PERUSAK LINGKUNGAN SEBAGAI MANUSIA TERKUTUK


Oleh : Ahmad Sastra

 

Dalam perspektif Islam, alam bukan sekadar latar hidup manusia; ia adalah tanda kebesaran Sang Pencipta (āyāt), amanah yang harus dipelihara, dan ruang kehidupan yang hakiki bagi seluruh makhluk.

 

Ketika manusia merusak lingkungan secara sistemik mencemari udara, membabat hutan, memperkosa lahan, dan menimbun sampah berbahaya, tindakan itu tidak hanya merugikan generasi kini dan mendatang secara material, tetapi juga menempati posisi moral dan hukum yang serius dalam tradisi Islam.

 

Al-Qur’an secara tegas melarang “membuat kerusakan di muka bumi” setelah ia diatur dan diperbaiki, sebuah peringatan yang menempatkan perusakan lingkungan sebagai dosa sosial yang berat.

 

Landasan Teologis dan Etis

 

Beberapa ayat Qur’ān menegaskan kedudukan manusia sebagai khalīfah (wakil) yang diberi tanggung jawab menjaga keseimbangan ciptaan. Tugas khalīfah bukanlah eksploitasi tanpa batas, melainkan pemeliharaan yang berlandaskan keadilan (ʿadl) dan kemaslahatan (maslahah).

 

Ayat-ayat yang memperingatkan terhadap “fasād” (kerusakan/korupsi) di bumi mengaitkan perilaku manusia dengan konsekuensi moral dan kosmik: kerusakan lingkungan dipandang sebagai pelanggaran terhadap tatanan yang diberi Allah kepada manusia untuk dijaga.

 

Dalam tradisi hadis, Nabi Muhammad memuliakan perbuatan yang menjaga atau menambah manfaat ekologis. Hadis yang sahih menyatakan bahwa barang siapa menanam pohon lalu dimakan manusia, hewan, atau burung dari hasilnya, maka itu dianggap sedekah baginya, sebuah penegasan bahwa tindakan ekologis positif bernilai ibadah dan kebaikan sosial.

 

Sebaliknya, menimbulkan bahaya dan kerusakan kepada lingkungan adalah bertentangan dengan prinsip tidak saling menyakiti: “lā ḍarar wa lā ḍirār” (tidak boleh memberi atau membalas kemudaratan). Prinsip ini menjadi basis fiqh untuk melarang tindakan yang mengancam kesehatan, kesejahteraan, dan kelangsungan hidup masyarakat.

 

Secara normatif, perusakan lingkungan dapat dikategorikan dalam beberapa pelanggaran hukum Islam: Pertama, Zulm (kedzaliman) kepada makhluk lain. Eksploitasi yang mengakibatkan penderitaan hewan, hilangnya tempat hidup masyarakat tradisional, atau pencemaran sumber air adalah bentuk kedzaliman karena merampas hak-hak ekologis makhluk lain dan membahayakan manusia. Prinsip Islam mengutuk segala bentuk ketidakadilan, termasuk yang dilakukan terhadap alam.

 

Kedua, Mafsadah (kerusakan publik). Merusak fasilitas alam yang dipakai bersama, seperti sungai, udara, dan tanah subur, menghadirkan mafsadah yang luas dan berpotensi memicu kerusuhan sosial. Islam memerintahkan pencegahan mafsadah dan pemulihan kemaslahatan publik.

 

Ketiga, Pelanggaran terhadap prinsip tidak membahayakan. Pembuangan limbah beracun, penebangan hutan untuk kepentingan sempit, dan aktivitas industri yang mengabaikan hak hidup generasi mendatang melanggar kaidah “tidak boleh memberi atau membalas kemudaratan” dan masuk ranah yang dapat diproses secara hukum (muʿāmalah/ qawānīn lingkungan).

 

Dengan kata lain, pelaku perusakan lingkungan bukan hanya “orang yang lalai”; mereka berhadapan dengan kerangka etik dan hukum yang, dalam banyak interpretasi, menyebut perilaku tersebut sebagai perbuatan tercela, bahkan “terkutuk” secara moral karena menghianati amanah Ilahi dan merampas hak hidup makhluk lain.

 

Dalam beberapa dekade terakhir, pakar-pakar Islam kontemporer menegaskan bahwa sumber-sumber tradisional (Qur’ān, Sunnah, dan prinsip-prinsip ushul fiqh) menyediakan landasan kuat untuk perlindungan lingkungan.

 

Para sarjana seperti Mawil Izzi Dien secara sistematis menguraikan dimensi-dimensi lingkungan dalam Islam, teologis, etis, yuridis, dan ekonomi, menunjukkan bahwa Islam bukan hanya kompatibel dengan konservasi, tetapi memiliki doktrin yang relevan untuk menghadapi krisis ekologis modern.

 

Di ranah aksi, deklarasi-deklarasi seperti Islamic Declaration on Global Climate Change menunjukkan bagaimana ulama dan organisasi Islam mengartikulasikan tanggung jawab kolektif terhadap perubahan iklim dan degradasi lingkungan. Upaya-upaya ini menerjemahkan nilai-nilai agama menjadi tuntutan kebijakan dan advokasi publik.

 

Melabeli perusak lingkungan sebagai “terkutuk” atau “pelanggar hukum Islam” bukan sekadar retorika moral; hal itu memiliki implikasi praktis : Pertama, Pendidikan agama harus mengintegrasikan etika lingkungan sebagai bagian dari pengajaran akidah dan akhlak sehingga pemahaman amanah dan larangan kerusakan menjadi bagian dari tatakelakuan beragama sehari-hari.

 

Kedua, Hukum dan regulasi. Prinsip-prinsip fiqh yang melarang mafsadah dapat dijadikan dasar teoretis bagi perumusan undang-undang lingkungan yang lebih tegas, termasuk sanksi atas pencemaran dan perusakan sumber daya alam.

 

Ketiga, Kewajiban sosial dan korporat. Perusahaan dan pemimpin harus bertanggung jawab secara moral dan hukum atas dampak ekologisnya; masyarakat sipil dan lembaga keagamaan dapat memainkan peran pengawas dan advokatif.

 

Keempat, Ritual dan praktik komunitas. Menghidupkan amalan ramah lingkungan, seperti penghijauan masjid, manajemen sampah berbasis komunitas, dan praktik konsumsi sederhana, merupakan terjemahan normatif dari nilai Islam ke ranah praktis.

Kesimpulan

 

Perusakan lingkungan, dalam kerangka Islam, bukanlah persoalan sekadar administrasi atau ekonomi; ia menyentuh wilayah etika, hukum, dan spiritualitas. Menurut wahyu dan sunnah, manusia diberi amanah untuk memelihara bumi; mereka yang secara sengaja dan sistemik mengkhianati amanah itu bukan hanya merugikan manusia lain dan makhluk hidup, tetapi juga menempatkan dirinya pada posisi moral dan hukum yang tercela.

 

Menegakkan kembali keharmonisan ekologis membutuhkan kombinasi wahyu, ijtihad kontemporer, kebijakan publik, dan transformasi praktik sosial. Dengan begitu, pelabelan moral dan hukuman hukum terhadap pelaku kerusakan lingkungan bukanlah kriminalisasi agama semata, melainkan upaya mempertahankan martabat ciptaan dan hak hidup generasi kini dan yang akan datang.

 

REFERENSI

 

Al-Qur’an. Surah Al-A’rāf (7:56). (n.d.).

al-Bukhari, M.I. (n.d.). Sahih al-Bukhari, Hadis tentang menanam pohon (lihat: sunnah.com). Diakses dari https://sunnah.com/bukhari:2320. Ibn Majah. Hadis tentang “lā ḍarar wa lā ḍirār” (lihat: sunnah.com search). Diakses dari

Izzi Dien, M. (2000). The Environmental Dimensions of Islam. (dokumen ringkasan/akses: IFEES). Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences. (2008). Islamic Declaration on Global Climate Change.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1197/03/12/25 : 14.12 WIB) 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad