MEMBINCANGKAN FILSAFAT
Selasa, Februari 04, 2020
0
Oleh : Ahmad Sastra
Mendengar istilah filsafat beragam respons yang biasa muncul pada setiap orang. Penggunaan istilah filsafat memang biasanya hanya beredar di lingkungan perguruan tinggi, sedangkan di masyarakat umum yang beredar adalah substansinya. Tentu postulat ini tidak selalu benar. Yang terbayang pertama ketika mendengar istilah filsafat adalah sesuatu yang sulit, rumit dan membingungkan. Namun demikian, istilah ini selalu menyita orang untuk penasaran mengenal lebih jauh.
Bagi yang telah kenal dan mencoba mendalami, responsnya terbelah menjadi dua, pertama bahwa filsafat dianggap ilmu yang sesat dan menyesatkan bahkan membahayakan pemikiran seseorang yang menggunakannya. Mereka lantas mengharamkan dan menjauhinya. Kedua, filsafat justru dianggap sebagai sumbernya segala ilmu yang darinya bisa memahami hakekat setiap realitas. Sehingga segala realitas selalu dipandang mula-mula berdasarkan kajian filosofisnya sebelum hal lainnya.
Keragaman pandangan dan respons terhadap istilah filsafat ini secara historis bisa ditemukan jejaknya. Sebelum Socrates ada sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai sophist (kaum sofis) yang berarti cerdik pandai (cendekiawan). Mereka menjadikan persepsi manusia sebagai ukuran realitas dan menggunakan hujah-hujah yang keliru dalam kesimpulan mereka.
Sehingga kata sofis mengalami reduksi makna yaitu berpikir yang menyesatkan. Socrates karena kerendahan hati dan menghindarkan diri dari pengidentifikasian dengan kaum sofis, melarang dirinya disebut dengan seorang sofis (cendekiawan). Oleh karena itu istilah filosof tidak dipakai orang sebelum Socrates (Muthahhari, 2002). Bagaimana dengan pandangan Anda ?
Dalam kamus filsafat, filsafat dimaknai dengan beberapa postulat berikut: 1) Upaya spekulatif untuk menampilkan pandangan yang sistematis dan komplit tentang seluruh realitas. 2) Upaya untuk mendeskripsikan hakekat realitas yang ultima dan sejati. 3) Upaya untuk menentukan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan kita: sumber, sifat, keabsahan dan nilainya. 4) Penyelidikan kritis atas praduga-praduga dan kalim-klaim yang dibuat oleh berbagai bidang pengetahuan.
5) Disiplin yang berusaha untuk membantu anda terhadap apa yang anda katakan dan mengatakan apa yang anda lihat. Dengan demikian dapat disimpulkan untuk sementara bahwa filsafat adalah kajian mendalam tentang kebenaran realitas dan postulat berdasarkan ukuran akal manusia. Dengan kata lain penggalian kebenaran realitas menurut keterbatasan potensi akal.
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan shopia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis,inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Plato menyebut Socrates sebagai philosophos (filosof) dalam pengertian pencinta kebijaksanaan.
Al Khuwarizmi (w. 387 H/996 M) menerangkan kata “filsafat” bahwa kata tersebut diambil dari bahasa Yunani yaitu philasophia yang berarti cinta kepada hikmah (wisdom). Ketika kata tersebut diarabkan, ia disebut dengan kata faylusuf atau filosuf sehingga dari sanalah kata filsafat diambil. Dengan demikian kata falsafah merupakan arabisasi yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya.
Al Syahrastani (w. 548 H/1153 M) menjelaskan bahka kata filsafat berasal dari bahasa Yunani yang memiliki makna mahabbah al hikmah (cinta kebijaksanaan), adapun kata faylasuf berasal dari kata filasufa. Fila berarti al muhibb (orang yang mencintai) atau bisa dikatakan muhibb al hikmah (orang yang mencintai kebijaksanaan). Plato (427–348 SM) menyatakan filsafat ialah pengetahuan yang bersifat untuk mencapai kebenaran yang asli.
Sedangkan Aristoteles (382–322 SM) mendefenisikan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan filosof lainnya Cicero (106–043 SM) menyatakan filsafat ialah ibu dari semua ilmu. Descartes (1596–1650), filsafat ialah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikannya. Sedangkan Immanuel Kant (1724–1804) berpendapat filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal segala pengetahuan.
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoretis dan filsafat praktis. Filsafat teoretis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan metafisika.
Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik. Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang dilakukan adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti prinsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak.
Menurut kajian filosofis ada beberapa pertanyaan dan jawaban yang menjadi bagian dari ilmu filsafat. Apakah yang dapat kita ketahui? Jawabannya termasuk dalam bidang metafisika. Apakah yang seharusnya kita kerjakan? Jawabannya termasuk dalam bidang etika. Sampai di manakah harapan kita? Jawabannya termasuk pada bidang agama. Apakah yang dinamakan manusia itu? Jawabannya termasuk pada bidang antropologi.
Dengan demikian filsafat akan terus berubah hingga satu titik tertentu (Takwin, 2001). Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah masalah falsafi pula. Menurut para ahli logika ketika seseorang menanyakan pengertian (defenisi/hakikat) sesuatu, sesungguhnya ia sedang bertanya tentang macam-macam perkara. Tetapi paling tidak bisa dikatakan bahwa “falsafah” itu kira-kira merupakan studi yang didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk ini, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan akhirnya dari proses-proses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah dialektika. Dialektika ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada dialog.
Setidaknya ada tiga karakteristik berpikir filsafat yakni: 1) Sifat menyeluruh: seseorang ilmuwan tidak akan pernah puas jika hanya mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin tahu hakikat ilmu dari sudut pandang lain, kaitannya dengan moralitas, serta ingin yakin apakah ilmu ini akan membawa kebahagian dirinya. Hal ini akan membuat ilmuwan tidak merasa sombong dan paling hebat. Di atas langit masih ada langit. contoh: Socrates menyatakan dia tidak tahu apa-apa.
2). Sifat mendasar: yaitu sifat yang tidak saja begitu percaya bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah pertanyaan yang melingkar yang harus dimulai dengan menentukan titik yang benar.
3) Spekulatif: dalam menyusun sebuah lingkaran dan menentukan titik awal sebuah lingkaran yang sekaligus menjadi titik akhirnya dibutuhkan sebuah sifat spekulatif baik sisi proses, analisis maupun pembuktiannya. Sehingga dapat dipisahkan mana yang logis atau tidak.
Filsafat menurut Jujun S Suriasumantri merupakan cara berfikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berfikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Tak satu hal yang bagaimanapun kecilnya yang luput dari pemikiran filsafat. Tak ada suatu pernyataan (postulat) yang bagaiamanapun sederhananya yang diterima begitu saja tanpa pengkajian yang seksama.
Filsafat menanyakan segala sesuatu dari kegiatan berfikir dari awal hingga akhir. Tugas filsafat bagi Socrates (470-399 SM) adalah bukanlah menjawab pertanyaan, namun mempersoalkan jawaban yang diberikan. Kemajuan berfilsafat bukan terletak pada jawaban yang diajukan semata-mata, namun juga dari pertanyaan yang diajukan.
Sir Isacc Newton, seorang ilmuwan yang sangat terkenal, President of the Royal Society memiliki ketiga karakteristik ini. Ada banyak penyempurnaan penemuan-penemuan ilmuwan sebelumnya yang dilakukannya. Dalam pencariannya akan ilmu, Newton tidak hanya percaya pada kebenaran yang sudah ada (ilmu pada saat itu). Ia menggugat (meneliti ulang) hasil penelitian terdahulu seperti logika aristotelian tentang gerak dan kosmologi, atau logika cartesian tentang materi gerak, cahaya, dan struktur kosmos. “Saya tidak mendefinisikan ruang, tempat, waktu dan gerak sebagaimana yang diketahui banyak orang” ujar Newton. Bagi Newton tak ada keparipurnaan, yang ada hanya pencarian yang dinamis, selalu mungkin berubah dan tak pernah selesai. “ku tekuni sebuah subjek secara terus menerus dan ku tunggu sampai cahaya fajar pertama datang perlahan, sedikit demi sedikit sampai betul-betul terang”.
Sir Isaac Newton dalam bukunya Principia, atau The Mathematical Principles of Natural Philosophi terbitan tahun 1687 menulis : waktu bersifat obyektif, sejenis, sinambung dan tidak terhingga, Namun bermatra satu dan berarah satu. Ruang mempunyai tiga matra, yaitu atas- bawah, depan-belakang, kiri-kanan. Sedangkan waktu hanya bermatra depan belakang. Di dalam ruang kita dapat pergi ke setiap arah; di dalam waktu kita hanya dapat pergi ke depan. Waktu yang mutlak, yang sebenarnya, dan yang bersifat matematis, dari dirinya sendiri dan berdasarkan atas hakekatnya sendiri, mengalir secara tetap tanpa dipengaruhi oleh hal-hal yang terdapat diluar dirinya. Dengan nama lain disebut lama-berlaku (duration). Sedangkan waktu yang nisbi, yang semu dan yang lazim, merupakan semacam ukuran yang dapat diindera serta berasal dari luar dirinya yang menyangkut lama berlaku dengan menggunakan gerakan yang biasanya dipakai untuk menggantikan waktu sebenarnya. Semua gerakan dapat dipercepat atau diperlambat, tetapi kemajuan yang sebenarnya atau yang tetap dari waktu tidak terkena oleh perubahan apapun. Lama berlaku atau ketetapan beradanya barang-barang tetap sama, tanpa memperhatikan apakah gerakannya cepat atau lambat, atau tidak ada gerakan sama sekali. Berkenaan dengan ini perlu dibedakan dari apa yag sesungguhnya hanya merupakan alat pengukur yang dapat diindera dari waktu tersebut. Ruang mutlak, pada dirinya sendiri, tanpa memperhatikan hal-hal yang terdapat di luar dirinya senantiasa tetap sama dan tidak bergerak. Ruang nisbi merupakan suatu matra yang dapat bergerak atau merupakan alat pengukur dari ruang mutlak, yang ditetapkan oleh alat inderawi kita berdasarkan atas kedudukannya terhadap benda-benda, dan yang biasanya secara bersahaja dinamakan ruang yang tidak bergerak. Tetapi dalam pembahasan secara kefilsafatan, kita harus meningkatkan apa yang kita cerap secara inderawi menjadi pengertian-pengertian yang abstrak, dan meninjau bagian batiniah dari obyeknya, seraya memilahnya dari apa yang sekedar merupakan alat pengukurnya yang dapat dicerap secara inderawi. Seperti halnya bagian-bagian dari waktu yang bersifat tidak bergerak, begitu pula tatanan bagian-bagian dari ruang. Karena ruang dan waktu sesungguhnya merupakan tempat-tempat bagi dirinya sendiri, maupun bagi hal-hal yang lain. Semua benda terdapat dalam waktu ditinjau dari segi tata urutannya, dan terdapat dalam ruang ditinjau dari segi letaknya. Berdasarkan atas hakekatnya sendirilah ruang dan waktu merupakan tempat-tempat utama yang didalamnya barang-barang dapat bergerak atau digerakkan. Berhubung dengan itu, terdapat juga tempat-tempat mutlak. Dan cara pengungkapan yang lain dari tempat-tempat semacam ini hanya dapat berupa gerakan-gerakan mutlak.
Filsafat, terutama filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filosof ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir Barat Turki. Tetapi filosof-filosof Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat.
(AhmadSastra,2020)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags