Oleh : Ahmad Sastra
Agustus kelam di negeri ini saat terjadi
kerusuhan dilanjutkan dengan penjarahan rumah-rumah pejabat. Pemantik kerusuhan
sosial ini sebenarnya bukan sekadar ekspresi kemarahan spontan karena perilaku
pejabat hasil pemuli demokrasi, melainkan akumulasi tekanan ekonomi,
ketidakadilan sosial, dan kebuntuan kebijakan publik selama satu dekade
terakhir.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ketimpangan pendapatan yang melebar, pengangguran yang tinggi, dan pendekatan
keamanan yang represif menjadi tiga faktor kunci yang memperkuat risiko
kerusuhan. Perilaku korup para pejabat juga cukup memicu amarah rakyat
yang kian hari kian miskin dan hidup sengsara.
Tak hanya Indonesia, Nepal juga diguncang
gelombang protes besar-besaran yang menelan sedikitnya 22 korban jiwa dan
ratusan luka-luka dalam dua hari terakhir. Aksi unjuk rasa yang disebut sebagai
“Revolusi Gen Z” itu berujung pada pengunduran diri Perdana Menteri KP Sharma
Oli pada Senin (8/9), serta memicu keterlibatan militer dalam mengendalikan
situasi.
Demonstrasi berujung kekerasan masih
terjadi di Nepal. Sejak Senin, negara itu mengalami kerusuhan terburuk dalam
dua dekade, di mana perdana menteri (PM) berhasil digulingkan dan gedung-gedung
parlemen hingga rumah pejabat dibakar. Dalam update Rabu malam, dikutip dari
AFP Kamis (11/9/2025), situasi negeri itu masih mencekam. Dilaporkan 13.500
narapidana kabur dari penjara Nepal di tengah protes dan kekacauan yang
melanda.
Kerusuhan bermula dari keputusan pemerintah Nepal yang
melarang 26 platform media sosial, termasuk WhatsApp, Instagram, dan Facebook.
Alasan resmi larangan tersebut adalah karena platform dianggap tidak memenuhi
tenggat waktu pendaftaran ke Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi.
Namun, kebijakan itu ditolak luas oleh masyarakat,
terutama generasi muda, yang menilai pemerintah berusaha membungkam kampanye
antikorupsi yang marak di media sosial. Larangan ini akhirnya dicabut pada
Senin malam, tetapi aksi protes terlanjur meluas dengan membawa tuntutan yang
lebih mendasar.
International Crisis Group menyebutnya
sebagai "titik balik utama dalam pengalaman sulit negara ini dengan
pemerintahan demokratis". Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) Antonio Guterres telah mendesak "pengekangan diri untuk menghindari
eskalasi kekerasan lebih lanjut".
Tak berhenti sampai Nepal, Gen-Z Perancis juga
melakukan unjuk rasa karena merasa muak dan tidak puas dengan nasib hidup
mereka. Perancis mengerahkan setidaknya 80.000 polisi untuk memadamkam Gerakan
10 September. Mereka memukuli dan menangkap ratusan orang muda yang berunjuk
rasa bersama kaum pekerja.
Dalam pernyataan pada Kamis (11/9/2025), Perdana
Menteri Perancis Sébastien Lecornu menjanjikan terobosan. Janji dilontarkan
setelah hari pertamanya sebagai PM, Rabu (10/9) diwarnai unjuk rasa. Ia
menyatakan akan kreatif menemukan cara bekerja sama dengan kubu oposisi di
parlemen.
Ketua Parlemen Perancis Yaël Braun-Pivet, juga
mengajak anggota parlemen bisa mengesampingkan perbedaan demi kemajuan negara.
”Negara kita sedang dalam tantangan nyata. Warga Perancis mengharapkan kita
menyatukan kekuatan daripada menekankan perbedaan. Terserah PM untuk
memanfaatkan momentum ini,” kata dia selepas menerima Lecornu.
Rakyat Muak Dengan Kapitalisme Demokrasi
Nationalgeographic.co.id—Di London Timur, sekitar 20
pria rutin bertemu untuk makan siang. Mereka minum kopi dan teh dari cangkir
yang berbeda-beda. Mereka juga melakukan kegiatan yang populer di negara
demokrasi: mengeluhkan pemerintah.
Barrie Stradling, 65 tahun, merasa seperti warga kelas
dua. Ia mengatakan anggota parlemen tidak mewakili mereka. Para pemimpin
politik dianggap tidak mengerti kesulitan rakyat. "Apakah mereka
mendengarkan rakyat? Saya rasa tidak," keluhnya.
Di Jakarta, Ni Wayan Suryatini, 46 tahun, kecewa
dengan hasil pemilu. Putra mantan presiden menjadi wakil presiden. Partai
oposisi dinilai tidak berbuat banyak. Suryatini tidak percaya politisi karena
dianggap hanya ingin mencapai tujuan sendiri dan melupakan rakyat setelahnya.
Di Greeley, Colorado, Sally Otto, 58 tahun, cemas
dengan pemilihan presiden AS mendatang. Ia melihat lagi dua pilihan yang sama
buruk, Joe Biden dan Donald Trump.
Tahun ini, separuh populasi dunia akan memilih. Banyak
pemilih sedang tidak senang. Di berbagai negara seperti Korea Selatan,
Polandia, dan Argentina, petahana kalah dalam pemilu. Di Afrika Selatan,
pemilih memberikan kekalahan bersejarah kepada Kongres Nasional Afrika.
Mereka kehilangan mayoritas parlemen untuk pertama
kalinya sejak berakhirnya apartheid 30 tahun lalu. Ini terjadi setelah 30
tahun. Di Amerika Latin, menurut Steven Levitsky dari Harvard, para pemimpin
dan partai mereka kalah dalam 20 pemilihan berturut-turut hingga pemilu
presiden di Meksiko baru-baru ini.
Pejabat Nir-Empati Lahir Dari Pemilu Demokrasi
Pragmatisme materialisme sering kali menjadi karakter
utama dalam sistem politik demokrasi. Dalam demokrasi, sering sekali melahirkan
para koruptor dan maling uang rakyat. Paham pragmatisme materialisme dalam
filsafat, memiliki pengaruh yang signifikan terhadap orientasi duniawi seseorang
atau kelompok.
Secara umum, materialisme menganggap bahwa realitas
utama adalah materi dan dunia fisik, sementara pragmatisme adalah pendekatan
yang lebih berfokus pada praktikalitas dan hasil nyata daripada teori atau
prinsip abstrak.
Dalam konteks pragmatisme materialisme, orientasi
duniawi lebih terfokus pada pencapaian sukses secara praktis dalam kehidupan
sehari-hari, seperti kemajuan materi, kestabilan ekonomi, dan kenyamanan hidup.
Hal ini memotivasi individu untuk mengejar keuntungan dan kemajuan tanpa
terlalu memedulikan nilai-nilai spiritual atau filosofis.
Orientasi duniawi dalam pandangan ini cenderung
menganggap bahwa tujuan hidup adalah untuk mencari kebahagiaan dan kenyamanan
materi. Misalnya, pencarian untuk memperoleh harta, status sosial, atau
pencapaian lainnya menjadi hal yang dominan.
Pragmatismenya menuntut pemikiran yang rasional, yang
seringkali mengarah pada keputusan berdasarkan hasil nyata dan praktis. Dalam
dunia yang pragmatis materialistik, apa yang dianggap berhasil adalah hal-hal
yang terlihat dan bisa diukur secara langsung, seperti penghasilan, prestasi
duniawi, dan kekayaan. Hal-hal yang tidak dapat diukur atau tidak langsung
berdampak pada kenyamanan hidup lebih dianggap kurang relevan.
Pandangan materialistik ini bisa menyebabkan penolakan
terhadap konsep-konsep yang lebih abstrak dan non-materialistik, seperti
nilai-nilai spiritual, moralitas yang lebih tinggi, atau pemikiran metafisik
tentang kehidupan setelah mati. Pragmatismenya lebih terfokus pada apa yang
dapat dibuktikan atau dicapai di dunia nyata.
Terpengaruh oleh pragmatisme materialisme,
konsumerisme menjadi gaya hidup yang mendorong orang untuk terus-menerus
mengejar barang dan jasa baru, yang diyakini dapat membawa kebahagiaan atau
kepuasan. Gaya hidup ini semakin menegaskan bahwa dunia material adalah tempat
yang harus dieksplorasi dan dimanfaatkan sebanyak mungkin.
Dalam orientasi duniawi yang didorong oleh
materialisme pragmatis, individu sering menilai kesuksesan hidup dengan mengacu
pada pencapaian duniawi, seperti kepemilikan barang, pencapaian jabatan, atau
reputasi sosial. Kehidupan spiritual atau pencapaian di luar dunia fisik
seringkali tidak dianggap sebagai ukuran utama keberhasilan.
Pragmatisme materialisme memiliki dampak yang kuat terhadap
orientasi duniawi, dengan lebih menekankan pada pencapaian material,
pragmatisme dalam pengambilan keputusan, dan kecenderungan untuk mengukur
keberhasilan berdasarkan hasil duniawi yang konkret.
Maka, tidak heran jika sistem demokrasi pragmatisme
akan melahirkan para pejabat dan pemimpin yang bermental budak duniawi dan mengabaikan nilai-nilai non-material yang
lebih spiritual atau filosofis.
Mentalitas "budak dunia" sering kali merujuk
pada individu yang sangat terikat dan terfokus pada hal-hal materi, status
sosial, kenikmatan duniawi, atau pencapaian duniawi lainnya, tanpa
memperhatikan nilai-nilai yang lebih dalam, seperti spiritualitas, moralitas,
atau tujuan hidup yang lebih tinggi.
Pejabat dan pemimpin yang disebut sebagai "budak
dunia" cenderung terobsesi dengan harta benda, kekayaan, kekuasaan, dan
status sosial. Mereka sering merasa bahwa kebahagiaan hidup hanya dapat dicapai
melalui akumulasi materi dan pencapaian duniawi, tanpa memperhitungkan nilai-nilai
non-material seperti kedamaian batin atau kebahagiaan spiritual.
Mereka lebih mementingkan kenikmatan dan kepuasan
sesaat yang bisa didapatkan dari dunia ini, seperti harta, kesenangan, atau
status. Pengorbanan dan perjuangan jangka panjang yang lebih bertujuan tinggi
sering kali diabaikan demi mendapatkan kenikmatan langsung.
Sebagai "budak dunia," seseorang pejabat dan
pemimpin cenderung mengabaikan atau meremehkan nilai-nilai moral atau spiritual
yang lebih tinggi. Mereka lebih memilih untuk mengikuti keinginan dan ambisi
pribadi, seringkali mengorbankan prinsip-prinsip moral, etika, atau bahkan
kedamaian batin demi mencapai tujuan duniawi mereka.
Mereka tidak mampu melepaskan diri dari segala bentuk
keterikatan terhadap dunia ini. Mereka merasa bahwa hidup ini harus dipenuhi
dengan pencapaian materi dan pengakuan sosial, sehingga sering kali mereka
tidak memberi ruang bagi pertumbuhan spiritual atau pemikiran yang lebih
mendalam tentang makna hidup.
Budak dunia sering kali terfokus pada kepentingan diri
sendiri dan pencapaian ego, dengan sedikit perhatian pada kebutuhan atau
kesejahteraan orang lain. Kehidupan mereka berpusat pada pencarian kesenangan
pribadi dan ambisi duniawi, seringkali tanpa memperhatikan hubungan dengan
orang lain atau masyarakat.
Mereka percaya bahwa kebahagiaan hanya dapat ditemukan
melalui pencapaian materi dan kedudukan sosial. Ketika tujuan duniawi mereka
tercapai, mereka merasa bahagia sementara itu bertahan, namun kebahagiaan itu
bersifat sementara. Ketergantungan mereka terhadap hal-hal duniawi menjadikan
mereka selalu merasa kekurangan atau tidak puas, meskipun mereka sudah memiliki
banyak.
Dalam banyak tradisi spiritual atau agama, "budak
dunia" sering kali dilihat sebagai seseorang yang kurang memperhatikan
kehidupan setelah mati atau kehidupan spiritual. Mereka hanya terfokus pada
kehidupan fisik dan duniawi, dan tidak mempersiapkan diri untuk perjalanan
rohani yang lebih tinggi atau pemahaman tentang tujuan hidup yang lebih besar.
Ketika seseorang terlalu terikat pada dunia, keinginan
untuk memiliki lebih banyak harta atau status sosial akan terus berkembang.
Seiring berjalannya waktu, mereka akan terjebak dalam siklus keinginan yang
tidak pernah berakhir, di mana meskipun mereka sudah mendapat banyak, mereka akan
selalu merasa kurang dan mencari lebih lagi.
Mereka cenderung menghindari hal-hal yang mengarah
pada kesulitan atau penderitaan, memilih untuk hidup dalam kenyamanan dan
kesenangan. Penghindaran terhadap tantangan atau perjuangan sering kali muncul
karena takut kehilangan kemewahan atau kenyamanan hidup yang telah mereka
capai.
