Oleh : Ahmad Sastra
Belum lama sejak kejadian ambruknya sebuah pesantren di Jawa Timur pada 29 September lalu,
menewaskan puluhan santri dan menyebabkan banyak korban luka, kecelakaan di
sekolah kembali terjadi. Kali ini, seorang siswa diduga melakukan peledakan di SMAN 72 Jakarta. Peristiwa demi peristiwa tersebut membuat banyak dari kita
bertanya-tanya, masihkah sekolah menjadi ruang yang aman bagi anak?
Pasalnya, selain soal kecelakaan dan bencana, sekolah
juga masih rentan menjadi sumber kekerasan. Berdasarkan asesmen nasional
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), sebanyak 36% siswa di Indonesia berisiko mengalami perundungan, 35%
berisiko mengalami kekerasan seksual, dan 27% berisiko mengalami hukuman fisik.
Perundungan juga masih kerap dinormalisasi. Sebuah penelitian tahun 2022 di lima provinsi di Indonesia mengungkap
bahwa perundungan di sekolah dianggap sebagai hal lumrah dan menjadi bagian
dari budaya siswa. Ini membuat lingkaran setan kekerasan sering terjadi.
Sama dengan pendidikan, mendapatkan rasa aman adalah
hak setiap anak. Anak berhak untuk merasa aman di sekolah. Sebaliknya, anak yang terlibat masalah hukum pun tetap berhak memperoleh pendidikan.
Rasa aman adalah prasyarat dasar bagi pembelajaran.
Tanpa rasa aman, baik fisik maupun psikologis, perhatian, memori, dan motivasi
siswa akan terganggu sehingga potensi belajar tidak tercapai. Namun sering
terjadi situasi “seolah” tidak memberi rasa aman: sekolah tetap buka, guru
hadir, dan kurikulum berjalan, tetapi pengalaman harian siswa dipenuhi
kecemasan, intimidasi, ketidakpastian, atau trauma yang tak terlihat.
“Seolah tidak
aman” bukan hanya soal pagar yang rusak atau lampu lorong yang padam. Istilah
ini merujuk pada kondisi di mana lingkungan sekolah secara formal tampak
berfungsi, tetapi siswa merasakan ancaman, misalnya intimidasi berulang, kekerasan
antar-siswa, pelecehan, stigma, atau ketidakadilan dalam disiplin yang membuat
mereka tidak nyaman, waspada, atau takut mengakses ruang belajar.
Perasaan ini seringkali tidak tampak pada data
kehadiran atau nilai jangka pendek, sehingga mudah diabaikan. Penelitian dan
laporan internasional memperingatkan bahwa sekolah yang “tidak aman” dalam
pengalaman siswa akan menghambat inklusi dan keberhasilan pendidikan.
Banyak bukti menunjukkan hubungan kuat antara iklim
sekolah (school climate) dan hasil belajar. Meta-analisis dan tinjauan terkini
menemukan bahwa iklim sekolah yang positif berkorelasi dengan capaian akademik
dan keterlibatan siswa; sebaliknya, iklim yang mengandung kekerasan atau
intimidasi menurunkan prestasi dan kesejahteraan.
Bullying dan pengalaman traumatis berkaitan dengan
penurunan konsentrasi, absensi, penurunan nilai, serta masalah kesehatan mental
jangka panjang. Secara neurobiologis, stres kronis mengalihkan sumber daya
kognitif dari pembelajaran ke respons ancaman—itulah mengapa siswa yang merasa
tidak aman “tak bisa belajar” meski secara fisik hadir di kelas.
Di Indonesia, laporan-laporan lembaga perlindungan
anak dan riset menunjukkan angka kekerasan di lingkungan pendidikan yang
mengkhawatirkan, termasuk kekerasan fisik, verbal, dan seksual. Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) secara berkala mencatat kasus yang masih
terjadi di satuan pendidikan, angka ini menggarisbawahi bahwa ancaman terhadap
rasa aman siswa bukan masalah teoretis melainkan realitas yang memerlukan
respons sistemik. Selain itu, isu bencana dan keselamatan fisik (sekolah aman
bencana) menjadi bagian dari upaya menjamin lingkungan yang benar-benar aman.
Beberapa mekanisme menjelaskan mengapa sekolah tampak
“aman” namun siswa tetap tidak merasa aman: kebijakan yang hanya bersifat
formal tanpa implementasi yang konsisten; kultur sekolah yang menormalisasi
kekerasan (mis. kekerasan “kultural” dalam bentuk inisiasi atau hukuman);
sistem disiplin yang tidak adil (mengeluarkan anak tanpa pendekatan
restoratif); dan kekurangan staf terlatih untuk deteksi dini masalah kesehatan
mental. Kekurangan data persepsi siswa juga membuat tanda bahaya awal mudah
terlewat.
