KRITISI DEMOKRASI, SELAMATKAN NEGERI



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Jelang pelaksanaan pemilu ‘pesta demokrasi’ tahun 2024, banyak kaum akademisi dari berbagai kampus besar di Indonesia menyuarakan petisi kritik tajam kepada pemerintah Jokowi yang dianggap telah menyalahi prinsip demokrasi, karena telah cawe-cawe pemilu dan dianggap tidak netral. Banyak yang menyebut presiden telah menyalahi jalur. Pro kontra sontak menyeruak berkaitan dengan gelombang petisi kaum akademik ini.

 

Civitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) membuat Petisi Bulaksumur, Rabu (31/1). Lewat petisi itu, mereka mengkritik pemerintahan Presiden Jokowi yang dianggap telah keluar jalur. Tak ketinggalan, Civitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) mengkritik kondisi pemerintahan Presiden Jokowi yang dianggap menyalahgunakan wewenang jelang Pemilu, Kamis (1/2). Mereka menyuarakan kritik melalui pernyataan sikap 'Indonesia Darurat Kenegarawanan'.

 

Para mahasiswa dan sivitas akademika Universitas Padjadjaran (Unpad) menyampaikan kritik bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) jelang Pemilihan Umum (Pemilu 2024 di Gedung Pintu Utama Kampus Unpad Dipatiukur, Kota Bandung, Sabtu (3/2/2024). Kritik berjudul “Petisi Seruan Padjadjaran: Selamatkan Negara Hukum yang Demokratis, Beretika, dan Bermartabat” ini disampaikan oleh Ketua Senat Akademika Unpad Prof Ganjar Kurnia. Dalam petisi tersebut, sivitas akademika Unpad menilai bahwa kualitas demokrasi di masa kepemimpinan Jokowi telah menurun.

 

Ditulis oleh Kompas, bahwa Ganjar Kurnia menyoroti peristiwa-peristiwa sosial, politik, ekonomi, dan hukum belakangan ini adalah sebuah rangkaian dari menurunnya kualitas demokrasi selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Selain itu, korupsi yang kian merajalela juga menjadi perhatian, di mana Unpad menyoroti indeks persepsi korupsi yang buruk, pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Omnibus Law yang tak mengindahkan adanya partisipasi publik. Hal yang juga menjadi perhatian adalah adanya nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan. Sivitas akademika Unpad menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia capres-cawapres.

 

Sementara itu, Guru Besar Hukum Tata Negara Unpad, Prof Susi Dwi Harijanti mengatakan bahwa Unpad mengambil langkah yang inklusif dengan melibatkan mahasiswa dan alumni untuk ikut menandatangani petisi tersebut. Sebanyak 82 guru besar, 1.030 mahasiswa, dosen, dan alumni telah menandatangani petisi tersebut.

 

Forum Keluarga Besar IPB University tak ketinggalan, mereka menyampaikan seruannya untuk mendorong proses suksesi kepemimpinan nasional melalui pemilihan umum (pemilu) berlangsung tertib, aman dan damai. Guru Besar IPB Haryadi Kartodihardjo yang membacakan petisi itu mengatakan untuk praktik demokrasi yang bermartabat, ada lima poin dalam seruan yang mewakili para guru besar dan mahasiswa IPB University, pertama, kepemimpinan dan pemerintahan Indonesia harus dikembalikan pada semangat sila keempat Pancasila. Kedua, kepemimpinan nasional wajib dipilih melalui proses demokrasi yang bebas, jujur, dan adil untuk memperoleh legitimasi kuat dari rakyat, serta dapat mewujudkan tata kelola pemerintahan dengan check and balance antara pemerintah dan DPR atau DPD yang baik.

 

Ketiga menurut Haryadi, pemimpin nasional harus menjunjung tinggi etika dan moral yang sejalan dengan sumpah jabatan sehingga kepercayaan masyarakat dapat terjaga dan menjadi teladan bagi rakyat. Keempat, peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya harus dikembalikan pada amanat rakyat dan akal sehat. Kelima adalah sikap dan suara kritis sivitas akademika dan setiap warga negara harus dilindungi dan dapat diekspresikan serta tanpa rasa takut untuk mewujudkan demokrasi yang bermartabat.

 

Keseluruhan petisi bermuara kepada pentingnya menjaga demokrasi dan demokratisasi. Mereka sepakat bahwa praktek demokrasi telah menyalahi aturan normatifnya, khususnya soal etika dan martabat.  Tak ada satupun petisi yang justru mengkritisi demokrasi sebagai sebuah sistem politik.  Demokrasi memang telah merambah luas ke seluruh dunia dan secara sukarela atau tidak, diterima oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Demokrasi telah menjadi agenda utama dunia paska perang dingin, yang dimotori oleh Amerika Serikat (AS).

