DEMOKRASI : DARI PENJILAT KEKUASAAN, GARONG UANG RAKYAT HINGGA PENISTA AGAMA



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Demokrasi adalah ideologi berpaham antroposentrisme dan antropomorpisme yang bertentangan secara diametral dengan Islam. Sebab kedaulatan hukum dalam Islam ada di tangan Allah yang tercantum dalam Al Qur’an dan Al Hadist, sementara kekuasaan di tangan seorang khalifah yang wajib hukumnya menerapkan syariah secara kaffah. Sementara demokrasi menjadikan manusia sebagai otoritas kedaulatan hukum dengan menjadikan manusia sebagai sumber hukum untuk mengatur sesama manusia.

 

Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS Yusuf : 40). Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (QS Al An’am : 116)

 

Islam berasal dari Allah, sementara demokrasi berasal dari filsafat Yunani lalu dikembangkan di dunia Barat. Oleh karena itu demokrasi berpaham sekuler liberal yang melahirkan sistem ekonomi kapitalisme. Sementara Islam adalah berbasis tauhid yang mewujud dalam semua aspek kehidupan. Demokrasi melahirkan peradaban sekuler lliberal yang anti agama, sementara Islam melahirkan peradaban mulia yang mengintegrasikan antara sains dan agama.

 

Antroposentrisme dan antropomorpisme menjadikan demokrasi menjadikan manusia sebagai otoritas pembuat hukum dan perundang-undangan dan membuang kitab suci sebagai sumber konstitusi. Demokrasi adalah semacam ‘bid’ah politik’ yang menjadikan akal dan nafsu serta kepentingan manusia sumber kebenaran. Karena itu secara genealogis dan genetic, demokrasi itu anti agama (baca : Islam).

 

Karena itu tidaklah mengherankan jika para pemuja demokrasi menjadikan hawa nafsu dan kepentingan pragmatisnya sebagai acuan. Tidak mengherankan pula jika di alam demokrasi justru makin subur para penjilat kekuasaan, penista agama dan berbagai bentuk perilaku amoralitas. Islam akan menjadi sasaran serangan oleh demokrasi melalui mulut para pemujanya.

 

Islam dituduh sebagai agama radikal yang menjadi sumber terorisme justru dilontarkan oleh Amerika yang mengaku sebagai negara paling demokratis. Narasi radikalisme lantas diikuti negeri-negeri muslim bermental bebek yang menjadi antek dan budak amerika. Karena anti Islam, maka berbagai tuduhan keji terus dilontarkan oleh manusia-manusia busuk hati dan otaknya kepada Islam dan kaum muslimin. Hal ini mestinya menyadarkan umat Islam akan kebusukan ideologi sampah demokrasi ini.

 

Demokrasi secara ideologis tidak mengakui Tuhan pencipta alam semesta dan juga mengingkari segala aturanNya. Sebaliknya, demokrasi sesungguhnya telah menempatkan hawa nafsu sebagai tuhannya.  Allah telah mengingatkan akan adanya orang yang menyembah hawa nafsunya.

 

Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?,atau Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu). (Al Furqon : 43-44)

 

Menjadikan manusia sebagai sumber kebenaran hukum bertentangan dengan firman Allah : Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS Al Maidah : 48)

 

Secara istilah, demokrasi itu multi-interpretatif. Tak ada otoritas yang berhak mengkalim kebenaran atas tafsir demokrasi. Secara historis, subyektifisme interpretasi atas demokrasi telah dimulai sejak zaman Yunani Romawi kuno (500 SM – 476 M), kemudian zaman abad pertengahan dari (476 M – 1500 M) dan zaman modern (1500 M – sekarang). 

 

Di setiap  masa, demokrasi  dirumuskan secara faktual, sesuai situasi kondisi yang ada pada zamannya masing-masing. Pada zaman modern istilah demokrasi dirumuskan oleh Abraham Lincoln, yang didorong oleh fakta  paham kebebasan di Amerika Serikat yang mempengaruhi Revolusi Perancis dan dirumuskan sebagai egalite (persamaan), fraternite (persaudaraan) dan liberte (kemerdekaan).

 

Karena tidak ada otoritas, maka setiap penguasa negara berhak mengklaim berdemokrasi. Para penguasa lantas memaknai demokrasi sesuai dengan kepentingan dan interpretasi sendiri-sendiri, seperti  demokrasi liberal, demokrasi rakyat, demokrasi proletar, demokrasi komunis, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, dan demokrasi parlementer.

 

Fakta politik justru membuktikan bahwa demokrasi selalu menentang penerapan Islam. Meskipun meyakini akan jargon kebebasan berpendapat, namun perlu diingat bahwa demokrasi adalah ideologi Barat yang sejak awal justru anti agama. Karena itu jika ada terminologi ‘demokrasi Islam’ adalah sebuah kesesatan berfikir atau logical fallacy.

 

Abraham Lincoln (1809-1865), mendefinisikan demokrasi  secara sekuleristik,  yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Jargon terkenal atas makna demokrasi ala Lincoln menunjukkan bahwa demokrasi adalah ideologi anti etika agama. Demokrasi membawa gen antroposentrisme sekuler yang meniadakan hukum agama dalam ruang publik. 

 

Secara etimologis,”demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan cratein atau cratos yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi, demokrasi adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya, berada ditangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.

 

Secara terminologi, menurut Joseph A. Sehmeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Definisi ini menunjukkan tidak ada tempat bagi hukum Allah dalam demokrasi.

 

Demokrasi selalu membangun ilusi indah bagi rakyat, padahal sebenarnya tidak lebih dari imperialisme bagi negeri-negeri muslim. Demokrasi suatu bentuk kehidupan bersama dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Demokrasi memerlukan visi dan kode etik secara formal dalam hukum yang bersifat objektif dan mandiri. Suatu sistem pemerintahan yang dari, oleh, untuk rakyat.

 

Struktur sosial, politik, dan ekonomi yang menjauhi monopoli dan memungkinkan terjadinya  mobilitas yang tinggi dan kesempatan yang adil bagi semua warga. Adanya kebebasan berpendapat sebagai mekanisme agar ide-ide warga masyarakat dapat diserap oleh pemerintah. Adanya kebebasan untuk menentukan pilihan pribadi. Namun faktanya, Islam justru seringkali menjadi halangan bagi hegemoni demokrasi.

    

Demokrasi ternyata gagal menghasilkan pemimpin-pemimpin yang jujur, bersih, dan tahu malu”. Demikian kutipan dari editorial sebuah media harian nasional ( MI, 20/1/2011). Ini adalah sebuah ungkapan jujur tentang demokrasi. Sekalipun bukan hal baru, ungkapan tersebut mengingatkan kembali umat Islam tentang hakikat dan fakta dari sistem demokrasi yang diadopsi oleh negeri ini.  

 

Hanya ilusi, mengharapkan keadilan dan kesejahteraan dari sistem ekonomi dan kebudayaan liberal-kapitalistik. Sistem ini hanya menjamin keadilan dan kesejahteraan sebagian orang. Biasanya hanya orang-orang yang ada dalam oligarki kekuasaan. Rakyat hanya dijadikan ‘sapi perah’ penguasa dan wakil rakyat dengan kebijakan-kebijakan yang memberatkan; pajak, pencabutan subsidi BBM, kenaikan tarif listrik, dan lain-lain. Jargon kerakyatan adalah pembodohan publik, sebab sbenarnya adalah kekuasaan oligarki kaum kapitalis semata.

 

Dalam berbagai forum, Indonesia mendapat pujian sebagai negara demokratis. Namun, apakah dengan setatus demokrasinya negeri ini talah mampu melahirkan kepemimpinan yang amanah ?. Jawabnya tidak pernah.  Apakah demokrasi bisa mewujudkan kesejahteraan dan keadilan dalam seluruh aspek kehidupan warga negaranya ?. Jawabnya tidak bisa.

 

Pasti selaku warga negara yang baik merasa miris kalau melihat fakta aktual sepanjang tahun 2010 tercatat 148 dari 244 kepala daerah menjadi tersangka korupsi.  Bahkan sebagian dari pemenang Pilkada 2010 bersetatus tersangka dan meringkuk di penjara. Pilkada tahun 2020 yang sesaat lagi diselenggarakan tidak lebih dari tipu-tipu politik yang akan makin menyengsarakan rakyat di negeri ini.

 

Jadi, omong-kosong kalau kita berharap bahwa sistem demokrasi bila melahirkan para pemimpin yang amanah, apalagi terkait kesejahteraan. Pasalnya, demokrasi hanya menjadi tempat bagi orang-orang dan kelompok oportunis untuk mentransaksikan kepentingan perut dan nafsunya semata.

 

Selama tahun 2010, tercatat sebanyak 244 Pilkada dilangsungkan dengan menelan biaya lebih dari Rp 4,2 triliun. Ditambah lagi dengan pengulangan-pengulangan yang biayanya lebih besar dari itu. Penghamburan uang itu terjadi di tengah-tengah kondisi yang sangat memilukan; pada tahun 2010 tercatat lebih dari 31 juta (13%) dari 237 juta penduduk Indonesia dalam kondisi miskin luar biasa. Dalam hal ini, hasil Pilkada tidak pernah mengubah nasib rakyat. Yang berubah hanya para penguasa dan kroni-kroninya saja.

 

Pilkada yang tujuannya menyertakan rakyat secara langsung untuk menentukan pimpinannya sendiri di tingkat daerah faktanya juga talah melahirkan dampak negative. Masyarakat menjadi berkotak-kotak, bahkan menjadi lawan yang mengarah kepada tindakan kekerasan. 

