BUDAYA LITERASI DAN KARAKTER DAI



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Literasi berasal dari bahasa inggris literacy yaitu kemampuan untuk membaca dan menulis. KBBI pun mendefinisikan literasi sebagai kemampuan membaca dan menulis.Namun literasi lebih sempit maknanya jika sekedar membaca dan menulis saja.

 

Menurut istilah literasi yaitu kemampuan untuk berifikir kritis dan berkomunikasi secara efektif. Mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis dalam semua konten. Sedangkan literasi menurut istilah adalah kemampuan seseorang dalam mengelola dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis.

Literasi juga merupakan sesuatu yang berbeda sampai pada orang yang berbeda dengan melalui masyarakat. Artinya saat ini banyak sekali literasi disematkan dengan kalimat lain karena literasi itu sendiri dapat di artikan berbeda karena sesuai dengan tempat dan orang yang berbeda.

 

Saat ini kajian literasi telah meluas tergantung bagaimana kata itu disematkan dalam sebuah kalimat. Contohnya literasi pendidikan, literasi budaya, literasi teknologi, literasi politik, literasi ekonomi, bahkan pada literasi gender. Termasuk di dalamnya adalah istilah literasi dakwah yang akan dikaji lebih mendalam dalam makalah ini.

 

Seorang dai yang sehari-harinya menyeru kebaikan kepada masyarakat dan mencegah kemungkaran harus memiliki mental yang kuat dan ilmu yang luas. Sebab selain menyerukan kebaikan, dakwah juga memiliki fungsi untuk memberikan soslusi atas problematika masyarakat. Literasi adalah salah satu cara membangun mental positif dai serta menambah kedalaman ilmu agama yang hendak disampaikan.

 

Dalam Islam, manusia yang beriman, berilmu dan beramal shaleh diapresiasi dengan derajat yang tinggi. Tidak ada agama selain Islam, dan tidak ada kitab suci selain Al-Qur’an yang sedemikian tinggi menghargai ilmu pengetahuan, mendorong umatnya untuk mencarinya, dan memuji orang-orang yang menguasainya. Termasuk di dalamnya menjelaskan ilmu dan pengaruhnya di dunia dan akhirat, mendorong untuk belajar dan mengajar, untuk mengenal diri dari kaca mata keilmuan dan pengamalannya. Islam dengan tegas memisahkan dan membedakan antara orang berilmu dan tidak berilmu.

 

Sejarah tradisi keilmuwan dalam Islam sesungguhnya dimulai dari lahirnya Islam  itu sendiri. Rasulullah, sahabat dan para ulama pendahulu telah menancapkan  tradisi ilmu. Al Quran mengandung banyak ayat yang menganjurkan umat Islam untuk senantiasa menggali ilmu dengan cara berfikir atau bertafakur. Biasanya Allah menyebut orang-orang beriman yang mau berfikir tentang segala penciptaan Allah dengan istilah Ulil Albab.

 

Salah satu ulama yang bernama Ibnu Suhnun memiliki tradisi literasi, yakni membaca dan menulis kitab-kitab yang luar biasa. Suatu saat ketika beliau sedang sibuk menulis sebuah kitab sampai-sampai dia tidak sempat makan. Saat disuapin oleh pembantunya, bahkan dia menanyakan di pagi harinya, dia tidak merasakan suapan pembantunya itu karena konsentrasi tinggi saat membaca dan menulis.

 

Ibnu Sina pernah berkata, " Jika ada persoalan yang terlalu sulit bagiku, aku pergi ke masjid dan berdoa, memohon kepada Yang Maha Pencipta agar pintu yang telah tertutup bagiku dibukakan dan apa yang tampaknya sulit menjadi sederhana. Biasanya, saat malam tiba, aku kembali ke rumah, menghidupkan lampu dan menenggelamkan diri dalam bacaan dan tulisan". Hal ini menandaskan bahwa tradisi keilmuwan dan semangat pembelajaran telah lama berlangsung.

 

Apa yang dilakukan oleh Ibnu Sina dalam bahasa sekarang disebut sebagai budaya literasi. Literasi berasal dari bahasa inggris, literacy yaitu kemampuan untuk membaca dan menulis. KBBI pun mendefinisikan literasi sebagai kemampuan membaca dan menulis.Namun literasi lebih sempit maknanya jika sekedar membaca dan menulis saja.

 

Menurut Austintown local schools dalam literacy philosophy, literasi dimaknai sebagai  kemampuan untuk berifikir kritis dan berkomunikasi secara efektif. Mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis dalam semua konten. Literasi juga bisa dimaknai sebagai  kemampuan seseorang dalam mengelola dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis.

 

Anjuran untuk senantiasa berfikir dan mengamati realitas dengan jelas disebutkan dalam Al Qur’an, Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka [QS Ali Imran : 190-191]

 

Bahkan secara spesifik, budaya membaca dan menulis telah disebutkan dalam al Qur’an, Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.  Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya [QS Al ‘Alaq : 1-5]. 