 

Dunia tiba-tiba menjadi peka terhadap masalah-masalah demokratisasi di suatu negara, seolah-olah bangsa yang menolak atau tidak menggunakannya sebagai ideologi adalah bangsa yang sakit, oleh karena itu perlu disembuhkan bahkan jika terpaksa harus diamputasi, termasuk Indonesia, negeri muslim terbesar di dunia ini. Pertanyannya, mengapa banyak kaum akademisi, termasuk akademisi muslim bisa begitu saja menerima demokrasi, padahal faktanya dengan demokrasi inilah oligarki kapitalisme tumbuh subur.

 

Demokrasi berasal dari bahasa Latin, demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan), ia selalu diasosiasikan sebagai suatu bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi dinilai sebagai sebuah sistem nilai kemanusiaan yang paling menjanjikan masa depan umat manusia yang lebih baik dari saat ini. Ia juga dinilai sesuai dengan tuntutan-tuntutan kebutuhan 'non material' manusia.

 

Nilai-nilai Demokrasi itu kemudian diyakini akan dapat memanusiakan manusia, sebab nilai-nilainya bertitik tolak dari 'nilai-nilai luhur' kemanusiaan. Anggapan ini terutama muncul karena faktor penderitaan manusia akibat fasisme, totaliterianisme, komunisme, dan paham-paham anti-demokrasi lainnya pada beberapa dekade yang lalu. Definisi di atas mempertegas bahwa eksistensi tuhan tidak dihitung, alias diabaikan. Padahal Indonesia konon katanya sebagai negara berketuhanan yang maha esa. Semestinya aspek paradigmatic ini menjadi perhatian utama pada akademisi muslim di kampus-kampus.

 

Ketiga mengabaikan peran tuhan, maka praktek berdemokrasi didasarkan oleh teori kontrak sosial, dimana kedaulatan negara bukanlah sesuatu yang diberikan begitu saja (taken for granted) atau berasal dari Tuhan (not derived from God). Kedaulatan merupakan sebuah produk proses perjanjian sosial antara individu dalam masyarakat, yang tidak ada sangkut pautnya dengan pendelegasian kekuasaan ataupun berasal dari Tuhan kepada seorang penguasa tertentu. Maka pada dasarnya teori Kontrak Sosial merupakan suatu teori politik yang sepenuhnya bersifat sekuler dan sangat bertentangan dengan manhaj Islam (ketentuan dan kebiasaan dalam Islam). Perbedaan yang mendasar antara Islam dan demokrasi ada pada paradigma kedaulatan hukum.

 

Padahal Allah Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an: Allah, tidak ada Tuhan (Yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi (kekuasaan) Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Qs. al-Baqarah [2]: 255). Dan Dialah Yang Berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (Qs. al-An'aam: 18).

 

Sekulerisme sebagai sifat bawaan demokrasi adalah pandangan dunia yang menolak campur tangan agama dalam kehidupan sosial, hukum, ekonomi, politik, dan budaya. Dengan kata lain, sekulerisme adalah paham yang memisahkan antara kehidupan dengan agama. Konsep ini menganggap bahwa kebijakan publik, hukum, dan etika harus didasarkan pada akal budi, bukan agama. Dalam masyarakat sekuler, kebebasan beragama diakui sebagai hak asasi manusia, tetapi agama diperlakukan sebagai urusan pribadi dan tidak mempengaruhi kebijakan publik.

 

MUI pernah menetapkan fatwa haram untuk liberalisme, pluralisme dan sekulerisme agama pada tahun 2005. MUI berpendapat bahwa agama harus menjadi sumber nilai dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya, dan bahwa pemisahan antara agama dan negara yang diusung oleh sekulerisme dapat merusak dan memperlemah keimanan umat muslim.

 

Pemisahan antara agama dan negara yang diusung oleh sekulerisme dapat memperlemah keimanan umat muslim, karena pandangan sekulerisme menolak campur tangan agama dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya, sehingga nilai-nilai keagamaan tidak lagi diakui sebagai sumber nilai dalam kehidupan bermasyarakat.

 

Sekulerisme tentu saja bukan ajaran Islam. Sejarah kemunculannya terkait dengan dinamika gereja di Eropa. Sejarah munculnya sekulerisme dapat ditelusuri kembali ke masa pencerahan di Eropa pada abad ke-17 dan ke-18. Pada saat itu, pemikir-pemikir seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Voltaire mulai mempertanyakan peran gereja dalam kehidupan masyarakat.

 

Mereka menekankan pada pentingnya akal budi dan ilmu pengetahuan dalam mengarahkan kebijakan publik. Tentu saja Islam dan Kristen memiliki perbedaan fundamental soal ini. Sebab Islam tidak mengenal pemisahan kehidupan dengan hukum syariah. Semua masalah individu dan sosial telah diatur dalam syariah Islam.

