Oleh :
Ahmad Sastra
Disinyalir
seorang pejabat negara atau tepatnya ketua sebuah partai telah melakukan
pelecehan atas ajaran Islam hanya demi pemujaannya kepada manusia. Inilah watak
asli demokrasi sekuler yang juga akan melahirkan sikap benci kepada agama,
khususnya Islam. Sebab demokrasi sekuler adalah sistem politik anti agama. Sekulerisme
adalah paham dimana urusan dunia dipisahkan dari agama.
Paham sekulerisme
agama, sebagaimana juga paham pluralisme dan liberalisme agama telah dinyatakan haram oleh
fatwa MUI tahun 2005 dengan dasar dalil naqli : “Barangsiapa mencari agama
selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imran
[3]: 85). “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam...”.
(QS. Ali Imran [3]: 19).
Dalil
lainnya adalah : “Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. al-Kafirun
[109] : 6). “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata”. (QS. al-Ahzab [33]: 36).
Sekulerisme
itu intinya anti Islam, makanya memuji kemaksiatan dan cenderung melecehkan
ajaran Islam, dengan berbagai bentuk dan ekspresinya. Maksiat merupakan lawan
dari taat, istiqomah, dan takwa. Perbuatan ini dapat menjerumuskan dan
membahayakan manusia, baik di dunia maupun akhirat. Lantas, apa itu maksiat
?. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), maksiat diartikan sebagai perbuatan yang melanggar perintah Allah SWT.
Jika seorang hamba melakukan perbuatan bermaksiat, artinya dia menentang Allah
SWT. Melecehkan ajaran Islam adalah bentuk kemaksiatan dan karenanya dimurkai
oleh Allah.
Orang
yang melakukan maksiat ialah yang berbuat sia-sia dan akan mendapatkan hukuman
atas perbuatannya itu. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang Artinya : (Aku
hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia akan mendapat (azab)
neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS. Al Jinn: 23).
Dalam
kitab berjudul Fawaidul Fawaid karya Ibnul Qayyim disebutkan bahwa pokok-pokok
maksiat, baik yang kecil maupun yang besar ada tiga perkara, yakni
bergantungnya hati kepada selain Allah, mengikuti kekuatan marah, dan menaati
kekuatan syahwat. Perdukunan termasuk perkara yang pertama dari kemaksiatan.
Sementara nikah beda agama termasuk kemaksiatan jenis ketiga.
Sementara negeri
ini konon katanya adalah negara hukum, dimana setiap tindakan warga negara
terikat dengan hukum, termasuk perbuatan yang diduga menghina ajaran agama. Hukum
penistaan agama merupakan hukum yang diciptakan untuk mereka yang
melakukan penistaan terhadap suatu agama tertentu. Penistaan terhadap agama
merupakan tindakan yang tidak bermoral dan menyimpang.
Penista
agama memiliki sifat-sifat yang bertentangan dengan norma-norma kehidupan. Hukum
penistaan agama sangat perlu dibuat, demi menjaga kenyamanan para penganut agama.
Hukum penistaan agama akan mengurangi kebencian terhadap suatu agama tertentu.
Hukum
Penistaan Agama di Indonesia tertera pada Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yang berbunyi : pertama, Setiap
orang yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan
yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap
suatu agama yang dianut di Indonesia, diancam dengan pidana penjara
selama-lamanya 5 (lima) tahun. Kedua, Dalam hal penghinaan dilakukan secara
tertulis atau melalui media elektronik dengan ancaman pidana penjara
selama-lamanya 6 (enam) tahun.
Syarat
menjadi tersangka dalam pasal 156a KUHP : pertama, Pelaku
dengan sengaja mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang
pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu
agama yang dianut di Indonesia. Kedua, Perbuatan dilakukan di muka umum atau melalui media
tertulis atau elektronik. Jadi, seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan
penistaan agama di Indonesia dapat dikenakan hukum pidana penjara
selama-lamanya 5 tahun jika perbuatan dilakukan di muka umum atau
selama-lamanya 6 tahun jika penghinaan dilakukan secara tertulis atau melalui
media elektronik.
Beberapa kasus yang dinilai sebagai
penistaan agama diantaranya adalah : Pertama, Kasus Ahok: Pada tahun 2016,
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa dikenal sebagai
Ahok, dianggap telah melakukan penistaan agama dalam pidatonya di Kepulauan
Seribu. Ahok dianggap telah merendahkan surat Al-Maidah ayat 51 dalam Al-Quran.
Kedua, Kasus Permadi Arya alias Abu
Janda: Pada tahun 2021, aktivis media sosial Permadi Arya atau yang dikenal
sebagai Abu Janda dilaporkan atas dugaan penistaan agama dalam cuitannya yang
dinilai merendahkan agama Islam. Ketiga, Kasus Sukmawati Soekarnoputri: Pada
tahun 2018, Sukmawati Soekarnoputri, dilaporkan atas dugaan penistaan agama
dalam puisinya yang dianggap merendahkan agama Islam.
Sebab watak demokrasi sekuler itu anti
agama, maka kecenderungan para pemuja paham ini juga akan membenci agama dengan
berbagai motifnya, baik untuk sekedar untuk popularitas maupun untuk
kepentingan pragmatis. Maka, jika negeri ini masih terus menerapkan demokrasi
sekuler, maka selama itu pula akan marah pelaku pendengki agama dan
melecehkannya demi kepentingan duniawi mereka.
(AhmadSastra,KotaHujan, 20/12/23 : 11.02
WIB)