Oleh : Ahmad Sastra
Kemerdakaan yang diperingati bangsa ini telah berusia
78 tahun. Berbagai pertanyaan kritis justru dilontarkan oleh banyak kalangan :
apakah negeri ini benar-benar telah merdeka ?. Pertanyaan ini dilontarkan di
tengah deraan berbagai persoalan yang kita menggurita di negeri ini, mulai dari
budaya korupsi yang kian akut, hutang rakyat yang kian menggunung, amoralitas
remaja yang kian menggila, kekuasaan yang kian represif sampai upaya
pembungkaman suara-suara kritis.
Jika dahulu, negeri ini dijajah oleh bangsa asing,
nampaknya sekarang ditambah oleh bangsa sendiri. Penjajahan itu berupa
kekuasaan yang pro aseng dan asing. Dahulu Negara-negara kapitalis menjajah
negeri ini, namun sekarang mereka tetap diberikan karpet merah untuk tetap
mengeruk sumber daya alam negeri ini. Akibatnya rakyat semakin hidup sengsara
dan terbelenggu saat menyuarakan perlawanan. Tak ketinggalan bagi kaum
intelektual, suaranya juga semakin dibungkan oleh kekuasaan oligarkis.
Secara historis, peran kaum intelektual, meski jumlahnya
sedikit, namun sangat strategis dalam menentukan hitam putihnya peradaban suatu
bangsa. Negara berperadaban selalu
memberikan ruang ekspresi para ilmuwan, intelektual
dan para ulamanya
dalam melakukan transformasi sosial. Kaum intelektual mengisi setiap wajah
peradaban sepanjang masa. Membelenggu kemerdekaan
intelektualitas adalah sebuah kesengajaan untuk menghancurkan peradaban bangsa.
Plato, seorang pemikir Yunani, pernah mensyaratkan bahwa
idealnya seorang pemimpin negara adalah dari kalangan intelektual atau
filsuf. Bagi Plato, bila kebajikan telah
didapat, memimpin orang menuju kemaslahatan, bukanlah hal yang perlu diragukan.
Intelektualitas, dalam pandangan Plato berbanding lurus dengan kebajikan
peradaban. Aristoteles, murid setia Plato mensyaratkan satu kriteris lagi,
yakni kepedulian terhadap persoalan masyarakat. Dua dimensi
ini tak ditemukan di negeri ini.
Intelektualitas adalah energi kebaikan dan kemajuan
peradaban bangsa. Sebab kaum intelektual adalah mereka yang memiliki potensi
saintifik dan mengejawantahkan dalam hubungannya dengan lingkungan dan
permasalahan yang timbul dalam kehidupan sekitarnya berdasar argumentasi
rasional.
Perkembangan filsafat Yunani yang berawal dari antitesis
atas dominasi mitos dikarenakan adanya ruang berfikir yang dibuka lebar. Para
filosof adalah mereka yang mencurahkan pemikiran untuk menunjukkan kebenaran
dalam rangka meraih kebajikan dan kebahagiaan.
Cattel (dalam Clark, 1983) menegaskan bahwa
intelektualitas merupakan kombinasi
sifat-sifat manusia yang terlihat dalam kemampuan memahami hubungan yang lebih
kompleks, semua proses berfikir abstrak, menyesuaikan diri dalam pemecahan masalah
dan kemampuan memperoleh kemampuan baru. Intelektualitas dengan
demikian berorientasi kepada kebajikan, maka selayaknya dibuka lebar ruangnya,
bukan dibungka, apalagi diancam penjara. Diskursus atau dialektika merupakan
pertengakaran pikiran yang positif, meski tidak semua bisa menikmatinya.
Relasi intelektualitas dengan kemajuan peradaban sebuah
bangsa adalah daya analitik dan problem solving. Bagi David Wechsler
intelektualitas adalah totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dengan
tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi lingkungan secara
efektif. Jangan sampai negeri yang telah
78 tahun merdeka masih memelihara watak-watak penjajah yang selalu membungkan
suara kritis pribumi saat itu.
Kaum intelektual harus punya komitmen tinggi di atas
jalan yang lurus. Sebab, jika suatu bangsa, kaum intelektualnya
tidak lagi berjalan di atas jalan ilmu yang lurus, namun sudah melakukan
penyimpangan, berarti mereka tengah mengalami turbulensi intelektual atau
tengah memilih untuk menjadi pelacur intelektual. Turbulensi pesawat akan
mengakibatkan kegoncangan di udara, sementara turbulensi intelektual akan
menyebabkan kekacauan kehidupan sosial suatu bangsa.
Di atas adalah rumusan intelektualitas dalam pandangan
filsafat. Sementara, konsepsi intelektualitas dalam Islam disebut ulil al baab,
yakni mereka yang senantiasa berpikir tentang fakta empirik seperti manusia,
kehidupan dan alam semesta yang direlasikan dengan eksistensi Allah. Peradaban
ulil al baab tidak sebatas untuk meraih kemajuan santifik semata, namun juga
untuk mewujudkan kemuliaan perilaku manusia. Dengan demikian
tradisi berfikir dalam Islam merupakan beyond intellectual.
Allah menegaskan dalam firmanNya : Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami
dari siksa neraka. (QS Ali Imran : 190-191).
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana aia
diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan ?. Dan gunung-gunung bagaimana
ia ditegakkan ?. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan ?. Maka berilah peringatan,
karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. (QS Al Ghaasyiah : 17-21). Ayat ini menunjukkan beyond intellectual Islam, yakni selain sebagai
pemikir (peneliti), kaum intelektual muslim juga wajib melakukan dakwah amar ma’ruf
nahi munkar.
Prinsip amar ma’ruf nahi mungkar menurut Imam Abu
Hanifah termasuk tiang agama. Allah telah mengirimkan banyak utusan untuk
menegakkan dakwah Islam. Jika prinsip amar ma’ruf nahi munkar ini diabaikan
oleh kaum intelektual, maka kesesatan dan kesasaran akan tersebar luas di
kalangan masyarakat. Imam Abu Hanifah menekankan pentingnya amar ma’ruf nahi
munkar dalam situasi apapun.
Islam menegaskan barang siapa melihat kemungkaran,
maka harus diubah dengan tangannya atau dengan lisannya atau paling rendah
keimanan seseorang saat mengubah kemungkaran dengan hatinya. Perintah dakwah
amar ma’ruf nahi munkar ini ditegaskan oleh Allah dalam firmanNya : Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran : 104)
Konsepsi intelektualitas dalam peradaban Islam bukan
sebatas berfikir, namun juga memberikan peringatan kepada manusia. Sesungguhnya
kami mengutusmu (wahai Muhammad) dengan haq sebagai pemberi kabar gembira
(basyiran) dan peringatan (nadziran) (QS Al Baqarah : 119). Maka berilah
peringatan, karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.
(QS Al Ghaasyiyah : 21). Dan Kami tidak membinasakan satu negeri pun, melainkan
sesudah ada baginya orang-orang yang memberi peringatan (QS Asy Syu’araa :
208).
Oleh sebab itu,
sudah saatnya negeri ini membuka kemerdekaan intelektual bagi kaum intelektual
di negeri ini untuk membuka ruang diskursus dan dialektika, baik di masyarakat
luas mapun di kampus-kampus. Tujuannya tentu saja agar negeri ini tidak salah
jalan. Kaum intelektual
muslim secara khusus harus memberikan pencerahan akan pentingnya menjadikan
Islam sebagai solusi negeri ini.
Kesalahpahaman
masyarakat tentang ajaran Islam
seperti khilafah disebabkan oleh gerakan islamophobia
yang digelorakan barat. Padahal khilafah adalah warisan Rasulullah yang sangat
berharga bagi kebaikan tata kelola dunia ini, bukan hanya untuk Indonesia.
Membuka ruang
diskursus tentang khilafah tentu saja akan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jangan sampai hanya melancarkan propaganda yang tidak ilmiah, namun tidak juga
memiliki solusi yang baik bagi krisis multidimensi negeri ini. Selain
islamopobia, propaganda kebencian kepada khilafah juga merupakan semacam
kekelahan intelektual. Karena itu semestinya dibuka ruang dialogis intelektual
tentang khilafah ini dari berbagai sudut pandang. Kaum intelektual yang
obyektif tentu saja bisa membedakan antara Islam, kapitalisme dan komunisme.
Khilafah adalah
solusi alternatif dan terbaik untuk kriris multidimensi dunia saat ini. Saat
semua pihak open minded, obyektif dan saintifk membincangkan sistem khilafah
ini agar terjadi semacam pencerdasan rakyat, bukan pendunguan sosial. Ruang
dialogis tentang khilafah juga akan menumbuhkan tradisi ilmu di negeri ini. Sebab
peradaban itu ditopang oleh ilmu, bukan persepsi, apalagi kedunguan.
Sudah seharusnya
negeri ini memerdekakan kaum intelektual, bukan malah semakin membelenggu dan
membungkan dengan berbagai ancaman delik hukum. Sebab jika masih demikian, maka
negeri ini sesungguhnya belum merdeka, namun masih dihegemoni watak penjajah.
(AhmadSastra,KotaHujan,23/08/23
: 11.40 WIB)