 

Selama Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18, paham sekulerisme semakin meluas dan menuntut pemisahan gereja dan negara. Pada saat itu, kekuasaan gereja di Prancis dikritik karena dianggap korup dan tidak mencerminkan kepentingan rakyat. Gerakan sekulerisme ini memperjuangkan hak individu untuk berpikir dan bertindak secara bebas, tanpa campur tangan agama atau kekuasaan gereja.

 

Sejak itu, pandangan sekulerisme semakin berkembang di negara-negara Barat dan menjadi dasar bagi sistem pemerintahan yang demokratis dan pluralis. Maka, sistem demokrasi jelas berpaham sekulerisme ini. Sementara sekulerisme telah diharamkan oleh MUI.

 

Sekulerisme sebagai pandangan dunia yang menekankan pada pemisahan antara agama dan negara, memiliki daya rusak bagi kehidupan sosial, politik, dan budaya, terutama bagi umat Islam, politik Islam dan ormas Islam . Berikut beberapa daya rusak sekulerisme : pertama, pemisahan agama dan negara dapat memperlemah nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga moralitas dan etika sosial dapat menjadi kurang dihargai dan terabaikan. Partai dan ormas Islam yang mengadopsi sekulerisme tidak akan menjadikan Islam sebagai landasan dan tujuan perjuangannya.

 

Kedua, sekulerisme cenderung menekankan pada kepentingan dunia atau materi, sehingga spiritualitas dan nilai-nilai keagamaan dapat diabaikan dalam kehidupan sehari-hari. Partai Islam dan ormas Islam yang menerapkan meyakini sekulerisme akan cenderung pragmatis sebagaimana organisasi sekuler lainnya.

 

Ketiga, sekulerisme dapat memicu individualisme dan hedonisme serta sering tidak mengindahkan halal dan haram, di mana individu cenderung lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri dari pada kepentingan bersama. Hal ini dapat dilihat dari partai dan ormas Islam yang para pengurusnya banyak yang dipenjara karena terlibat korupsi.

 

Keempat, pemisahan agama dan negara dapat memicu terjadinya benturan antara ajaran agama dan nilai-nilai sekuler, seperti dalam hal legalisasi praktik-praktik yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Hal ini sering terjadi di negeri ini, sebab perda-perda syariah justru ditolak, sementara perda-perda yang bertentangan dengan Islam justru disahkan.

 

Kelima, sekulerisme dapat memicu polarisasi dan konflik antara kelompok agama dan non-agama, terutama jika diimplementasikan dengan cara yang tidak proporsional atau memihak pada kelompok tertentu. Sekulerisme di negeri ini terbukti telah memecah umat Islam ke dalam berbagai organisasi politik dan sosial. Saat pemilu demokrasi, terlihat jelas perpecahan umat Islam.

 

Padahal umat Islam adalah umat yang satu, karena mereka memiliki keyakinan yang sama dalam agama Islam dan mengikuti ajaran yang sama dalam Al-Quran dan Hadits. Hal ini juga tercermin dalam pernyataan syahadat, yaitu "Laa ilaaha illa Allah, Muhammadur Rasulullah" yang artinya "Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah".

 

Selain itu, umat Islam adalah umat yang satu  karena memiliki sumber nilai dan hukum yang sama dalam Islam, serta menjunjung tinggi persatuan dan solidaritas antar sesama umat Islam. Dalam Islam, umat ditekankan untuk saling tolong-menolong, menghormati hak-hak orang lain, dan menjaga kerukunan serta keharmonisan dalam bermasyarakat. Sumber hukum Islam adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas, bukan demokrasi sekuler apalagi piagam PBB.

 

Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk terus memperkuat persatuan dan solidaritas dalam menghadapi tantangan dan perbedaan yang ada, serta menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai kesejahteraan bersama dan mewujudkan Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam) dengan menjadikan al Qur’an sebagai sumber hukum, baik individu maupun sosial kenegaraan.

 

Padahal Allah telah berfirman agar umat Islam kembali kepada Al Qur’an dan Al hadits : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil-amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs. an-Nisaa' [4]: 59).

 

Mengadobsi demokrasi sama dengan sedang menjerumuskan kepada jebakan kemunafikan politik. Allah berfirman : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syetan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan sejauh-jauhnya. (Qs. an-Nisaa' [4]: 60).

 

Jadi dengan demikian, semestinya, sebagai akademisi muslim yang terikat dengan hukum Allah menyampaikan petisi untuk meninggalkan demokrasi secara total dan kembali kepada Islam sebagai sistem politik negeri ini agar Indonesia terselamatkan dan penuh keberkahan. Sebab demokrasi justru menjadi sumber kerusakan negeri ini. Sementara Indonesia hanya bisa diselamatkan dengan Islam.

 

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (QS Al A’raf : 96)

 

(AhmadSastra,KotaHujan, 04/02/24 : 21.10 WIB)

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Categories