 

Yang namanya politik saat ini diartikan sebagai proses interaksi pemerintah degan masyarakat untuk menentukan kebijakan publik demi kebaikan bersama. Sistem politik yang dianut Indonesia adalah Demokrsi. Dan itu kini telah menjelma menjadi sebuah paham, bahkan semacam ‘agama’ yang nyaris tanpa koreksi.

 

Gagasan dasar demokrasi adalah kedaulatan manusia dan menghilangkan kedaulatan Tuhan. Intinya, kewenangan membuat hukum ada di tangan manusia. Demokrasi selalu  dianggap sebagai tatanan atau system politik yang paling ideal. Dalam sistem demokrasi, rakyat diasumsikan akan benar-benar berdaulat dan mendapatkan seluruh aspirasinya. Dari sana, melalui peroses politik yang demokrasi, lantas dibayangkan bakal tercipta sebuah kehidupan masyarakat yang ideal; adil, damai, tentram, dan sejahtera.

 

Bagaimana bisa diharap akan keadilan bila sistem demokrasi malah melahirkan banyak pejabat dan penguasa yang lebih pantas disebut penjahat. Mereka adalah para tersangka berbagai kasus tindak pidana (terutama korupsi). Ini karena banyak dari peroses politik berlangsung secara transaksional. Paragmatisme politik baik demi kekuasaan ataupun uang lebih banyak berperan lebih aktif.

 

Dalam kondisi demikian, kepentingan rakyat dengan mudah terabaikan. Bagi penguasa, rakyat hanyalah alat untuk meraih kuasa. Akhirnya, bukan kedaulatan rakyat yang menjadi ruh dari sistem demokrasi, melainkan kedaulatan kapital dari para pemilik modal. Ini adalah kenyataan umum di Negara penganut demokrasi, tanpa kecuali termasuk AS dan Eropa sebagai kampiun demokrasi.

 

Oleh karena itu, pujian terhadap Indonesia yang diangap sebagai ‘jawara demokrasi’ dengan julukan “Indonesia’s Shining Muslim Democracy” (Demokrasi Muslim Bersinar di Indonesia) adalah semacam jebakan bagi negeri ini dan umat Islam khususnya. Sebab, faktanya julukan itu tidak selaras dengan perbaikan kehidupan rakyat. Adalah sebaliknya, dengan demokrasi negeri muslim terbesar dunia ini makin karut marut dan mengalami berbagai nestapa.

 

Tidak aneh bila banyak orang melihat demokrasi sesungguhnya adalah sistem yang bermasalah. Tokoh barat sendiri Winston Churchil, menyatakan, “Democracy is worst possible form of government” (demokrasi kemungkinan terburuk dari sebuah bentuk pemerintahan).

 

Dasar politik yang diterapkan di Indonesia adalah sekulerisme, paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Hukum bersumber dari akal dan hawa nafsu manusia melalui peroses demokrasi. Hukum dibuat oleh segelintir orang yang tidak lepas dari kepentingan, baik kepentingan uang ataupun kekuasaan. 

 

Selama sekulerisme dan demokrasinya yang diterapkan selama itu pula yang terjadi adalah kerusakan dan keterpurukan. Hanya syariah Islam yang bisa menjamin keadilan karena ia berasal dari Dzat yang Maha Adil. Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendak. (hukum) siapakah yang lebih baik dari pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (Qs Al Maidah; 5 50).

 

Islam adalah solusi hakiki atas krisis multidimensi dunia, sementara demokrasi adalah alat penjajahan negara-negara kapitalisme kepada negeri-negeri muslim. Umat Islam itu memiliki rumah besar bernama Islam, bukan demokrasi. Indonesia mayoritas muslim lebih tepat jika tinggal di rumah syariah Islam. Demokrasi bukanlah rumah bagi umat Islam. Sebab umat Islam selamanya akan anti kepada penjajah dan penjajahan.

 

Karena itu sevagai catatan demokrasi, ideologi ini bukan berasal dari Islam dan karena itu bertentangan dengan Islam secara total. Membela dan memperjuangkan demokrasi sebagai seorang muslim adalah kesia-siakan belaka, jika tidak hendak disebut sebagai kemaksiatan. Sementara memperjuangkan Islam sebagai telah dicontohkan Rasulullah adalah kemuliaan dunia akhirat.

 

Dalam perspektif peradaban, demokrasi membawa sisi gelap kehidupan, sementara Islam membawa cahaya bagi kehidupan. Demokrasi adalah sumber malapetaka peradaban, sementara Islam adalah sumber kebaikan bagi dunia. Demokrasi menebar kesengsaraan bagi manusia, sementara Islam menebar rahmat bagi alam semesta. Masih mau bantah ?.

 

(AhmadSastra,KotaHujan,09/09/21 : 07.30 WIB)

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Categories