BENCANA EKOLOGI DAN KRISIS SPIRITUAL - Ahmad Sastra.com

Breaking

Rabu, 11 Maret 2020

BENCANA EKOLOGI DAN KRISIS SPIRITUAL



Oleh : Ahmad Sastra

Berbagai bencana ekologis tidak bisa dipisahkan dari peran manusia di dalamnya. Sebab manusia dan lingkungan adalah dua aspek yang saling berhubungan dan saling kebergantungan satu dengan yang lain (interdependensi). Fenomena bencana ekologis yang nampaknya belum kunjung usai, bahkan semakin parah menimpa berbagai belahan dunia, membuktikan tengah terjadi interdependensi destruktif antara manusia dan lingkungan hidupnya. Telah terjadi kesalahan paradigma manusia dalam memandang lingkungan akibat lemahnya kesadaran spiritual.

Ilmu tanpa agama adalah kebutaan dan agama tanpa ilmu adalah kelumpuhan. Mungkin istilah ini tepat untuk menakar kondisi bencana ekologis yang terus terjadi di belahan dunia, khususnya Indonesia. Sebab fakta berbagai kasus kebakaran hutan adalah akibat kesengajaan manusia membakar hutan sebagai cara instan sebelum lahan hutan ditanami lagi. Namun akibatnya sungguh merugikan kehidupan habitat hewani dan manusia itu sendiri. Asap yang menyebar ke pemukiman penduduk telah mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan.

Organisasi pegiat kelestarian lingkungan hidup, Green Peace Indonesia adanya penyabaian perusahaan terhadap peringatan pemerintah sehingga tanpa merasa bersalah tetap membakar hutan dan lahan. Sementara pemerintah juga dinilai kurang memiliki ketegasan hukum dan sanksi bagi pelanggar ekologis ini. Padahal berdasarkan analisa peta kepo Hutan Green Peace lahan yang dibakar dari tahun ke tahun adalah hutan yang cenderung sama.

Akibat pembakaran hutan sawit di Riau misalnya, telah mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Selain berdampak kepada munculnya berbagai penyakit pernafasan yang dialami masyarakat Bengkalis, asap hasil pembakaran hutan sawit juga telah berdampak pada terganggunya berbagai penerbangan. Tercatat sampai Sabtu 27 Agustus, warga Bengkalis dalam sehari ada 96 orang yang mengalami infeksi saluran pernafasan. Bahkan jumlah ini cenderung mengalami peningkatan dari hari ke hari berdasarkan laporan Unit Pelaksana Teknis Pusat Penanggulangan Krisis Dinkes Riau.

Selain kontrol masyarakat, sistem hukum yang tegas, satu hal yang tidak kalah penting adalah perubahan paradigma para pengusaha perkebunan dalam memandang lingkungan tempat mereka hidup. Pandangan pragmatis ekonomis terhadap lingkungan akan menghasilkan perilaku menyimpang dalam mengelola lingkungan. Sebab paradigma pragmatis hanya memandang lingkungan secara sekuleristik dengan mengabaikan keberadaan Tuhan. Padahal Allah menciptakan alam semesta adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri dengan cara melakukan pengelolaan yang beradab.

Istilah ekologi yang pertama diperkenalkan oleh Ernest Haeckel pada tahun 1866 memang lebih dikenal masyarakat hingga kini dibanding istilah lain. Padalah sebelumnya studi tentang interaksi antara organism, tumbuhan dan hewan, dengan lingkungannya ini telah lebih awal diperkenalkan oleh Geoffroy St. Hilaire dengan istilah ethology pada tahun 1895. Bahkan pasca Ernest Haeckel, yakni pada tahun 1894, ilmu tentang interaksi organisme dengan lingkungan ini juga telah diperkenalkan oleh St George Jackson Milvart dengan istilah hexicology.

Ekologi sendiri adalah istilah yang berakar dari bahasa Yunani oikos artinya rumah atau tempat hidup dan logos yang berarti ilmu. Dengan bahasa sederhana, ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi diantara makhluk-makhluk di rumahnya, di tempat tinggalnya dan di alamnya atau di tempat hidupnya. Dalam paradigma ekologis, maka makhluk hidup dan lingkungan hidupnya adalah sebagai satu kesatuan yang sistem.

Jika satu fungsi dari fungsi sistemik terganggu, maka akan mengakibatkan gangguan fungsi yang lain. Kasus karhutla adalah terganggunya fungsi lingkungan yang mengakibatkan gangguan pada kehidupan manusia di sekitarnya.

Ada aspek mendasar yang sering dilupakan oleh manusia adalah keberadaan Allah sebagai Sang Pencipta manusia dan alam semesta. Bahkan terkait dengan penciptaan alam semesta, Plato sebagai seorang filosof alam jauh hari telah mengungkapkan bahwa terdapat tujuan spiritual dibalik penciptaan alam semesta. Artinya manusia harus merenungkan pesan-pesan spiritual dibalik penciptaan alam semesta. Sebab mengabaikan pesan nilai spiritual akan membawa manusia kepada perilaku yang tidak beradab dalam memandang dan memperlakukan lingkungan hidupnya.

