MENAKAR KONTESTASI PILKADA DENGAN PARADIGMA POLITIK ISLAM


 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Indonesia, negeri mayoritas muslim akan kembali menyelenggarakan hajatan lima tahunan yang kerap disebut sebagai pesta demokrasi. Diksi pesta sebenarnya tidak cocok untuk kaum muslimin, sebab semua perbuatan dalam Islam harus ada tujuan dan harus bernilai ibadah. Pilkada serentak akan segera digelar, dimana pilkada telah berlangsung beberapa kali di negeri ini, sebagaimana pemilu dan pemilihan presiden.

 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI akan menginstruksikan jajarannya di daerah untuk mengeluarkan surat keputusan (SK), terkait rencana penetapan hari libur nasional pada pemungutan suara Pilkada serentak, Rabu (27/11/2024). Hal tersebut disampaikan Anggota KPU RI August Mellaz, melalui keterangan resmi, Minggu (10/11/2024).

 

Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional berdasarkan ketentuan pasal 167 ayat 3 UU No 7 Tahun 201 tentang Pemilihan Umum dan pasal 84 ayat 3 UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang.

 

Sebelumnya, pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pemerintah Pusat dan Daerah 2024 di Sentul, Bogor, Kamis (7/11), Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin memastikan kesiapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 sudah siap 99 persen. Pilkada serentak 2024 akan dilangsungkan di  37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.

 

Dikatakan seorang muslim adalah saat memandang segala fakta dengan sudut pandang Islam, inilah yang dimaksud dengan kesadaran Islam. Melihat hajatan pilkada dengan sudut pandang Islam adalah sebuah kesadaran politik Islam. Pilkada atau pemilu ada dua fakta yang sudah jelas.

 

Pertama, pilkada atau pemilu di negeri ini didasarkan oleh ideologi sekulerisme, artinya tujuan utamanya adalah untuk tetap mempertahankan sistem demokrasi sekuler yang jelas bertentangan dengan Islam. Kedua, pilkada demokrasi hampir tidak pernah berjalan secara jujur, namun sarat dengan pelanggaran etika, bahkan seringkali menimbulkan kerusuhan, pecah belah umat Islam, bahkan hingga merenggut nyawa.

 

Islam, sebagaimana diungkapkan oleh Yusuf Qordhowy adalah sebagai agama sempurna dimana keseluruhan urusan manusia dibahas oleh Islam, termasuk di dalamnya adalah soal negara. Islam adalah mabda' atau ideologi khas yang berakar kuat dari kitabullah dan sunnah Rasulullah.

 

Jika akar ini telah tercerabut dari pikiran umat Islam, maka kehancuran di hampir semua aspek akan menimpa umat Islam, termasuk ketika menghadapi pilkada. Pilkada semestinya dipandang dengan sudut pandang Islam, sehingga umat Islam memahami posisi pilkada ini. Sayangnya, disaat datang pemilu atau pilkada, seolah agamanya rontok. Kaum muslimin pada umumnya memang sekuler, sehingga memandang pilkada ini seolah terpisah dari urusan agama.

 

Pemikiran politik Islam memiliki manhaj atau metodenya (fikrah dan thariqoh) tersendiri, di mana kajiannya tidak semata-mata mendasarkan pada kasus-kasus yang bersifat empiris belaka, tetapi juga berdasarkan pada sumber rujukan utama, yaitu al-Qur`an dan Sunnah Nabi.

 

Oleh karena itu, jika fikrah ini tidak dipahami dengan benar, maka kesadaran umat tentang relasi agama dengan negara akan menjadi tidak jelas atau bias, dan bahkan tidak dapat dibedakan mana pemikiran pemikiran politik Islam dan mana pemikiran politik barat sekuler. Telah banyak diketahui bahwa muncul banyaknya intelektual muslim yang sekuler dan liberal karena terkena virus pemikiran barat.  

 

Rasulullah adalah teladan sempurna dalam mewujudkan fikrah dan tariqoh politik Islam dengan menjadikan Madinah sebagai negara Islam pertama dibawah kepemimpinan beliau dan dilanjutkan oleh khalifah yang empat, dan dilanjutkan lagi dengan kekhalifahan umayyah, abbasiyah dan utsmaniyah.

