MENYOAL PARADIGMA TOLERANSI : ANTARA PLURALITAS SOSIOLOGIS DAN PLURALISME TEOLOGIS - Ahmad Sastra.com

Breaking

Selasa, 13 Desember 2022

MENYOAL PARADIGMA TOLERANSI : ANTARA PLURALITAS SOSIOLOGIS DAN PLURALISME TEOLOGIS



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Paradigma dalam disiplin intelektual memiliki arti cara pandang (worldview) orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual.  

 

Paradigma atau worldview biasanya digunakan kaum intelektual untuk membaca pandangan alam yang lain. Misalnya seorang muslim, dengan paradigma Islam dipakai untuk melakukan pembacaan atas isme-isme yang bertentanganan dengan Islam. Sebagai contoh adalah ketika paradigma Islam digunakan untuk membaca paham sekulerisme, liberalisme dan pluralisme agama, maka ketiganya adalah paham sesat dan haram hukumnya.  

 

Misalnya saat MUI menggunakan paradigma QS. Ali Imran [3]: 85 dan QS. Ali Imran [3]: 19) dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/Munas VII/MUI/11/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama dalam Musyawarah Nasional  MUI VII, Pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M yang pada akhirnya menyimpulkan bahwa ketiga paham di atas haram hukumnya.  

 

Kritik paradigmatik maknanya dalam tulisan ini maknanya paradigma Islam dijadikan sebagai timbangan pembacaan atas sebuah cara pandang atas realitas dengan paham tertentu. Dalam hal ini paradigma Islam akan dijadikan sebagai alat baca atas paradigma toleransi yang berkembang di tengah masyarakat. Toleransi dengan paradigma sekuler liberal sering kali justru bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini sering terjadi disaat perayaan natal atau agama-agama lainnya.  

 

Narasi toleransi dan radikalisme adalah wacana Barat untuk mendekonstruksi Islam dan menjebak kaum muslimin. Menjelang hari Natal misalnya, umat Islam diarahkan untuk ikut merayakannya, padahal jelas hukumnya haram. Bahkan ada beberapa sekte kristen seperti Saksi Yahuwa, Adventis [GMHK] dan Mormon tidak merayakan Natal karena dianggap bid’ah ajaran kafir, sebab diyakini tanggal 25 Desember adalah kelahiran dewa matahari, bukan kehaliran Yesus.

 

Problem epistemologis inilah yang kini sedang dikembangkan di negeri ini. Kata toleransi oleh Barat dimaknai sebagai paham pluralisme yang oleh fatwa MUI 2005 telah dinyatakan haram. Sebab pluralisme adalah paham yang mengakui kebenaran setiap agama. Konsep pluralisme Barat  memiliki dimensi teologis, sementara dalam Islam pluralitas itu berdimensi sosiologis.  Sebab Islam melarang kaum muslimin untuk mencampur aduk kebenaran dan kebatilan. Karena itu haram hukumnya mengucapkan salam pluralisme yang menyebutkan ucapan salam agama-agama secara bersamaan.

 

Barat tak henti-hentinya melakukan berbagai propaganda untuk menyerang Islam. Tujuannya adalah agar kaum Muslim tanpa sadar mengikuti arus yang sedang mereka konstruk. Salah satunya adalah wacana toleransi dan radikalisme sebagai alat untuk menstigmatisasi dan reduksi nilai Islam. Narasi toleransi yang dibangun Barat berdasarkan asas demokrasi dan HAM telah berhasil menjerat kaum Muslim pada pemahaman yang salah salah-kaprah. Kaum Muslim akan dikatakan sebagai orang toleran jika mau melakukan apa yang diwacanakan Barat. Sebaliknya, jika tak sejalan dengan mereka, lantas dikatakan sebaliknya: intoleran atau radikal.

 

Islam mengajarkan toleransi pada ranah pluralitas sosiologis dalam pengertian bahwa fakta sosiologis memang beragam, baik suku, ras dan khususnya agama. Berbagai agama yang diakui di negeri ini oleh Islam dibiarkan, bukan diganggu, begitupun semestinya agama lain membiarkan ritual yang dilakukan oleh Islam. Tidak boleh ada intervensi atas ajaran agama lain, apalagi mengganggunya. Masing-masing agama melaksanakan ibadah dan keyakinan, tidak perlu melakukan ibadah bersama, kebablasan namanya.

 

Paradigma toleransi dalam Islam adalah konsepsi paling sempurna, sebagaimana firman Allah : Katakanlah (Muhammad), Wahai orang-orang kafir! (1) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah (2) Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah (3) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah (4) Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah (5) Untukmu agamamu, dan untukku agamaku (6) (QS Al Kafirun : 1-6)


Melansir dari tafsir Al Quran Kementerian Agama (Kemenag), isi kandungan lengkap surat Al Kafirun ayat 1-6 dapat dirangkum menjadi tiga poin bahasan utama di dalamnya. Berikut poin-poin inti dari surat ini : Allah hendak menjelaskan bahwa terdapat perbedaan besar antara sifat-sifat Tuhan yang disembah oleh umatnya Nabi Muhammad SAW dan Tuhan yang disembah oleh orang-orang kafir.

 

Sebab Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa dan tidak beranak maupun diperanakkan. Berkaitan dengan perbedaan sifat Tuhan dari keduanya, hal ini pun menjelaskan bahwa adanya perbedaan dalam bentuk pelaksanaan ibadah. Melalui surat Al Kafirun, Allah SWT menekankan perihal toleransi antar umat beragama. Hal ini dilakukan melalui pengerjaan ibadah sesuai dengan ketentuan agama masing-masing tanpa mencampur adukkan urusan keduanya.