Dalam pandangan Islam bahkan Allah dengan tegas mengingatkan manusia untuk selalu merenungkan penciptaan alam semesta ini. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. (QS Ali Imran : 190-191).

Pesan Allah ini memberikan makna yang sangat mendalam terkait dengan paradigma yang harus dibangun oleh manusia terkait dengan lingkungan hidupnya. Paradigma ekologi dalam Islam bahkan dikaitkan dengan keselamatan kehidupan akherat. Artinya Allah melarang dengan keras upaya pengrusakan lingkungan setelah diperbaiki oleh Allah sebagai Pencipta. Ulil Albaab dalam ayat itu dimaksudkan mereka yang selalu memikirkan bagaimana mengelola lingkungan dengan berpijak kepada nilai-nilai ilahiah.

Pandangan sekuleristik yang mengabaikan nilai-nilai ilahiah terbukti telah menjadikan lingkungan hidup ini rusak. Kerusakan yang terjadi akibat ulah manusia yang tak beradab akan berakibat kepada kematian makhluk hidup sekaligus siksa yang pedih di akherat dari Allah kepada para perusak lingkungan. Kesadaran spiritual ini sangat menentukan perilaku manusia dalam mengelola lingkungannya.

Bahkan oleh Allah fenomena bencana ekologis ini dengan tegas disebutkan sebagai akibat perilaku manusia dengan pesan yang jelas pula agar manusia terikat dengan tuntunan Allah dalam mengelola lingkungan hidupnya. Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)(QS Ar Ruum : 41).

Para mufassir memaknai kerusakan atau fasad bermacam-macam arti. Diantaranya , segala sesuatu yang tidak tergategori sebagai kebaikan, kekurangan hujan dan sedikitnya tanaman, kelaparan dan banyaknya kemudaratan yang terjadi. Hal ini diakibatkan oleh ulah dan perbuatan manusia yang melanggar hukum dan aturan yang telah Allah tetapkan. Berbagai pelanggaran dan penyimpangan manusia dari hukum Allah dinamakan kemaksiatan.

Allah sendiri tidak pernah menzalimi manusia, bahkan justru senantiasa memberikan nikmat kepada manusia. Adapun manusia kebanyakan tidak bersyukur dan bahkan berbuat kesalahan dan kemaksiatan. Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi. (QS An Nisaa : 79).

Dengan demikian berbagai kerusakan di muka bumi tidaklah terjadi tanpa sebab. Semua ini disebabkan oleh cara berfikir, bertindak, bersikap dalam mengelola kehidupan ini yang tidak sesuai dengan ketetapan hukum Allah bima kasabat aidinnnas. Padahal Allah-lah yang telah menciptakan manusia dan alam semesta ini. Berbagai kerusakan dan musibah yang disebabkan oleh pengingkaran terhadap hukum Allah ini telah menimbulkan kondisi kehidupan yang tidak menyenangkan, kehidupan yang terasa sempit, kehidupan yang menakutkan karena ketidakamanan dan kehidupan yang serba mengkhawatirkan.

Dengan demikian ekologi dalam Islam bukan hanya terkait hubungan dan interaksi organisme dalam hal ini manusia dengan alam lingkungan hidupnya saja, namun keduanya juga harus dikaitkan dengan spiritualitas, yakni hubungan manusia dengan Allah sebagai pencipta manusia dan alam semesta. Ulil Albaab adalah prototype pengelola alam lingkungan yang senantiasa mengkaitkan dengan nilai-nilai spiritual dalam mengelola lingkungan hidup.

Kembali kepada spiritulitas berarti kembali ke jalan yang lurus dalam mengelola lingkungan. Spiritualitas adalah bentuk kesadaran akan ketundukan total kepada Allah dalam mengelola lingkungan hidup. Spiritualitas adalah refleksi keimanan dan ketaqwaan dalam memandang dan mengelola lingkungan hidup. Ilmu tanpa spiritualitas akan melahirkan perilaku yang tidak beradab.

Saatnya kembali kepada spiritualitas dalam mengelola bumi beserta isinya sebagai refleksi kesyukuran seorang hamba kepada Tuhannya. Sebab Allah telah menjamin keberkahan dalam spiritualitas hambaNya. Ekologi yang dibalut spiritualitas akan menghasilkan keberkahan. Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Qs Al A’raf : 96).

(AhmadSastra,KotaHujan,11/03/20 : 01.30 WIB)

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

1 komentar:

  1. Saya setuju dengan tulisan bapak ini, banyak manusia sekarang mulai lupa terhadap keberadaan Allah dan mementingkan kehidupan duniawinnya, padahal Allah lah yang memberikan mereka hidup, Allah pun yang akan memberikan mereka ganjaran bagi hambaNya yang jauh dariNya

    BalasHapus

Categories