Pendekatan
responsif berbasis bukti. Pertama, Mengukur pengalaman siswa, bukan hanya
indikator struktural. Survei iklim sekolah yang melibatkan murid (anonymously)
menangkap perasaan aman, bullying, dan diskriminasi—data ini harus jadi dasar
intervensi. Studi menunjukkan bahwa memasukkan suara siswa meningkatkan akurasi
penilaian iklim.
Kedua, Penerapan
pendekatan trauma-informed. Sekolah yang adopsi prinsip trauma-informed bekerja
untuk memastikan staf paham dampak trauma, mengurangi praktik yang memicu (mis.
hukuman keras), dan menyediakan dukungan sosial-emosional. Ini membantu
mengubah “seolah aman” menjadi pengalaman aman yang nyata.
Ketiga, Intervensi
pencegahan kekerasan dan anti-bullying berbasis bukti. Program yang melibatkan
seluruh komunitas sekolah, guru, siswa, orang tua menunjukkan penurunan
bullying dan perbaikan iklim. Pencegahan yang efektif menggabungkan pendidikan
sosial-emosional, kebijakan tegas, dan mekanisme pelaporan yang aman.
Keempat, Pelibatan kebijakan dan tata kelola sekolah.
Kepemimpinan sekolah harus menerapkan kebijakan yang adil, mekanisme respons
cepat terhadap laporan, dan pengawasan transparan. Panduan nasional tentang
sekolah aman dan aman bencana dapat menjadi kerangka adaptif di tingkat lokal.
Menciptakan rasa aman adalah tugas kolektif. Guru bisa
menerapkan praktik pengajaran yang suportif dan pengelolaan kelas yang adil;
tenaga konseling dan pekerja sosial penting untuk mendeteksi dan merespons
kasus; sementara pembuat kebijakan harus memastikan regulasi, sumber daya, dan
pelatihan yang memadai. Komunitas orang tua dan siswa harus dilibatkan aktif, rasa
aman tidak bisa diwujudkan oleh sekolah sendiri jika lingkungan sosial di luar
sekolah tetap bermasalah.
Sekolah yang sekadar “tampak” aman namun gagal memberi
pengalaman aman pada siswa menanggung biaya sosial dan pendidikan jangka
panjang. Untuk menjadikan sekolah benar-benar tempat belajar dan berkembang,
perlu langkah nyata: mendengarkan pengalaman siswa, menerapkan pendekatan
trauma-informed, memberantas kekerasan lewat intervensi berbasis bukti, dan
memperkuat tata kelola. Rasa aman harus dirasakan, bukan hanya dipajang di
brosur atau kebijakan, karena ketika siswa merasa aman, mereka benar-benar bisa
belajar, berkreasi, dan tumbuh.
Solusi Islam
Pendidikan Islam bukan sekadar mengajarkan pengetahuan
agama, tetapi juga membentuk akhlak, karakter, dan lingkungan sosial yang aman
dan harmonis. Dalam konteks sekolah, ajaran Islam menyediakan kerangka moral
dan praksis yang dapat menciptakan rasa aman, fisik, emosional, dan sosial, bagi
peserta didik.
Dalam Islam, nilai-nilai seperti kejujuran, saling
menghormati, kepedulian, dan tanggung jawab merupakan bagian dari akhlak mulia
(akhlaqul karīmah). Prinsip-prinsip ini menjadi dasar bagi interaksi di
sekolah, baik antara siswa, guru, maupun orang tua. Menurut Enam Prinsip
Pendidikan Karakter Islami yang dikemukakan oleh komunitas di Universitas
Gadjah Mada, pendidikan karakter Islam sangat menekankan pembentukan akhlak
yang luhur melalui pembiasaan dan teladan.
Lebih jauh, pendidikan akhlak menurut pemikiran Ibnu
Miskawaih mencakup pengendalian diri, pembelajaran berkelanjutan, dan penguatan
nilai batin (an-nafs an-Nāṭiqah). Prinsip ini membantu menciptakan
suasana sekolah di mana siswa dilatih untuk bersikap sabar, empatik, dan adil, semua
aspek penting untuk lingkungan aman dan bereguna.
Salah satu tantangan besar di sekolah adalah bullying
atau perundungan. Di sinilah pendidikan agama Islam (PAI) menjadi sangat
strategis. Menurut laporan dari Kementerian Agama Kabupaten Purbalingga, PAI
yang diimplementasikan secara konsisten mampu membentuk budaya sekolah yang
ramah dan tanpa kekerasan. Nilai-nilai Islam seperti kasih sayang (rahmah),
penghormatan sesama, dan larangan menyakiti orang lain berperan besar dalam
mengurangi perilaku perundungan.
Selain itu, Islam mendorong prinsip pemerataan
pelayanan di sekolah. Laman Nahdlatul Ulama (NU) menjelaskan bahwa setiap
siswa, apapun latar belakang sosial atau agamanya, berhak mendapatkan perhatian
dan layanan yang adil. Hal ini menghindari diskriminasi dan mempromosikan
inklusivitas, sehingga siswa yang rentan tidak merasa terpinggirkan atau
dilecehkan.
Di beberapa madrasah atau sekolah Islam, konsep peace
education telah diterapkan melalui mata pelajaran Aqidah dan Akhlak. Sebuah
studi kualitatif di Madrasah Ibtidaiyah menunjukkan bahwa guru mengaitkan
materi akidah dan etika Islam dengan pengetahuan tentang perdamaian,
keterampilan sosial, dan nilai-nilai bersama. Dengan pembelajaran yang holistik
seperti ini, siswa tidak hanya memahami nilai-nilai perdamaian, tetapi juga
dilatih untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari di sekolah.
Menciptakan lingkungan sekolah yang aman menurut Islam
juga memerlukan manajemen dan kebijakan yang konsisten. Studi dari JIP Muktj
(Jurnal Ilmu Pendidikan Muhammadiyah) menyebutkan bahwa sekolah Islami perlu
menemukan cara agar nilai-nilai keislaman tercermin dalam kebijakan
administrasi, disiplin, dan budaya sekolah secara keseluruhan. Misalnya,
sekolah bisa mengadakan kajian rutin, doa bersama, atau ibadah kolektif yang
memperkuat rasa kebersamaan dan tanggung jawab antar warga sekolah.
Sementara itu, dalam penelitian di Jurnal Pendidikan
Islam Al-Affan, para penulis menekankan pentingnya iman – Islam – ihsan
sebagai nilai dasar sekolah Islami: iman memperkuat keyakinan; Islam memastikan
perilaku sesuai syariah; dan ihsan menghadirkan kualitas terbaik dalam
tindakan. Kehadiran ketiga nilai ini secara nyata dapat menciptakan suasana
saling menghormati, peduli, dan mendukung, yang pada akhirnya mendukung rasa
aman di antara siswa.
Sekolah yang mengintegrasikan nilai-nilai Islam secara
konsisten biasanya menunjukkan beberapa hasil positif:
Pertama, Menurunnya konflik interpersonal. Dengan
penekanan pada akhlak dan nilai sosial, siswa lebih cenderung menyelesaikan
perselisihan secara damai, melalui musyawarah dan empati.
Kedua, Keterlibatan siswa yang lebih tinggi. Lingkungan
yang penuh rasa hormat dan perhatian membuat siswa merasa dihargai dan lebih
berani berpartisipasi dalam diskusi dan kegiatan sekolah.
Ketiga, Pengembangan karakter jangka panjang. Melalui
pendidikan akhlak yang sistematis, siswa menginternalisasi nilai kejujuran, tanggung
jawab, dan kepedulian yang tidak hanya bermanfaat di sekolah, tetapi juga dalam
kehidupan sosial di luar sekolah.
Keempat, Budaya inklusif. Prinsip keadilan dan
persamaan dalam Islam memungkinkan semua siswa, termasuk mereka dengan latar
belakang beragam, merasa diterima dan aman di lingkungan sekolah.
Meski potensi besar, penerapan nilai-nilai Islam untuk
menciptakan lingkungan aman di sekolah tidak selalu mudah. Beberapa tantangan
yang sering muncul adalah kesenjangan antara kebijakan dan praktik, kurangnya
pelatihan bagi guru dalam pendidikan akhlak, dan kurangnya keterlibatan orang
tua dalam mendukung budaya sekolah Islami.
Nilai-nilai Islam seperti akhlak mulia,
keadilan, empati, dan tanggung jawab memberikan fondasi kuat untuk menciptakan
lingkungan sekolah yang aman. Melalui pendidikan akhlak, manajemen sekolah yang
Islami, dan keterlibatan komunitas — sekolah Islami bisa menjadi tempat di mana
siswa merasa dihargai, didengarkan, dan dilindungi. Dengan demikian, Islam
tidak hanya membentuk karakter siswa tetapi juga mempromosikan budaya
perdamaian dan keamanan di dunia pendidikan.