 

Rasulullah menolak permintaan para pembesar kaum Quraisy untuk bergabung dengan pemerintahan mereka. Rasulullah memilih manhaj Islam sebagai dasar mendirikan negara Islam. Inilah juga yang seharusnya disadari oleh umat Islam hari ini, yakni wajib menolak paham sekulerisme dan liberalisme, namun istiqomah kepada fikrah dan thariqoh Islam dalam memperjuangkan kembali tegaknya khilafah masa depan.

 

Adalah fakta sejarah penolakan Rasulullah atas tawaran bergabung dengan pemerintah jahiliah. Ketika 'utbah mendatangi Nabi Muhammad Saw, lalu 'Utbah berkata kepadanya,"Ya Muhammad, siapa yang lebih baik Engkau  ataukah Hasyim?  Siapakah yang lebih baik Engkau ataukah Abdul Muthalib ? Siapakah yang lebih baik Engkau  ataukah Abdullah? maka Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam tidak menjawabnya.

 

Kemudian 'Utbah berkata Mengapa engkau mencela tuhan-tuhan kami dan menyesatkan nenek moyang kami? 'Kalau saja kamu menginginkan kepemimpinan, maka kami mengangkat panji-panji kami untukmu, dan kamu akan menjadi pemimpin kami selama kamu masih ada, dan jika kamu menginginkan nikah, maka kami akan menikahkan kamu dengan sepuluh istri, yang mana kamu boleh pilih di antara mereka dari putri-putri Quraisy yang kamu kehendaki, dan jika kamu menginginkan harta maka Kami kumpulkan untukmu dari kekayaan kami yang dengannya kamu dan keturunanmu setelahmu sudah tidak memerlukan (harta lain)'.

 

Syekh al-Buthi menyebutkan, dalam riwayat Ibnu Hisyam dari Ibnu Ishaq bahwa Utbah bin Rabiah (seorang cerdik dan pandai dari suku Quraisy) berkata kepada para pemuka Quraisy yang berkumpul untuk merundingkan sikap dan langkah mereka menghadapi gerakan dakwah Nabi Muhammad.

 

Dia mengatakan, "Wahai Quraisy, mungkin langkah yang baik adalah aku menemui dan ngobrol langsung dengan Muhammad, lalu menawarinya beberapa hal. Barangkali dia mau menerima salah satu yang kita tawarkan kemudian kita memberinya apa pun yang dia inginkan agar dia tak lagi menyusahkan kita."   Mereka menjawab, "Benar, wahai Abu al-Walid, kami menyetujui usulmu. Pergi dan bicaralah kepadanya."  

 

Maka, Utbah datang menemui Rasulullah lalu berkata, "Wahai anak saudaraku, kau adalah bagian dari kami. Sungguh sejak dulu kami telah mengenal kejujuran, kesantunan, dan kemuliaan silsilah keluargamu. Namun, kau telah membawa masalah yang sangat besar kepada kaummu. Apa yang kau bawa itu telah merusak persatuan mereka dan merendahkan cita-cita mereka. Jadi, dengarkanlah baik-baik. Aku datang sebagai utusan kaummu untuk menawarimu beberapa hal, mungkin kau mau menerima salah satunya."

 

Rasulullah membaca Surah Fussilat dari ayat pertama sampai ayat ke 13: Haamiiim, Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, (QS fussilat 1-3). Jika mereka berpaling maka katakanlah: "Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum 'Aad dan Tsamud". (QS Fussilat 13).

 

Pilkada sekuler yang justru semakin melanggengkan sekulerisme dan menghalangi penerapan Islam telah menjerat kaum muslimin dalam perkara yang diharamkan oleh Islam. Dalam pilkada, umat Islam saling berselisih mendukung pasangan calon dan mengabaikan agama.

 

Padahal semestinya umat Islam bersatu membela dan memperjuangkan Islam, bukan membela orang yang justru tidak memihak kepada Islam. pilkada sekuler akan menjebak kaum muslimin dalam kemunafikan, karena menghalangi tegaknya hukum Allah.

 

Renungkan firman Allah : Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (QS An Nisaa' : 61).

 

Semestinya umat Islam punya kesadaran politik Islam dalam arti melakukan pembacaan atas konstalasi politik nasional atau dunia dengan menggunakan kaca mata Islam. dengan demikian, maka umat Islam akan bisa memahami betapa demokrasi sekuler telah menjadikan kaum muslimin terpecah belah di seluruh dunia dengan ikatan sempit nasionalisme. Kesadaran politik islam juga akan menyadarkan umat Islam untuk berhijrah berjuang menegakkan khilafah yang akan menyatukan umat Islam seluruh dunia.

