Oleh :
Ahmad Sastra
Video Pendeta
Gilbert Lumoindong yang sedang mengisi jemaat gereja tersebar luas dan
menimbulkan kegaduhan. Pasalanya, ungkapan dalam video itu dianggap telah
melecehkan ajaran Islam tentang zakat dan sholat. Jika diperhatikan dari cara
mengungkapkan dan membandingkan antara persepuluh dan 2,5 persen zakat dalam Islam memang cenderung melecehkan ajaran
zakat dalam Islam.
Cara pengungkapan
zakat 2,5 persen dengan gaya tertawa terlihat seperti merendahkan karena
kemudian menyingggung terkait kesulitan cara sholat yang harus banyak geraknya
seperti rukuk dan melipat kaki. Gerakan sholat yang dianggap Gilbert sebagai
gerakan yang sulit itu dikaitkan sebagai konsekuensi bayar zakat yang 2,5
persen.
Sementara
persepuluh dalam Kristen dikaitkan dengan cara ibadah kaum kristiani yang dianggap
mudah karena tingg duduk, berdiri tepuk tangan dan menyanyi juga dikaitkan
dengan konsekuensi persepuluh. Dia mengkritik bagi kaum kristiani yang tidak
mau membayar persepuluh dengan mengatakan biarlah bayar 2,5 persen tapi
sembahyang 5 kali sehari.
Ungkapan-uangkapan
yang aneh ini tidak direspons sebagai sebuah penistaan agama islam, namun
justru disambut dengan suara tertawa para jemaat dan bahkan tepuk tangan. Sontan
peristiwa ini menimbulkan kegaduhan, khususnya umat Islam yang menganggap
pendeta gilbert telah melakukan penistiaan agama Islam dan layak dihukum sesuai
dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Tidak sampai
disitu, banyak juga dari kalangan kristiani juga banyak yang memberikan
tanggapan ketidaksetujuan atas perilaku sang pendeta dengan menegaskan bahwa
apa yang disampaikan pendeta gilbert bukanlah representasi dari ajaran kristen dan
suara mayoritas kristen. Sebagaimana tuntutan
muslim, umat kritiani juga ada yang menganjurkan agar kasus Gilbert dibawa ke
ranah hukum.
Sebenarnya
kasus penistaan ajaran Islam, baik terkait ajaran Islam maupun penistaan
terhadap al Qur’an atau terhadap Rasulullah sudah sering terjadi, sejak zaman
dulu. Entah akan terjadi berapa kali lagi. Sebagai contoh pernah terjadi juga
penistaan kepada Rasulullah di India yang dilakukan oleh salah satu anggota
sebuah partai.
Dua politikus India yang menghina Nabi
Muhammad SAW mendapat hukuman skorsing dari Partai Bharatiya Janata (BJP).
Nupur Sharma dan Naveen Kumar Jindal merupakan anggota BJP. Sharma menjabat
sebagai juru bicara, sementara Jidal adalah kepala operasi media. Keduanya
melontarkan kata-kata yang menghina Nabi Muhammad SAW. Sharma mengeluarkan
pernyataan di sebuah acara debat di televisi, sedangkan Jidal mencuitkannya di
media sosial.
Sharma sendiri telah mengatakan di Twitter
bahwa dia tidak pernah ada niat untuk menyakiti perasaan agama siapa pun. "Jika
kata-kata saya telah menyebabkan ketidaknyamanan atau menyakiti perasaan
keagamaan siapa pun, saya dengan ini menarik pernyataan saya tanpa
syarat," katanya.
Sementara juru bicara BJP lainnya, yakni
Naveen Jindal dikeluarkan dari partai, karena komentar yang dia buat tentang
Islam di media sosial. Jindal mengatakan di Twitter bahwa dia mempertanyakan
beberapa komentar yang dibuat terhadap dewa-dewa Hindu. "Saya hanya
menanyai mereka tetapi itu tidak berarti saya menentang agama apa pun," katanya.
Dalam hukum Islam, penghinaan terhadap Nabi
Muhammad SAW dianggap sebagai tindakan yang sangat serius. Beberapa negara
dengan hukum berbasis Islam mungkin menerapkan hukuman berat, bahkan hukuman
mati, untuk penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW.
Meskipun Pendeta
Gilbert Lumoindong telah menemui Yusuf Kalla, ketua Dewan Masjid Indonesia, namun atas
perkataan ini, Gilbert dilaporkan ke Polda Metro Jaya terkait
dugaan penistaan agama buntut ceramahnya yang menyinggung salat dan zakat
dalam Islam. Nampak dalam perminataan maaf didepan Yusuf Kalla, pendeta Gilbert
banyak banyak menyampaikan apologi, sangat disayangkan.
"Pertama-tama,
dengan segala kerendahan hati saya meminta maaf atas kegaduhan yang terjadi.
Saya tidak ada niat untuk mengolok-olok apalagi menghina. Sama sekali tidak
ada," kata Pendeta Gilbert Lumoindong di bilangan Jakarta Selatan, Senin
(16/4).
Dia pun
memberikan klarifikasi atas pernyataannya yang menyinggung soal sholat dan
zakat. Dia menegaskan bahwa pernyataannya itu bukan ditujukan untuk publik
luas. Pernyataannya itu hanya untuk internal di kalangan jemaatnya saja.
"Tetapi
karena jemaat kita ada dua, ada jemaat gereja, ada jemaat online. Jadi otomatis
ada di YouTube kami. Itu jelas ada tulisan ibadah Minggu. Jadi itu sama sekali
tidak dimaksudkan untuk umum," paparnya.
Yang
membuatnya cukup kecewa, video viral itu sudah diedit sehingga menimbulkan
pemahaman yang keluar dari konteks atau pemahamannya tidak lengkap alias
sepotong-sepotog. Pendeta Gilbert Lumoindong pun menyatakan, tujuan dari
pernyataannya sebenarnya sebagai bagian dari auto kritik terkait ibadah di
kalangan umat Kristen
Pelaporan
tersebut dibenarkan oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam
Indradi. Kendati demikian ia belum membeberkan sosok pelapor. "Benar.
Laporan diterima tanggal 16 April 2024 tentang dugaan penistaan agama,"
ujarnya Rabu (17/4). Semoga Indonesia masih menjadi negara hukum yang adil atas
segala bentuk penistaan agama sehingga tidak akan terjadi lagi berbagai bentuk
penistaan dan pelecehan atas ajaran agama apapun.
Paradoks
memang, disaat pemerintah menggembor-gemborkan program moderasi agama, namun
disisi lain justru semkain banyak terjadi penistaan agama. Pemerintah dalam hal
ini kementerian agama juga harus tegas kepada siapa saja yang melecehkan agama,
minimal memberikan statemen yang tegas. Jangan sampai kementerian agama
dianggap tidak adil dalam memberikan sikap atas berbagai penistaan agama ini.
Di Indonesia,
penistaan agama diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pasal-pasal yang relevan
dalam undang-undang tersebut adalah Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 156a Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 1 ayat (1)
UU No. 1 Tahun 1965. Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang yang dengan
sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang
pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu
agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak
menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, diancam
dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Pasal 156a KUHP. Pasal
ini mengatur tentang penodaan agama yang dapat dikenakan sanksi pidana. Pasal
156a KUHP menyatakan bahwa: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima
tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum menyatakan perasaan atau
melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan
atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; atau b. dengan
maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Nah, kasus
Pendeta Gilbert ini tentu saja semestinya dibawa ke ranah hukum setelah banyak
pengaduan masyarakat sehingga dengan tegaknya hukum di negeri ini tidak terjadi
lagi kasus-kasus penistaan atas agama.
(AhmadSastra,KotaHujan,18/04/24
: 06.07 WIB)
Untuk kalangan sendiri, tapi tidak melarang untuk of the record, yg disalahkan jemaat online gile lu Bert! Klu sdh begini laku juga materai 10000...minta maaf setelah viral. Semoga hidayah Allah SWT menyapamu Pdt.GL.
BalasHapus