 

Beberapa ahli membangun paradigma literasi dalam sudut pandang yang beragam. Orang yang enggan menulis karena tidak tahu untuk apa dia menulis, merasa tidak berbakat menulis dan merasa tidak tahu bagaimana cara menulis (Graves, 1978). Pengalaman belajar menulis yang dialami siswa di sekolah tidak bisa dilepaskan dari kondisi gurunya sendiri (Smith, 1981). Jika menulis seperti berbicara, maka tidak ada yang mau membaca. Jika berbicara seperti menulis, maka tidak ada yang mau mendengar (TS Eliot, 1986).

 

Budaya literasi merupakan sebuah kreativitas intelektual. Kreativitas sesungguhnya bersumber dari pola fikir seseorang yang positif. Al Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan telah memberikan peluang kepada umat manusia untuk mengoptimalkan pemikirannya untuk mengeksplorasi alam semesta, kehidupan dan manusia.

 

Budaya membaca dan menulis bukan hanya akan memajukan sebuah peradaban bangsa, namun lebih dari itu akan mampu menjadi media pembangun karakter baik. Budaya literasi bisa dijadikan sebagai salah satu metode pembentukan karakter posisitf bagi pendakwah khususnya. Sebab proses menjadi seorang pembaca dan penulis yang tidak mudah akan memberikan dampak intrinsik maupun ekstrinsik baik secara mental, intelektual maupun spiritual.

 

Dampak intrinsik budaya literasi bagi seorang pendakwah adalah terjadinya kristalisasi karakter positif bagi sang dai. Budaya membaca dan menulis membutuhkan sebuah motivasi tinggi untuk mencintai ilmu dan buku. Membaca dan menulis juga membutuhkan sebuah kesabaran dan kejujuran agar hasil kajiannya berkualitas. Budaya membaca dan menulis juga menjadikan seseorang mampu memberikan manfaat bagi orang lain.

 

Dengan demikian secara intrinsik, budaya literasi bisa menjadi media pembentukan karakter semangat, cerdas, sabar, jujur, disiplin dan selalu memberi manfaat bagi orang lain. Sebab karakter-karakter positif diatas sangat dibutuhkan oleh para dai yang sehari-harinya bergelut di bidang dakwah dan ta’lim.

 

Dampak ekstrinsik literasi adalah terbangunnya masyarakat muslim yang cinta ilmu pengetahuan, cerdas dan memberikan kontribusi positif bagi terbangunnya kemajuan peradaban  bangsa. Sebab kemajuan peradaban sebuah bangsa tidak bisa dilepaskan dari kualitas masyarakatnya yang cerdas, terdidik dan selalu berfikir bagi kemajuan dengan landasan ilmu pengetahuan dan spiritualitas.

 

Secara konten, budaya literasi juga mampu membangun nilai-nilai etis dan estetis semisal literasi sastra. Dengan karya-karya sastra akan mampu memperhalus rasa dan kesantunan, baik penulisnya maupun yang membacanya. Karya-karya semisal puisi, cerpen dan novel akan memberikan dampak psikologis positif bagi penulis dan pembaca, dengan catatan karya sastra yang positif, bukan yang negatif.

 

Sebagai salah satu contoh apa yang dilakukan oleh Forum Lingkar Pena, sebuah organisasi para penulis dan calon penulis yang mendedikasikan dirinya untuk membangun literasi dakwah lewat dunia sastra semisal cerpen, novel, puisi, dan film. Cerpen berjudul ‘Ketika Mas Gagah Pergi’ karya Helvy Tiana Rosa yang kini telah diangkat ke layar lebar telah menjadi inspirasi bagi remaja muslimah untuk berjilbab.

 

Karena itu budaya literasi ini harus terus didorong oleh semua elemen masyarakat, sebab dalam jangka panjang akan menjadi investasi terbentuknya kualitas SDM muslim yang unggul, baik mental, intelektual dan spiritual. Para pemimpin harus memberikan contoh budaya literasi ini, sehingga akan menular kepada masyarakat luas, baik di sekolah, di rumah, di perkantoran, maupun di lingkungan yang lebih luas. Menjadikan budaya literasi sebagai metode pendidikan karakter bukan perkara mudah, tapi dengan niat kuat dan kebersamaan, tidak ada yang mustahil.

 

Untuk menghasilkan tulisan berkualitas memang tidak mudah, tapi bisa diupayakan. Akan ada banyak pain (kesakitan) dalam proses menulis, akan ada banyak masalah sepanjang jalan menuju tambang emas itu (Gain). Memang demikianlah aturan mainnya. Untuk itu, budaya literasi memerlukan kerja keras dan usaha optimal agar hasil yang didapatkan juga optimal dan bermutu.

 

Jika semua lancar-lancar saja, jika semuanya mudah-mudah saja seperti semudah membalikkan telapak tangan, maka impiannya mungkin terlalu kecil, atau sesuatu itu tidak layak diimpikan. Impian yang besar, biasanya, kesakitan atau tantangannya juga besar. Penulis besar lahir dari tantangan yang besar pula.

 

Meski bukan satu-satunya cara, namun budaya literasi bisa menjadi sarana pembentukan karakter dai yang tangguh, sabar, cerdas, disiplin, baik bagi sang dai  maupun bagi masyarakat pembaca sebagai mad’unya. Jadi tunggu apa lagi, ayo para dai mulai membaca dan  menulis.

 

(AhmadSastra,KotaHujan,16/05/22 : 21.21 WIB)

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Categories