 

Demokrasi sebenarnya tidak lebih dari sekedar pemainan oligarki dalam menguasai dan menjajah suatu negara. Sebab demokrasi adalah anak kandung dari kapitalisme sekuler. Ideologi kapitalisme memiliki paradigma (fikroh) sekulerisme, dimana agama dan kehidupan politik dipisahkan. Sementara metode ideologi kapitalisme adalah imperialisme atau neoimperialisme.

 

Hanya saja sangat disayangkan, meskipun sudah sangat jelas bahwa demokrasi adalah sistem politik impor dari barat penjajah, namun umat Islam tidak banyak yang memiliki kesadaran politik Islam, sehingga secara emosional tetap mendukung sistem demokrasi.

 

Padahal faktanya sistem demokrasi telah terbukti memecah belah umat Islam, telah merampas sumber daya alam milik umat oleh para oligarki, munculnya banyak pengkhianat agama dan tentu saja menjadikan rakyat semakin miskin ditambah dengan jeratan utang negara hingga ribuan triliun.

 

Saat ini, kesadaran politik di kalangan umat Islam umumnya sangat dipengaruhi oleh aspek psikologis dan emosional. Keputusan politik mereka sering kali merupakan respon spontan terhadap isu-isu, yang lebih didorong oleh sentimen emosi daripada pertimbangan rasional, apalagi pertimbangan analisis ideologis atau kesadaran politik islam, masih jauh panggang dari api .

 

Dinamika ini seringkali merupakan reaksi terhadap pernyataan atau tindakan politik yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai atau keyakinan yang mereka pegang. Mestinya film dirty vote menjadi pemantik bagi umat untuk transformasi kesadaran politik Islam, dari psikologis ke ideologis.

 

Kalangan doktor, professor, dan intelektual muslim yang terhimpun dalam Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) merespon kondisi negeri. Hal itu terwujud pada FGD ke-41, Sabtu (10/2/2024). Mengangkat tema "Kritisi Demokrasi Selamatkan Negeri". Acara Live Streaming melalui You Tube mendapatkan atensi lebih dari 1.500 viewers itu memberikan peringatan kepada pemerintah sekaligus memberikan himbauan kepada umat Islam agar memiliki kesadaran politik Islam agar negeri ini tidak terus dijajah dan dizolimi oleh kapitalisme dengan para anteknya.

 

Diantara pernyataan sikap FDMPB adalah Ajakan kepada Masyarakat Akademik untuk terus memikirkan dan memberikan solusi atas keterpurukan negeri ini akibat penerapan ideologi kapitalisme sekuler. Menolak segala bentuk kebijakan kapitalistik yang menyebabkan semakin terpuruknya kehidupan rakyat dan hanya memperkaya oligarki dengan menguasai sumber daya alam milik rakyat serta menyeru kepada pemerintah untuk kembali ke jalan yang benar, yakni jalan Islam.

 

Sistem demokrasi tidak akan memberikan peluang terhadap Islam untuk diterapkan menjadi perundang-undangan. Meskipun nilai-nilai islami diadopsi dalam proses kampanye atau suara-suara umat Islam didengar dan turut diperhatikan, terpilihnya seorang muslim untuk menjadi kepala negara tidak ada otomatis menjadikan Islam yang berkuasa.

 

Nilai islami menjadi satu kondisi yang memang hadir sebagai sebuah kesadaran di kalangan masyarakat. Nampaknya umat Islam masih memiliki sentimen berupa keyakinan bahwa harus orang islam yang berkuasa dan menjadi pemimpin negara. Kesadaran politik umat Islam masih sebatas perasaan atau emosional saja.

 

Meskipun ada juga individu yang berusaha mendekati proses politik dengan cara yang lebih rasional, melakukan riset untuk mendukung keputusan mereka, namun tarikan emosional tetap memiliki pengaruh kuat. Fenomena ini merupakan masalah yang dianggap sepele. Bahkan dianggap bukan masalah.

Perubahan menuju penerapan hukum Islam tidak akan berhasil hanya dengan memperbaiki beberapa aspek dari proses politik demokrasi saja. Islam sebagai sebuah dien yang murni berasal dari Allah sulit bahkan mustahil ditegakkan jika mencampurkan prosesnya dengan sistem kufur.

 

Suara umat Islam yang berpotensi menjadi kekuatan ideologis transformasional sering kali tereduksi menjadi sekadar islam kultural, yang lebih banyak berbicara tentang identitas daripada ideologi aplikatif dalam politik dan kebijakan publik. Dalam situasi demikian, kita merasakan kebutuhan mendesak. Kebutuhan untuk memahami dan mengarahkan kesadaran politik umat Islam dari yang bersifat emosional menjadi lebih ideologis.

 

Kesadaran ideologis yang kuat tidak hanya akan memperkaya diskursus politik dengan perspektif yang berprinsip pada keimanan kepada Allah, tetapi juga menjadi katalis untuk perubahan mendasar yang diperlukan oleh bangsa Indonesia dan dunia.

 

Diperlukan sebuah pergeseran menuju kesadaran ideologis, di mana masyarakat, dengan sadar dan penuh pertimbangan, mendukung prinsip dan nilai yang mereka yakini dapat membawa perubahan positif yang berkelanjutan. Kita perlu menjelajahi bagaimana pergeseran tersebut dapat terjadi dan mengapa hal itu penting untuk kemajuan dan pergerakan dakwah Islam kaffah.

 

Konsep kesadaran politik mencakup berbagai dimensi, yang masing-masing sangat penting untuk memahami keterlibatan dan pemahaman individu atau kelompok terhadap realitas politik. Pertama, Dimensi Kognitif (Fondasi kesadaran politik). Aspek ini melibatkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki seseorang.

 

Misalnya pengetahuan tentang sistem politik, aktor, isu-isu terkini, dan sejarah politik, termasuk konsep-konsep fundamental seperti demokrasi, otoritarianisme, keadilan sosial, hak asasi manusia dan termasuk hukum Islam tentang pemerintahan seperti khilafah, Qadhi dan sebagainya.

 

Kedua, Dimensi Afektif (Emosi dan identitas). Dimensi ini berkaitan dengan perasaan, sikap, dan nilai individu terhadap sistem politik, partai politik, pemimpin, dan isu-isu politik. Dimensi ini mencakup kepercayaan terhadap institusi politik dan kepuasan terhadap kinerja pemerintah. Sekedar perasaan untuk suka atau tidak suka dengan isu politik cukup menjadikan dirinya sadar akan perpolitikan.

 

Ketiga, Dimensi Evaluatif.  Dimensi ini melibatkan kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan membuat penilaian tentang isu-isu politik, kebijakan pemerintah, dan tindakan para aktor politik. Hal ini termasuk mempertimbangkan berbagai perspektif dan membuat keputusan yang tepat.

 

Keempat, Dimensi Partisipatif. Aspek ini menyangkut keterlibatan aktif dalam kegiatan politik, seperti memberikan suara, berkampanye, berdemonstrasi, atau berpartisipasi dalam organisasi masyarakat sipil. Tingkat kesadaran politik dapat mempengaruhi seberapa aktif individu terlibat dalam proses politik. Termasuk para aktivis dakwah yang menyerukan penerapan Islam pun dapat dikatakan sebagai partisipasi politik.

 

Adalah penting sebuah transformasi kesadaran politik islam yang bersifat ideologis di kalangan umat Islam dengan melakukan gerakan dakwah pemikiran dan dakwah ideologis. Kesadaran ideologis  merujuk pada kesadaran seseorang atau kelompok tentang ideologi mereka sendiri dan ideologi lain yang ada dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi mereka.

 

Ini melibatkan pemahaman yang mendalam tentang prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang mendasari pandangan politik dan sosial, serta kemampuan untuk mengidentifikasi dan membedakan antara berbagai ideologi yang mempengaruhi tindakan dan kebijakan politik.

 

Konsep kesadaran ideologis ini sering kali lebih fokus pada aspek kritis dan reflektif dari bagaimana ideologi membentuk persepsi dan interaksi individu dengan dunia sekitar mereka.

 

Dakwah pemikiran dan dakwah ideologi Islam bukanlah pekerjaan yang mudah, sebab selama ini umat Islam telah punya preferensi politik sekuler yang telah mendarah daging sedemikian lama. Lebih sulit lagi karena preferensi sekuleristik ini juga telah menjangkiti kaum intelektual muslim, para ulamanya terlebih masyarakat muslim pada umumnya. Jangan heran jika di negeri ini ada seorang bergelar profesor, namun tetap menjadi sekuler, padahal agamanya Islam.

 

Kemungkinan yang dapat terjadi pada saat seorang mustami' saat dia menerima dakwah pemikiran dan dakwah ideologis  adalah menerima atau menolak. Proses penerimaan dakwah terjadi dengan cepat, lambat atau sangat lambat. Beberapa keadaan yang mungkin dialami oleh seorang mustami' sehingga dia sulit menerima seruan dakwah pemikiran dan dakwah ideologis diantaranya adalah :

 

Pertama, konfirmasi bias. Bias konfirmasi adalah saat kita cenderung mencari dan mempercayai informasi yang sesuai dengan apa yang sudah kita percayai, dan mengabaikan informasi yang tidak sesuai. Misalnya, dalam politik, jika seseorang mendukung satu partai, mereka mungkin hanya mendengarkan berita yang mendukung partai tersebut dan mengabaikan yang lain, yang membuat mereka semakin yakin dengan pilihannya tanpa mempertimbangkan pandangan lain.

 

Kedua, identitas grup dan polaritas politik. Identitas grup adalah perasaan menjadi bagian dari sebuah kelompok, seperti kelompok berdasarkan ras, agama, atau tim politik. Polaritas politik terjadi ketika perbedaan pendapat politik menjadi sangat kuat dan tidak ada lagi ruang untuk pendapat tengah atau kompromi. Kelompok-kelompok ini seringkali hanya melihat kelompok lain dengan pandangan negatif, meningkatkan perpecahan "kami versus mereka".

 

Ketiga, efek ketahanan keyakinan. Ini adalah saat orang terus mempercayai sesuatu meskipun ada bukti yang menunjukkan mereka salah. Dalam politik, ini bisa terjadi ketika seseorang terus mendukung kebijakan atau politisi tertentu walaupun ada bukti bahwa kebijakan atau politisi itu tidak berhasil. Ini sering terjadi karena orang tidak ingin mengakui bahwa mereka mungkin salah.

 

Keempat, disonansi kognitif. Disonansi kognitif adalah perasaan tidak nyaman yang kita dapat ketika kita memiliki dua pikiran atau keyakinan yang bertentangan. Untuk mengatasi perasaan ini, kita mungkin mengubah keyakinan atau perilaku kita. Dalam politik, ini bisa terjadi ketika kita mendapat informasi baru yang bertentangan dengan keyakinan politik kita, yang mungkin membuat kita merubah pandangan atau mencari pembenaran untuk mengurangi rasa tidak nyaman.

 

Kelima, kognisi motivasi. Kognisi motivasi adalah bagaimana keinginan dan kebutuhan kita mempengaruhi cara kita melihat dan memikirkan sesuatu. Ini sering berarti kita hanya memperhatikan informasi yang mendukung apa yang kita ingin percayai atau mencapai.

 

Dalam politik, ini berarti orang mungkin hanya mendengarkan atau mempercayai informasi yang sesuai dengan pandangan politik mereka, atau menafsirkan informasi yang tidak jelas dengan cara yang mendukung tujuan mereka.

 

Mengatasi Konfirmasi Bias denghan menggunakan sumber yang dipercaya oleh penerima dan paparkan informasi secara bertahap. Untuk mengurangi efek identitas grup dan polaritas politik yakni dengan menekankan persamaan dan tujuan bersama kemudian hindari bahasa yang memicu konflik.

 

Untuk mengurangi efek ketahanan keyakinan dengan menyediakan contoh nyata dan kasus, serta ajukan pertanyaan yang membuat mereka mempertimbangkan ulang keyakinan mereka tanpa merasa diserang.

 

Sementara untuk mengatasi disonansi kognitif adalah dengan memerikan waktu untuk berpikir dan tidak menuntut perubahan cepat karena orang lebih mungkin mengubah keyakinannya jika mereka merasa itu adalah keputusan mereka sendiri, bukan karena tekanan eksternal. Kemudian tawarkan alternatif yang menyenangkan dan dapat diterima.

 

Terakhir untuk mengatasi kognisi motivasi dengan cara menyajikan informasi dengan cara yang menunjukkan bagaimana penerimaan informasi tersebut dapat memenuhi kebutuhan atau keinginan mereka. Gunakan juga narasi yang menarik bagi penerima.

 

Dengan demikian, bagi seorang pengemban dakwah ideologis melihat kontestasi pilkada bias menjadi pemantik untuk dakwah ideologis sehingga terjadi proses transformasi kesadaran dari politik emosional sekuleristik menjadi kadaran politik ideologis berbasis paradigma Islam.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 22/11/24 : 06.15 WIB)

 

 

 

 

 

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.