Oleh : Ahmad Sastra
Idul Adha yang jatuh
pada hari Minggu, 16 Juni 2024 tahun ini memiliki akar historis yang agung dan
tak akan pernah terulang yakni tentang sebuah ujian pengorbanan manusia yang melampaui batas-batas naluri kemanusiaan yakni saat
nabiyullah Ibrahim as harus mempertaruhkan naluri kepabakan dan kemanusiaan
untuk menyembelih anaknya yang telah lama dinanti kelahirannya dan ketika rasa
cinta itu sedang memuncak kepada anaknya Ismail as demi sebuah keimanan dan
kenabian.
Sejarah agung
tentang pengobanan ini diabadikan oleh Allah dalam Surat Asshofat ayat 102- 109
: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku
Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah
apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang
yang sabar". Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan
anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). dan Kami panggillah
dia: "Hai Ibrahim, Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu
Sesungguhnya Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat
baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. dan Kami tebus anak
itu dengan seekor sembelihan yang besar.
Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan
orang-orang yang datang Kemudian, (yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas
Ibrahim".
Apa susungguhnya
tujuan Allah mengabadikan sejarah agung tentang ujian keimanan dan pengorbanan
ini. Tidak lain agar kita yang hidup di kemudian hari mampu menjadikan guru
kehidupan bagi sebuah kesadaran akan konsekuensi keimanan seorang muslim
sekaligus bagaimana membangun harapan dan optimisme atas balasan kebaikan dari
Allah bagi yang bersabar. Setidaknya kita bisa hikmah besar sebagai guru
kehidupan dalam peristiwa Idul Adha ini yakni :
Pertama Berguru
kepada Nabiyullah Ibrahim as tentang kekokohan keimanan dan konsekuensi yang
harus dihadapi. Nabi Ibrahim telah mengajarkan kepada kita tentang totalitas
ketaatan menjalankan perintah Allah sebagai konsekuensi keimanan, meskipun
perintahnya itu terasa sangat berat. Menyembelih anaknya adalah perintah
sekaligus ujian terberat untuk seorang manusia, namun karena itu adalah
perintah Allah, maka dengan yakin Nabi Ibrahim melaksanakannya dan tidak
memperdulikan syetan yang terus menggodanya.
Nabi Ibrahim
sadar bahwa tujuan hidup hanyalah untuk beribadah kepada Allah semata-mata lillah
untuk menggapai ridho Allah, lain itu tidak. Katakanlah: Sesungguhnya
sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta
alam. (QS Al An’am : 162). Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah
beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (QS Al Ankabut : 2).
Nabi Ibrahim
telah mengajarkan kepada kita bahwa konsekuensi keimanan juga adalah kerelaan
mengorbankan harta yang paling berharga dan terbaik kepada Allah. Jika
diibaratkan harta, maka anak adalah harta yang tidak bisa dinilai harganya
dengan uang sebanyak apapun. Jadi kita dikatakan beriman jika telah ikhlas
mengorbankan harta yang paling baik, paling dicintai, dan paling berkualitas
karena Allah akan menggantikannya dengan syurga dan kebahagiaan yang jauh lebih
mahal.
Namun meskipun
menyembelih Ismail adalah perintah Allah, namun Nabi Ibrahim tetap menanyakan
bagaimana pendapat Ismail putranya. Dalam peristiwa ini Nabi Ibrahim mengajrkan
kepada kita tentang prinsip-prinsip dan metode pendidikan keluarga kaitannya
dengan fungsi seorang ayah. Kedudukan ayah dalam konteks pendidikan keluarga
selain berfungsi sebagai pemimpin, juga berfungsi sebagai guru sekaligus
sahabat bagi anak-anaknya. Sehingga ayah akan dicintai, dipercaya dan diikuti
oleh anak-anaknya. Perisitiwa ini juga
menunjukkan Nabi Ibrahim sedang mewariskan nilai-nilai aqidah kepada Ismail
putranya sebagai upaya kaderisasi.