Best Practice: Sekolah Ramah Anak dalam Sejarah
Peradaban Islam
Sejarah peradaban Islam menyimpan praktik-praktik
pendidikan yang relevan dengan konsep sekolah ramah anak—yakni
lingkungan yang aman, inklusif, dan mendukung perkembangan holistik peserta
didik. Beberapa best practice dari tradisi pendidikan Islam yang dapat
dijadikan rujukan modern adalah: pembiayaan publik melalui wakaf, kurikulum
berlapis (agama & umum), serta metode pengajaran yang menempatkan murid
pada pusat proses belajar.
Pertama, mekanisme pembiayaan dengan wakaf (waqf)
memungkinkan akses pendidikan tanpa beban biaya bagi keluarga. Sejak abad
pertengahan, wakaf mendanai madrasah, asrama, dan perpustakaan sehingga
anak-anak dari berbagai kelas sosial bisa belajar secara berkelanjutan, kontribusi
ini mirip jaminan akses universal yang menjadi ciri sekolah ramah anak modern.
Praktik wakaf juga menegaskan komitmen komunitas terhadap kesejahteraan anak
dan pemeliharaan fasilitas pendidikan.
Kedua, lembaga seperti madrasah dan universitas-masjid
(mis. al-Qarawiyyin di Fes) mengembangkan kurikulum bertingkat yang
menggabungkan pembelajaran bacaan Al-Qur’an, akhlak, serta ilmu-ilmu umum.
Pendekatan terpadu ini mendukung perkembangan kognitif sekaligus moral anak, sesuatu
yang esensial untuk iklim sekolah yang aman dan menghormati martabat siswa.
Sekolah pada tradisi ini sering menyediakan pengajar khusus, ruang belajar, dan
perpustakaan sehingga pengalaman belajar menjadi lebih lengkap dan terlindungi.
Ketiga, metode pedagogis menonjolkan pengajaran
berulang, pengajaran tatap muka kecil, dan bimbingan moral yang bersifat
membimbing (mentorship). Metode ini memperhatikan kebutuhan individu murid, membina
akhlak, disiplin, dan rasa tanggung jawab yang kesemuanya mendukung rasa aman
psikososial di lingkungan sekolah. Selain itu, madrasah tradisional sering
menyertakan fasilitas asrama dan aturan komunitas yang menumbuhkan solidaritas
antarsiswa.
Keempat, peran komunitas dan pemimpin lokal kuat dalam
menjaga keselamatan dan kesejahteraan anak. Pendidikan tidak dilihat sekadar
tugas guru, melainkan tanggung jawab kolektif, keluarga, wakaf, ulama, dan
otoritas kota, sehingga ada jaringan perlindungan sosial yang memperkecil
risiko kekerasan atau pengabaian. Model ini selaras dengan prinsip sekolah
ramah anak yang menuntut keterlibatan multi-level.
Kesimpulannya, tradisi pendidikan Islam menawarkan
warisan praktik yang relevan bagi upaya membangun sekolah ramah anak masa kini:
pembiayaan inklusif (wakaf), kurikulum terpadu, pedagogi personal, dan
keterlibatan komunitas. Mengadaptasi prinsip-prinsip tersebut dengan penyesuaian
terhadap konteks kontemporer dapat memperkuat keamanan, aksesibilitas, dan
kualitas pengalaman belajar anak-anak.
REFERENSI
Ahmad Hasan Zalali & Saifuddin, Implementasi Peace
Education pada pembelajaran Aqidah Akhlak. Ebtida': Jurnal Pendidikan Dasar
Islam.
CDC, About School Violence (Centers for Disease Control
and Prevention).
JIP Muktj, Manajemen Sekolah Islami dan nilai
keislaman.
Jurnal Pendidikan Islam Al-Affan, Peran iman, Islam,
dan ihsan di sekolah Islami.
Kementerian Agama Kabupaten Purbalingga, Pendidikan
Agama Islam dan sekolah ramah tanpa bullying.
Laporan dan publikasi KPAI terkait kekerasan di satuan
pendidikan (Indonesia).
LDK Jama’ah Shalahuddin UGM, Enam Prinsip Pendidikan
Karakter Islami.
Meta-analisis dan studi tentang school climate &
academic achievement; bullying dan efeknya terhadap prestasi. (Erdem 2024;
Ozyildirim 2024; Samara et al. 2021).
Mukhlas & Muhamad Akip, Nilai Akhlak dalam
Pendidikan Islam perspektif Ibnu Miskawaih. Jurnal TA'LIM.
Panduan nasional (Kemendikbud / Sekolah Aman Bencana).
PEMA Journal, Akhlak Islami dan interaksi sosial di
sekolah.
UNESCO, Promoting safe and equitable learning
environments / Safe to learn and thrive (UNESCO).
WHO, School-based violence prevention (panduan/raport
WHO).
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1179/17/11/25 : 05.04
WIB)