Kapitalisme Dan Jerat Memiskinkan Rakyat
Kemiskinan merupakan salah satu persoalan struktural
yang terus dihadapi oleh berbagai bangsa. Islam sebagai agama rahmatan lil
‘alamin menawarkan solusi integral dan komprehensif dalam mengatasi kemiskinan,
tidak hanya dari aspek material, tetapi juga spiritual dan sosial.
Kemiskinan bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga
masalah sosial dan spiritual yang dapat merusak tatanan masyarakat. Data dari
World Bank menunjukkan bahwa lebih dari 700 juta orang di dunia masih hidup
dalam kemiskinan ekstrem pada tahun 2023. Dalam konteks ini, solusi yang
bersifat pragmatis semata tidak cukup. Islam hadir dengan sistem nilai dan
perangkat sosial-ekonomi yang dirancang untuk menghapus kemiskinan dari
akar-akarnya.
Kemiskinan struktural merupakan bentuk kemiskinan yang
disebabkan oleh ketimpangan sistemik dalam struktur sosial, politik, dan
ekonomi masyarakat. Berbeda dengan kemiskinan individual yang dipicu oleh
faktor personal seperti kemalasan atau kurangnya keterampilan, kemiskinan
struktural berlangsung secara sistemik dan diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
Kemiskinan merupakan permasalahan multidimensional
yang tidak hanya menyangkut ketiadaan penghasilan, tetapi juga keterbatasan
akses terhadap sumber daya, pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi.
Kemiskinan struktural adalah jenis kemiskinan yang muncul akibat kebijakan,
institusi, dan sistem ekonomi yang tidak adil dan eksklusif. Fenomena ini
sangat sulit diberantas tanpa perubahan sistemik karena akar penyebabnya berada
dalam struktur sosial dan ekonomi itu sendiri (Galtung, 1969; Sen, 1999).
Salah satu faktor utama kemiskinan struktural adalah
ketimpangan dalam penguasaan dan akses terhadap sumber daya, seperti tanah,
air, modal, dan pendidikan. Di banyak negara berkembang, kepemilikan lahan
didominasi oleh sekelompok kecil elite, sementara mayoritas masyarakat hanya
menjadi buruh tani tanpa kepastian ekonomi (Todaro & Smith, 2012).
Struktur ekonomi yang berpihak pada kapital besar (sistem
kapitalisme) dan melemahkan pelaku usaha kecil turut memperkuat kemiskinan.
Kebijakan fiskal dan moneter sering kali lebih menguntungkan korporasi
dibandingkan masyarakat miskin. Globalisasi ekonomi tanpa regulasi yang adil
juga memperparah ketimpangan antara pusat dan pinggiran (Stiglitz, 2002).
Kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat miskin,
seperti pemotongan subsidi kebutuhan pokok atau minimnya jaminan sosial,
memperkuat kemiskinan struktural. Seringkali, anggaran pembangunan lebih banyak
dialokasikan untuk sektor makroekonomi dan infrastruktur padat modal daripada
pengembangan sumber daya manusia dan sektor informal (Bappenas, 2020).
Faktor sosial seperti diskriminasi berbasis suku,
agama, gender, atau status sosial juga menyebabkan kelompok tertentu mengalami
marginalisasi berkelanjutan. Kelompok yang terpinggirkan ini seringkali tidak
memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, pekerjaan, dan pelayanan publik,
sehingga peluang untuk keluar dari kemiskinan sangat terbatas (UNDP, 2016).
Keterbatasan akses terhadap pendidikan berkualitas dan
layanan kesehatan dasar menjadi penghambat mobilitas sosial. Ketika anak-anak
dari keluarga miskin tidak mendapatkan pendidikan yang layak, mereka cenderung
mengulang nasib orang tua mereka sebagai pekerja berupah rendah (Sen, 1999).
Kemiskinan struktural bukanlah akibat dari kegagalan
individu semata, melainkan hasil dari sistem sosial dan ekonomi yang timpang.
Penyebabnya mencakup ketimpangan akses terhadap sumber daya, kebijakan publik
yang tidak berpihak, sistem ekonomi eksklusif, serta diskriminasi sosial dan
rendahnya kualitas layanan publik.
Oleh karena itu, solusi terhadap kemiskinan struktural
menuntut perubahan paradigma dalam perumusan kebijakan yang berorientasi pada
keadilan sosial, redistribusi aset, dan pemberdayaan masyarakat miskin secara
menyeluruh. Jika rakyat sudah muak dan marah, pertanda kapitalisme demokrasi
segera runtuh dan mati terkubur, tak akan bangkit lagi. Sebab Islam telah
menggantikannya.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1127/11/09/25 : 21.31
WIB)