai alat pemersatu umat, tetapi juga bisa menjadi sumber perpecahan.
Misalnya, perselisihan tentang siapa yang layak menjadi Khalifah pernah
menyebabkan perpecahan besar seperti pada masa fitnah pertama antara Sunni dan
Syiah.
Di dunia modern ini, negara-negara besar
memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam perekonomian, politik, dan teknologi.
Untuk menjadi super power, negara-negara Muslim harus menghadapi tantangan
besar dalam hal diplomasi internasional, teknologi, dan ekonomi global.
Penyatuan umat Islam di bawah satu
pemerintahan Khilafah akan membutuhkan waktu, usaha yang luar biasa, dan
pengorbanan yang besar. Hal ini tidak hanya melibatkan penyatuan politik,
tetapi juga penyatuan dalam visi dan tujuan bersama sehingga benar-benar akan
menyatukan negeri-negeri muslim seluruh dunia beserta potensi sumber daya alam
dan manusianya. Adalah logis jika khilafah terwujud, maka negara inilah yang
akan menjadi super power dunia.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 28/04/25 :
09.23 WIB)