Kedua, kita
bisa berguru kepada Nabiyullah Ismail as. Dalam peritiwa ini Nabi Ismail telah
mengajarkan kepada kita tentang ketaatan kepada ayahnya sebagai pemimpin rumah
tangga selama ayahnya taat kepada Allah dan memerintahkan perkara yang tidak
bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Bahkan Ismail rela menyerahkan raga dan
nyawanya untuk menegakkan syariat Allah. Tidak ada ketaatan kepada manusia atau
pemimpin yang tidak taat kepada Allah dan Rasulnya. Hal ini sejalan dengan
firman Allah :
Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya. (QS An Nisaa : 59).
Untuk
menegakkan dan memenangkan hukum-hukum Allah,
nabi Ismail telah menjadi guru kehidupan kita dengan rela menjual
nyawanya kepada Allah demi menggapai kemenangan syariat Islam.
Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan
memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka
membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di
dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya
(selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu
lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar. (QS At Taubah : 111)
Digantikannya
nabi Ismail dengan seekor domba yang bagus untuk disembelih adalah pelajaran
hidup bahwa konsekuensi keimanan juga diwujudkan dengan selalu memperhatikan,
mencintai dan memikirkan saudaranya yang tidak mampu dengan berbagi rizki agar
turut bergembira merayakan Idul Adha. Tidaklah dikatakan beriman sebelum
mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Kebahagiaan
bukanlah ketika kita makan daging korban, kebahagiaan adalah ketika kita
melihat saudara kita yang tidak mampu bisa ikut merasakan makan daging korban
untuk merasakan kebahagiaan menyambut idhul adha, meskipun hanya setahun
sekali.
Ya, meskipun
hanya setahun sekali. Makan daging bagi kita yang mampu tidak ada hubungannya
dengan iman. Memikirkan nasib dan mengupayakan kebahagiaan saudaranya yang
tidak mampu untuk bisa makan daging adalah bagian dari konsekuensi keimanan.
Adalah dosa membiarkan tetangga atau saudara seiman dalam keadaan lapar dan
miskin, sedangkan kita hidup mewah dan bersenang-senang.
Ketiga, moment
idul adha ini kita bisa berguru pada lantunan Takbir yang menggema seantero
dunia. Hakekat lantunan takbir adalah
kesaksian seorang mukmin atas satu-satunya yang maha besar yakni Allah sang
pencipta dan yang lain kecil. Mengakui kemahabesaran Allah adalah konsekuensi
keimanan. Mengakui kebesaran Allah bukan hanya sebatas lisan melainkan juga
berupa perbuatan yakni hanya menyembah yang maha besar dan meninggalkan semua
bentuk sesembahan selain Allah.
Semua makhluk
dan aturan hukum selain Allah yang disembah manusia dinamakan thoghut. Dengan
demikian berguru pada lantunan takbir berarti hanya kepada Allah yang maha
besar yang berhak disembah dan diagungkan serta meninggalkan semua bentuk
sesembahan baik makhluk, harta benda maupun sistem aturan yang bertentangan
dengan hukum Allah.
Hal ini
berkaitan juga dengan larangan menjadikan thoghut atau orang-orang kafir
sebagai pemimpin bagi orang beriman. Karenanya menjadi aneh jika kita mengaku
beriman kepada Allah disatu sisi, namun tetap menjalankan hukum thoghut di sisi
lain. sejalan dengan orang seperti ini Allah berfirman :
Apakah kamu
tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa
yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka
hendak berhakim kepada thaghut Padahal mereka telah diperintah mengingkari
Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang
sejauh-jauhnya. (QS An Nisaa : 60)
Hai Nabi,
bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang
kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana, (QS Al Ahzab : 1)
Dan janganlah
kamu menuruti orang-orang yang kafir dan orang- orang munafik itu, janganlah
kamu hiraukan gangguan mereka dan bertawakkallah kepada Allah. dan cukuplah
Allah sebagai Pelindung. (QS Al Ahzab : 48)
Maka
bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu
ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antar mereka. (QS Al Insan :
24).
Keempat, momen
idul adha sebagai guru kehidupan, kita bisa berguru pada
peristiwa Haji. Haji adalah moment besar pertemuan umat Islam didunia menuju
satu titik yakni ka’bah dalam rangka menyambut panggilan Allah dengan
meninggalkan seluruh ikatan atribut primordialisme ashobiyah seperti negara, partai, suku, warna kulit,
bahasa menuju satu ikatan aqidah islamiyah. Dalam pandangan aqidah sesungguhnya
semua orang beriman adalah saudara.
Persatuan
seluruh umat Islam di dunia dalam ikatan aqidah adalah konsekuensi keimanan dan
ibadah haji telah mengajarkan nilai persatuan atas nama iman ini dalam satu
wadah ibadah haji. Konsekuensi keimanan adalah menjadikan aqidah Islam sebagai
tali pengikat persaudaraan dengan melepas semua ikatan dan identitas ashobiyah.
Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu
telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk. (QS Ali Imran : 103)
Ibadah haji
adalah semacam wadah spiritual yang hanya bersifat ritualistik yang hanya
setahun sekali. Selain hanya setahun sekali, ibadah haji juga hanya
mempertemukan 2 sampai 3 juta kaum muslimin. Padahal umat Islam diseluruh dunia
yang seharusnya terikat sebagai saudara berdasarkan tali aqidah sebanyak 1,9 milyar. Karenanya diperlukan
wadah yang tidak hanya spiritualistik melainkan juga politis, tidak hanya
menjangkau sebagian kecil umat namun menjangkau seluruh umat islam di dunia,
dan tidak hanya setahun sekali namun selama-lamanya. Menyatukan umat islam di
seluruh dunia tidak cukup dengan ibadah haji yang simbolik, temporal dan
ritualistic. Diperlukan wadah yang hakiki, abadi dan politis. Itulah mengapa Rasulullah mendirkan daulah
madinah untuk mengikat dan menyatukan kaum muslimin di seluruh dunia diatas
landasan aqidah Islam dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW.
Hari ini umat
Islam terpecah belah menjadi ribuan ikatan ashobiyah di seluruh dunia,
karenanya untuk menyatukan kembali diperlukan wadah dan kepemimpinan umat ini. Terpecah
belahnya umat Islam dalam ikatan nasionalisme inilah yang menyulitkan upaya
kemerdekaan Palestina dari penjajahan entitas yahudi lamnatullah. Palestina bisa
terbebas dari belengggu penjajahan entitas yahudi yang didukung penuh oleh amerika
jika negeri-negeri muslim bersatu melawannya dengan mengumandangkan jihad fi
sabilillah.
Diperlukan
sebuah daulah Islam dibawah satu kepemimpinan imam. Dengan demikian upaya
menyatukan kembali umat islam di seluruh dunia dalam wadah daulah dan dibawah
satu kepemimpinan adalah konsekuensi iman. Ibadah haji telah mengajarkan kita
untuk dijadikan ibrah dan inspirasi perjuangan menyatukan umat islam seluruh
dunia. Optimisme masa depan Palestina akan terwujud jika umat Islam bersatu
padu. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Umat Islam yang
secara normatif merupakan umat terbaik, kuntum
khoiru ummatin dan secara historis pernah mencapai puncak kejayaan dan
masa-masa keemasan, namun kini secara empirik umat islam justru tengah
mengalami puncak kemunduran dan keterpurukan di hampir semua aspek kehidupan.
Umat Islam secara internal kini mengalami kemiskinan harta dan ilmu,
keterbelakangan sains dan teknologi, perpecahan dalam berbagai wadah organisasi
dan negara.
Adapun secara
eksternal umat islam diberbagai negeri oleh negara-negara Barat mengalami
diskriminasi, dituduh sebagai teroris, diadu domba dari karena perbedaan
negara, partai hingga hanya beda sekolah hingga mengakibatkan bentrok sosial
hingga tawuran pelajar, umat Islam juga dijajah dari penjajahan budaya dan ilmu
hingga pengurasan sumber daya alam oleh negara-negara Barat imperialis seperti
Amerika serikat.
Allah telah
mengingatkan kepada kita bahwa orang-orang kafir tidak akan pernah ridho kepada
kaum muslimin : Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu
hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk
Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti
kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi
menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS Al Baqarah : 120).
Jika
diperumpamakan antara orang-orang kafir dengan orang-orang islam ibarah
segerobolan harimau yang kompak dan kuat menyerang seekor rusa kurus dan sakit.
Seekor rusa yang sakit dan kurus tak akan pernah mampu melawan apalagi
mengalahkan segerombolan harimau yang kuat dan bersatu. Bagaimana pula, umat
Islam yang tengah sakit, miskin dan terpecah belah harus melawan negara-negara
Barat yang kuat dan bersatu dengan seluruh kekuatan yang dimilikinya. Andai
daulah islam pimpinan Rasulullah masih berdiri, maka umat Islam tak mungkin
terhina dan lemah seperti hari ini.
Andai daulah
islam pimpinan Rasulullah masih tegak berdiri tentu Rasulullah telah mampu
mengalahkan kepongahan negara-negara barat penjajah dengan jihad melawan
mereka. Andai daulah islam pimpinan Rasulullah masih tegak berdiri tentu umat
tak akan merasakan kemiskinan namun akan merasakan kesejahteraan dan
kemakmuran.
Namun sejarah
hadir bukan untuk dijadikan bahan nostalgia. Sejarah hadir untuk dijadikan
ibrah untuk kembali bangkit mengembalikan kejayaan islam yang telah lama
hilang. Bahkan umat Islam telah banyak yang lupa bahwa mereka pernah memiliki
negara adidaya selama lebih dari seribu tahun. Sejarah hadir untuk menyadarkan
kembali umat untuk mencari kembali kejayaannya yang hilang.
Memperbaiki
keterpurukan umat dan menegakkan daulah islam adalah fardhu kifayah. Selama
tidak ada yang berusaha dan berjuang dengan dakwah, maka umat akan medapatkan
dosa kolektif. Selama daulah islam belum tegak, maka umat islam terkena dosa investasi. Dakwah menyadarkan umat akan
pentingnya perjuangan menegakkan syariah dan daulah demi kesejahteraan dan
kemerdekaan umat islam di seluruh dunia adalah upaya untuk menghapus dosa
investasi tersebut. Perjuangan membutuhkan proses yang panjang, adapaun kemenangan
dan kejayaan umat adalah semata-mata karena pertolongan Allah. Maka janji Allah
barang siapa yang menolong agama Allah, maka Allah akan menolong orang
tersebut.
Memperbaiki
nasib umat fardhu kifayah dakwah menggugurkan dosa investasi. Perjuangan bagi tegaknya kembali Daulah Islam
yang akan menerapkan syariah secara kaffah dan mewujudkan kembali persatuan
umat jelas memerlukan pengorbanan karena tidak ada ketaatan tanpa pengorbanan.
Dengan pengorbanan itu, insya Allah perjuangan yang memang sekilas tampak sulit
itu akan menemukan hasilnya tidak lama lagi di masa mendatang.
Semoga kita
termasuk orang yang diberikan kekuatan untuk istiqamah memperjuangkan tegaknya
syariah dan daulah dalam kehidupan. Persatuan umat seluruh dunia akan menjadi
kekuatan besar untuk membebaskan negeri-negeri muslim yang kini terjajah dan
terzolimi, khususnya Palestina, dengan izin Allah. Masa depan Palestina ada di
tangan umat, bukan PBB, perjuangan kemerdekaan itu harus datang dari umat Islam
sendiri. Hasbunal-Lâh
wa ni’mal wakil nikmal maula wa ni’kman nashiir, laa haula wala quuwata illa
billah.
(AhmadSastra,KotaHujan,14/6/24
: 10.05 WIB)