 

Mencampur aduk aqidah dan keyakinan agama atas nama toleransi adalah paham pluralisme yang telah diharamkan MUI. Tolerasi berpaham pluralisme dipengaruhi oleh paham bahwa semua agama sama. Padahal faktanya semua agama itu berbeda-beda, baik soal konsepsi tentang Tuhan, maupun tata cara beribadatannya. Pluralisme adalah sesat logika, sebab yang sudah jelas berbeda tapi dianggap sama, bahkan kadang dipaksakan oleh negara yang akhirnya menjerumuskan umat Islam pada paradigma toleransi yang menyesatkan.

 

Kalimat, untukmu agamamu, dan untukku agamaku dalam QS Al kafirun ayat 6 adalah paradigma paling tepat untuk memaknai toleransi. Makna ayat ini bahwa toleransi adalah masalah pluralitas sosiologis, bukan pluralisme teologis. Toleransi itu membiarkan peribadatan agama lain, bukan merayakan ibadah agama lain secara bersama-sama. Doa lintas agama juga merupakan praktek pluralisme teologis yang menyesatkan. Perayaan natal bersama dengan umat Islam juga merupakan pluralisme teologis yang diharamkan. Mengucapkan selamat hari raya kepada agama lain dalam arti menyakini kebenaran agama lain juga diharamkan dalam Islam.

 

Hal diatas sejalan dengan firman Allah : Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran [3]: 85). Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.... (QS. Ali Imran [3]: 19). Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. al-Kafirun [109] : 6). Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan  yang mu’min, apabila Allah dan Rasul- Nya telah menetapkan suatu ketetapan,  akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)  tentang urusan mereka. Dan barangsiapa  mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka  sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. al-Ahzab [33]: 36).

 

Toleransi yang mendasarkan kepada pluralisme teologis jelas sesat dan menyesatkan. Menurut M Shiddiq Al Jawi setidaknya ada empat hal yang bisa dijadikan kritik atas pemikiran pluralisme agama ini. Pertama, aspek normatif. Secara normatif, yaitu dari kacamata Aqidah Islamiyah, pluralisme agama bertentangan secara total dengan Aqidah Islamiyah. Sebab pluralisme agama menyatakan bahwa semua agama adalah benar. Jadi, Islam benar, Kristen benar, Yahudi benar, dan semua agama apa pun juga adalah sama-sama benar. Ini menurut Pluralisme. Adapun menurut Islam, hanya Islam yang benar (Qs. Ali-Imran [3]: 19), agama selain Islam adalah tidak benar dan tidak diterima oleh Allah SWT (Qs. Ali-Imran [3]: 85).

 

Kedua, aspek orisinalitas. Asal-usul paham pluralisme bukanlah dari umat Islam, tapi dari orang-orang Barat, yang mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodok. Misalnya pada 1527, di Paris terjadi peristiwa yang disebut The St Bartholomeus Day’s Massacre. Pada suatu malam di tahun itu, sebanyak 10.000 jiwa orang Protestan dibantai oleh orang Katolik.

 

Peristiwa mengerikan semacam inilah yang lalu mengilhami revisi teologi Katolik dalam Konsili Vatikan II (1962-1965). Semula diyakini bahwa extra ecclesiam nulla salus (outside the church no salvation), tak ada keselamatan di luar gereja. Lalu diubah, bahwa kebenaran dan keselamatan itu bisa saja ada di luar gereja (di luar agama Katolik/Protestan). Jadi, paham pluralisme agama ini tidak memiliki akar sosio historis yang genuine dalam sejarah dan tradisi Islam, tapi diimpor dari setting sosiohistoris kaum Kristen di Eropa dan AS.

 

Ketiga, aspek inkonsistensi gereja. Andaikata hasil Konsili Vatikan II diamalkan secara konsisten, tentunya gereja harus menganggap agama Islam juga benar, tidak hanya agama Kristen saja yang benar. Tapi, fakta menunjukkan bahwa gereja tidak konsisten. Buktinya, gereja terus saja melakukan kristenisasi yang menurut mereka guna menyelamatkan domba-domba yang sesat (baca: umat Islam) yang belum pernah mendengar kabar gembira dari Tuhan Yesus. Kalau agama Islam benar, mengapa kritenisasi terus saja berlangsung? Ini artinya, pihak Kristen sendiri tidak konsisten dalam menjalankan keputusan Konsili Vatikan II tersebut.

 

Keempat, aspek politis. Secara politis, wacana pluralisme agama dilancarkan di tengah dominasi kapitalisme yang Kristen, atas Dunia Islam. Maka dari itu, arah atau sasaran pluralisme patut dicurigai dan dipertanyakan, kalau pluralisme tujuannya adalah untuk menumbuhkan hidup berdampingan secara damai (peacefull co-existence), toleransi, dan hormat menghormati antar umat beragama. Menurut Amnesti Internasional, AS adalah pelanggar HAM terbesar di dunia. Sejak Maret 2003 ketika AS menginvasi Irak, sudah 100.000 jiwa umat Islam yang dibunuh oleh AS.

 

Oleh karena itu, umat Islam harus semakin memahami ajaran agamanya sendiri, terutama soal akidah. Jangan sampai terseret kepada kemusyrikan yang dipropagandakan Barat dengan program pluralisme agama, terutama menjelang perayaan natal tahun ini. Umat Islam membiarkan umat nasrani merayakan hari besarnya, tidak mengganggunya, tidak ikut merayakan dan tidak juga mengucapkan hari rayanya, itulah toleransi yang benar. Umat Islam harus bisa membedakan antara toleransi dalam arti pluralitas sosiologis dengan pluralisme teologis, sebab keduanya berbeda, yang satu dibolehkan, sementara yang kedua diharamkan.

 

(AhmadSastra,KotaHujan,13/12/22 : 10.15 WIB)

 

 

 




 

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories