MENGHADANG MIMPI - Ahmad Sastra.com

Breaking

Rabu, 11 Mei 2022

MENGHADANG MIMPI



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Dalam perbincangan sehari-hari, banyak digunakan istilah mimpi dan impian. Mimpi secara sederhana adalah terjadinya sebuah gambaran peristiwa pada saat tidur. Dalam American Heritage Dictionary (2000), mimpi adalah deretan pemikiran, citra, suara, atau emosi yang dialami pikiran saat tidur. Sementara impian sering diartikan sebagai keinginan yang hendak dicapai oleh seseorang dalam keadaan sadar. Jika ada kata jangan takut mimpi maknanya sebenarnya adalah jangan takut bercita-cita. Jika ada kata ah itu mah mimpi maknya sebuah keinginan yang mustahil bisa dicapai.

 

Jika ada ungkapan bahwa hidup itu seperti mimpi maknanya adalah bahwa hidup itu seringkali hanya fatamorgana yang manusia tidak boleh salah jalan. Apa yang di kejar di dunia seringkali hanya sia-sia belaka, sebab kehidupan hakiki adalah akhirat. Dunia itu semacam permainan belaka, maka manusia harus mamahami hakikat tujuan hidup di dunia ini. Benarlah pernyataan yang dikatakan Imam Ali kw., sebagaimana dikutip oleh Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, “An-Nas niyam[un], idza matu intabahu [Manusia itu tidur. Jika mati, dia terjaga].” (As-Suyuthi, Syarh ash-Shudur bi Syarh al-Mawta wa al-Qubur, hlm. 30).

 

Mimpi dalam arti terjadinya visualisasi peristiwa saat tidur banyak didefinisikan oleh para psikolog. Psikoanalisa Mimpi Menurut Sigmund Freud merupakan keinginan tak sadar yang muncul dalam kesadaran. Ketidaksadaran yang dianalisis lewat penafsiran dalam mimpi, bertujuan untuk menginterpretasikan terhadap mimpi sebagai suatu bangunan psikologis yang menunjuk pada aktivitas psikis yang ada dalam alam bawah sadar, yang merupakan sumber syarat maknanya dari dalam alam sadar. Menurut Freud, mimpi didefinisikan sebagai aktivitas psikis seseorang ketika ia berada dalam kondisi tidak sadar atau sedang tidur.

 

Psikoanalisa mimpi menurut Carl Gustav Jung menyatakan antithesis Freud. Jung tidak menerima pendapat Freud yang terlalu menekankan aspek material manusia ini. Bagi Jung, kepribadian adalah paduan kompromi dari inner-life dengan dunia luar. Dengan demikian bagi Jung mimpi merupakan bukti adanya dimensi innate religious, atau kesadaran beragama yang bersifat bawaan, sebab mimpi-mimpi yang digambarkan oleh menusia purba hingga modern sekarang ini tetap menggambarkan paradigma pskologis tentang hubungan manusia dengan alam spiritual. (Nur, M. (2007). Metafisika Mimpi: Telaah Filsafati terhadap Teori Mimpi CG Jung. Jurnal Filsafat, 14(2)

 

Jika ada istilah makes your dream cames true maknanya adalah upaya sungguh-sungguh untuk meraih cita-cita dengan berbagai usaha nyata dan terukur diikuti oleh sikap optimistis. Setidaknya ada tiga jalan ikhtiar untuk meraih impian agar menjadi kenyataan yakni : give yourself permission to dream, visualize yourself accomplishing your biggest dreams, dan put your ideas to work.

 

Adalah manusiawi bahwa setiap orang memiliki impian yang hendak dicapai. Orang itu lantas rela bersusah payah untuk menggapai mimpi itu, bahkan mengorbankan waktu, tenaga, dan harta yang dimiliki asalkan apa yang diimpikan itu dapat tercapai. Impian seorang muslim maknanya adalah cita-cita seorang muslim. Setidaknya ada tiga impian seorang muslim yakni impian menjadi umat atau hamba Allah terbaik, impian menjadi kontributor bagi peradaban Islam dan impian mendapat ridho Allah sehingga digolongkan sebagai ahli surga.

 

Berdasarkan penjelasan diatas, maka arti judul tulisan ini : Menghadang Mimpi maknanya adalah menghalangi impian atau cita-cita seseorang. Secara sederhana setiap orang pasti pernah mimpi, begitupun setiap orang punya hak untuk memiliki impian. Maka secara sederhana pula jika ada orang menghalangi impian orang lain tentu saja melanggar hak asasi manusia. Impian itu kan belum terwujud, namun sudah dihalangi, maka jika bukan orang jahat, bisa jadi dia mengalami gangguan jiwa yang namanya Phobia, yakni ketakutan berlebihan kepada impian orang lain.

 

Sebagaimana orang pada umumnya, seorang muslimpun memiliki impian, bahkan dikatakan bahwa tingginya impian atau cita-cita seorang muslim adalah bagian dari iman. Cita-cita seorang muslim tentu saja harus sejalan dengan apa yang diinginkan oleh Allah. Karena itu seorang muslim wajib tahu dari mana dia berasal, untuk apa hidup di dunia dan hendak kemana setelah mati.

 

Jawaban yang benar atas tiga pertanyaan itu akan sangat berpengaruh terhadap kepribadiannya. Jawaban yang benar adalah bahwa manusia berasal dari Allah, tujuan hidup di dunia adalah menjadi hamba Allah dan setelah mati selamat dan masuk surga. Tiga pertanyaan itu tentu saja sangat berbeda dengan jawaban manusia sekuler atau manusia ateis.  

 

Cita-cita muslim untuk menjadi umat terbaik adalah impian jangka pendek yang wajib dicapai, sebagaimana firman Allah : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (QS Ali Imran : 110)

 

Sementara cita-cita jangka menengah bagi seorang muslim adalah menyebarkan rahmat bagi alam semesta. Rahmat bagi alam semesta berkaitan dengan amal sholih sebagai perwujudan dari tegaknya hukum-hukum Allah, baik pribadi, sosial maupun negara. Sistem pendidikan, politik, budaya, hukum Islam adalah kebaikan bagi manusia seluruhnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah : Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (QS Al Anbiyaa : 107)

 

Impian jangka panjang seorang muslim adalah keselamatan dan kebahagiaan saat berpulang kepada Allah dan hidup di akhirat sebagai penghuni surga. Sebab ujung kehidupan adalah kehidupan akhirat yang abadi. Allah berfirman : Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam (QS Al An’am : 162). Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan (QS Ya Sin : 83). Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (QS Ali Imran : 102).

 

Meraih impian bagi seorang muslim bukanlah perkara mudah, sebab akan dihadapkan dengan berbagai ujian dan halangan. Rasulullah sendiri dalam meraih impian menegakkan daulah Islam di Madinah mengalami berbagai hambatan, ujian, tuduhan, dan berbagai macam ancaman pembunuhan dari musuh-musuh Allah yang membenci Islam dan ajarannya. Sejarah ini akan terus berulang, maka lihatnya berbagai tantangan dan hambatan dari kaum pendengki Islam terhadap impian untuk menegakkan kembali khilafah Islam.

 

Tak sampai disitu, banyak dari para pendengki Islam yang menuduh para pejuang khilafah sebagai orang radikal dan khilafah sendiri dianggap hanya mimpi bahkan utopia. Adalah Paradoks, di satu sisi mereka menuduh khilafah sebagai mimpi yang utopis, namun di sisi lain mereka justru menghalanginya. Menuduh mimpi, tapi kok menghalangi, aneh kan ?. Para penghadang mimpi itu ada dua kemungkinan, pertama orang itu jahat dan melanggar hak asasi dan kemungkinan kedua dia mengalami gangguan jiwa yakni islamophobia.

 

Impian umat Islam untuk menegakkan khilafah terus, sejak dahulu hingga sekarang dan mendatang. Khilafah adalah soal politik dan ketatanegaraan. Khilafah ialah suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran Islam dimana hukum-hukum Islam itu akan berjalan lancar dan baik dalam masyarakat, berdasarkan hukum-hukum Islam. Sebagaimana yang di bawa dan di jelaskan oleh nabi Muhammad SAW semasa beliau hidup dan kemudian di jalankan oleh Khulafar Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khathob, Usman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib). Kepala negaranya di namakan Khalifah.

 

Seluruh ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja) telah sepakat (ijmak mu'tabar) bahwa hukum menegakkan Khilafah adalah wajib. Tepatnya fardhu kifayah. Tidak ada yang menyalahi ijmak ini melainkan segelintir manusia saja. Itu pun orang-orang yang tidak diperhitungkan pendapatnya dari kalangan Muktazilah dan Khawarij. Seluruh ulama Aswaja juga sepakat bahwa dasar wajibnya Khilafah itu adalah dalil syariah, bukan akal, yaitu : al- Quran, as-Sunnah, Ijmak sahabat dan kaidah yang di gali dari nas-nas syariah.

 

Imam Syamsuddin al-Qurthubi (w. 671 H) seorang ulama yang sangat otoritatif di bidang tafsir. Menjadikan ayat 30 surat al-baqarah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Kata beliau, "Ayat ini merupakan dalil atas kewajiban mengangkat seorang khalifah yang di patuhi serta di taati  agar dengan itu suara umat Islam bisa bersatu dan dengan itu pula keputusan-keputusan khalifah dapat di terapkan. Tidak ada perbedaan pendapat di antara umat dan tidak pula di antara para ulama atas kewajiban ini, kecuali apa yang di riwayatkan dari Al-'Ahsam yang benar-benar telah tuli (ashamm) terhadap syariah. Demikian pula siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya itu serta mengikuti ide dan mazhabnya."

 

Para ulama juga menjadikan as-Sunnah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Misalnya hadist Shahih Muslim nomer 567 tentang tawaran Istikhlaf(menunjuk Khalifah pengganti) kepada Umar bin Khattab ra. Menjelang saat beliau mendekati ajal. Imam al-Qadhi 'Iya di al-makin (w. 544 H) mengatakan dalam syarh -nya Ikmal  al-mu'lim bi-Fawa id Muslim, "ini merupakan hujjah bagi apa yang telah menjadi ijmak kaum Muslim dimasa lampau tentang syariah pengangkatan seorang Khalifah

Imam Syamsuddin At-Taftazani ( w. 791 H) dalam Syarh Al-'Aqa id Al-Nasafiyyah, dengan berdasarkan hadist tersebut, menegaskan bahwa khilafah itu wajib menurut syariah. Dalil yang semakin mengokohkan kewajiban menegakkan Khilafah adalah Ikmal Sahabat pasca Rasulullah saw. Untuk mengangkat seorang khalifah. Dalil ini disepakati oleh seluruh ulama Aswaja. Imam Saifuddin al-Amidi (w. 631 H) mengatakan, "Ahlus Sunnah wal Jamaah (Ahlul Haq) berpendapat: Dalil qath'i atas kewajiban mewujudkan seorang khalifah serta menaatinya secara syar'i adalah riwayat mutawatir tentang adanya ijmak kaum Muslim (Ijmak Sahabat) pada periode awal pasca Rasulullah saw. Wafat atas ketidakbolehan masa dari kekosongan seorang khalifah..."

 

Khilafah sebagai ahammul wajibat juga di kemukakan oleh Sa'duddin At-Taftazani (w. 791 H), Jalaluddin al-Mahalli (w. 864 H), Syaikhul ISLAM Zakariyya al-Anshari (w.926 H), Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H), Ahmad bin Hijazi  Al-Fasyani (w.978 H), Syamsuddin ar-ramli (w. 1004 H), Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H), Syamsuddin as-Safarini (w. 1188 H), Hasan bin Muhammad al-'Aththar (w. 1250 H), Ahmad bin Muhammad ash-sawi (w. 1241 H), Abu al Fadhal as-Sinuri (w.1411 H), dan lainya.

 

Sudah sangat jelas dalil dari al-Quran, hadist dan juga Ijmak  Sahabat yang menunjukan kewajiban menegakkan Khilafah. kita sebagai umat Islam jangan pernah ada lagi keraguan tentang kebenaran, Khilafah ajaran Islam yang musti harus kita perjuangkan bersama-sama (jamaah) semoga janji Allah yang akan menjadikan kita (kaum Muslim) sebagai penguasa di muka bumi ini segera terwujud

 

Namun demikian adalah keniscayaan bagi orang yang mengaku mukmin atau muslim akan mendapatkan berbagai macam ujian dan hambatan. Terlebih dalam langkah perjuangan menegakkan Islam, tentu saja halangan dan ujian adalah kepastian. Allah berfirman : Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi (QS Al Ankabut : 2)

 

Dakwah dan perjuangan Islam itu tentu saja  akan dihadapkan pada tantangan dan kesulitan, bahkan mungkin kesengsaraan dan penderitaan, sebagaimana dialami pula oleh Baginda Rasulullah saw. dan para Sahabat, termasuk oleh saudara-saudara kita seperti di Asia Tengah atau Timur Tengah di bawah para rezim otoriter dan kejam. Namun, ingatlah, jika kita pun mengalaminya, itu hanyalah sesaat. Kesulitan, kesengsaraan dan penderitaan di dunia, termasuk yang dialami di medan dakwah, tetaplah akan berakhir.

 

Yang pasti, kematian, itulah risiko terbesar bagi setiap pengemban dakwah. Padahal kematian sesungguhnya akan dialami oleh semua orang, yang berdakwah ataupun tidak. Tentu, amat mulia mati di jalan dakwah. Sebaliknya, tak ada kemuliaan saat mati bukan di jalan dakwah, atau dalam keadaan meninggalkan arena dakwah. Tak ada pula kemuliaan bagi yang dakwahnya ‘mati’ meski ia hidup di tengah-tengah jamaah dakwah dan ‘tercatat’ sebagai anggotanya.

 

(AhmadSastra,KotaHujan,11/05/22 : 11.20 WIB)

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories