TENTANG NEGARA KEKUASAAN DAN KEADILAN PALSU

 

 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, menegaskan bahwa seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi tanpa harus terbukti menerima aliran dana. Pernyataan ini merespons perkembangan kasus dugaan korupsi kebijakan impor gula yang menjerat mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.

 

"Penetapan tersangka dalam tindak pidana korupsi ini, sesuai Pasal 2 dan Pasal 3, tidak mensyaratkan seseorang harus menerima uang," kata Abdul Qohar di Kantor Kejagung, Jakarta, Kamis (31/10/2024). "Ketika perbuatan melawan hukum dilakukan atau kewenangan disalahgunakan untuk menguntungkan pihak lain atau korporasi, hal itu sudah memenuhi unsur pidana," ujar dia menambahkan. (https://nasional.kompas.com/read/2024/11/01)

 

Kasus penangkapan Thomas Lembong disoroti sarat unsur politis atau benar-benar terkait tersandung kasus korupsi ?. Jika benar karena kasus korupsi impor gula, lantas  mengapa sejumlah menteri perdagangan lain yang juga bermasalah dalam impor gula tidak ikut disidik atau ditangkap ?.  Bagaimana dengan menteri-menteri lain yang juga bermasalah ?.

 

Tercatat beberapa menteri perdagangan masa Jokowi : Rachmat Gobel (10 bulan, Okt 2014 - Agus 2015), Tom Lembong (11 bulan : Agus 2015 - 27 Juli 2016), Enggartiasto Lukita (15 bulan : Juli 2016 - Okt 2019), Agus Suparmanto (13 bulan, Okt 2019 - Des 2020), Muhammad Luthfi (16 bulan, Des 2020 - Juni 2022) dan Zulkifli Hasan (28 bulan, Juni 2022 - Oktober 2024).

 

Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh prihatin dengan penetapan tersangka mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) terkait kasus impor gula. Paloh heran karena kasus tersebut sudah dalam jangka waktu yang lama, tapi diungkap kembali secara tiba-tiba. "Saya pikir bagaimana pun juga tentu itu suasana yang amat memprihatinkan bagi saya sebagai ketum Partai NasDem, kalau kita masih melihat upaya penegakan hukum ini pada sebuah kasus yang jangka waktunya barangkali kita sudah lupa," kata Paloh kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (1/11/2024). (https://news.detik.com).

 

Sementara di satu sisi beberapa hari lalu Kejaksaan Agung melakukan Operasi Tangkap Tangan terhadap tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya. Ketiganya terjerat kasus suap vonis bebas tersangka penghilangan nyawa Dini Sera Afriyanti, Gregorius Ronald Tannur. Kejagung berhasil mengungkap uang suap senilai Rp 20 miliar dari tersangka kepada tiga hakim tersebut.

 

Penangkapan tiga aparat penegak hukum ini berlanjut pada terbongkarnya dugaan makelar kasus yang melibatkan salah satu mantan pejabat Mahkamah Agung. Di kediaman yang bersangkutan ditemukan uang tunai lebih dari Rp 920 miliar dan emas Antam seberat 51 kg. Banyak pihak mendesak Pemerintah untuk menjadikan temuan ini sebagai langkah untuk membongkar mafia peradilan di tanah air.

 

Ciri negara hukum adalah ketika menempatkan semua warga negara sama di depan hukum. Salah satu prinsip atau asas penting suatu negara hukum adalah asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menerangkan bahwa segala warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum tersebut tanpa adanya pengecualian. Apakah negeri ini telah menjalankan Pasal ini atau justru menjadi negara kekuasaan dengan pura-pura adil ?.

 

Negara hukum disebut (recht staat), sedangkan negara kekuasaan disebut dengan (macht staat) negara hukum adalah negara yang bertujuan untuk menyelenggrakan ketertiban umum,yakni tata tertib yang umunya berdasarkan hukum. Negara kekuasaan (machtstaat) merupakan konsep negara yang kerap kali diperlawankan dengan negara hukum (rechtstaat), sehingga secara pengertian negara kekuasaan (machtstaat) merupakan sistem yang menjadikan kekuasaan individu (pemerintah) sebagai dasar rujukan negara atau dengan kata lain negara mengikuti kehendak penguasa.

 

Terkait alasan penetapan tersangka oleh Kejaksaan Agung, Said Didu memberikan tanggapan dan sanggahan. (1) Impor dilakukan saat gula surplus/melebihi kuota dan tdk lewat rapat koordinasi kementerian.  Sanggahan : jumlah impor yg diizikan tsb jauh di bawah angka impor 2015-2016. Pelaksanaan impor tidak diperlukan rapat koordinasi. (2) Impor gula harusnya dilakukan oleh BUMN tapi diberikan ke swasta. Sanggahan : impor yg harus ke BUMN adalah gula konsumsi, gula rafinasi harus ke Industri. Dan (3) kerugian negara krn harusnya untung dinikmati oleh BUMN. Sanggahan : Sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa jumlah kerugian negara harus ril, bukan asumsi.

 

Said Didu menegaskan dengan menulis : Jika ketiga alasan Kejaksaan  tersebut digunakan maka sukit dibantah bahwa penetapan Thom Lembong sebagai tersangka adalah politis dan tebang pilih karena 6 (enam) Mendag selama pemerintahan Jokowi melakukan impor berbagai komoditas jauh lebih besar dari yg dilakukan oleh Thom Lembong.

 

Terlepas dari pandangan Surya Paloh dan Said Didu, negeri Indonesia ini memang sering terkesan tebang pilih dalam urusan hukum dan keadilan. Di mata dan telinga  bangsa ini tentunya sudah tidak asing dengan istilah hukum yang tumpul ke atas dan tanam ke bawah atau hukum tebang pilih, Kejadian ini sering terjadi di depan mata kita semua, bahkan lebih parahnya sering ditayangkan di media televisi dan beberapa media lainnya.

 

Hukum tebang pilih atau selective enforcement dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Pejabat atau institusi tertentu mungkin memilih untuk menegakkan hukum hanya terhadap individu atau kelompok yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka, demi keuntungan politik.

 

Hukum tebang pilih juga bisa disebabkan oleh adanya diskriminasi sosial. Terdapat kecenderungan untuk memberlakukan hukum secara berbeda terhadap kelompok tertentu berdasarkan ras, kelas sosial, atau agama, yang menciptakan ketidakadilan. Praktik korupsi di kalangan penegak hukum dapat menyebabkan perlakuan yang tidak adil, di mana hukum ditegakkan berdasarkan suap atau gratifikasi.

 

Keterbatasan sumber daya manusia dan finansial dalam lembaga penegak hukum dapat menyebabkan mereka fokus pada kasus-kasus tertentu, sementara yang lain diabaikan. Media dan opini publik dapat mempengaruhi penegakan hukum, di mana kasus-kasus tertentu menjadi lebih menonjol dan mendapatkan perhatian lebih dibandingkan yang lain. Termasuk ambiguitas dalam peraturan perundang-undangan dapat memberikan ruang bagi penegak hukum untuk memilih kasus mana yang akan ditangani.

 

Indonesia selama ini dirasakan rakyat seperti sebuah negeri yang pura-pura adil. Arti pura-pura adil adalah negara atau sistem pemerintahan yang mengklaim menjunjung tinggi prinsip keadilan dan hak asasi manusia, tetapi dalam praktiknya menunjukkan ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan.

 

Meskipun ada peraturan hukum, penegakannya sering kali tidak merata, tergantung pada siapa yang terlibat juga merupakan karakter negara yang pura-pura adil. Kelompok tertentu, seperti minoritas etnis atau oposisi politik, sering kali diperlakukan tidak adil, meskipun hukum secara resmi menjamin hak-hak mereka. Praktik korupsi yang meluas di kalangan pejabat publik dapat menciptakan sistem di mana keadilan bisa dibeli.

 

Negara yang mengklaim keadilan sering kali menindak kritik atau perbedaan pendapat, yang menghambat kebebasan berekspresi juga merupakan watak kepura-puraan dalam hukum dan keadilan. Proses demokrasi juga menciptakan ilusi keadilan, sebab faktanya kekuasaan tetap berada di tangan elit tertentu. Contoh nyata dapat bervariasi dari satu negara ke negara lain, tetapi prinsip-prinsip ini sering ditemukan di banyak tempat di dunia.

 

Ketika kekuasaan hukum berada di tangan oligarki, beberapa dampak negatif bisa muncul. Oligarki dapat memanipulasi sistem hukum untuk melindungi kepentingan mereka, menargetkan lawan politik, dan menghindari pertanggungjawaban atas tindakan mereka.

 

Pengadilan dan lembaga hukum mungkin dipengaruhi oleh kepentingan oligarki, menghasilkan keputusan yang tidak adil dan tidak berdasarkan pada prinsip keadilan. Oligarki sering kali terlibat dalam praktik korupsi, di mana hukum dapat dibeli atau dipengaruhi untuk melindungi kepentingan elit.

 

Kelompok tertentu, terutama mereka yang dianggap ancaman bagi oligarki, mungkin diperlakukan tidak adil oleh sistem hukum, sementara anggota oligarki mendapatkan perlindungan khusus. Oligarki dapat menggunakan kekuatan hukum untuk membungkam kritik dan oposisi, mengkriminalisasi tindakan protes atau kebebasan berekspresi.

 

Kebijakan hukum mungkin didorong oleh kepentingan bisnis oligarki, yang mengarah pada regulasi yang menguntungkan mereka, tetapi merugikan masyarakat luas. Ketika hukum dilihat sebagai alat untuk melayani elit, masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada sistem hukum dan pemerintahan, yang dapat memicu ketidakpuasan dan ketidakstabilan.

 

Demokrasi oligarki melahirkan keadilan palsu. Keadilan palsu merujuk pada situasi di mana sistem hukum atau praktik keadilan tampak seolah-olah adil, tetapi sebenarnya tidak mencerminkan prinsip-prinsip keadilan yang sejati.  Hukum diterapkan secara tidak konsisten, di mana hanya kelompok tertentu yang dikenai sanksi, sementara yang lain, terutama yang memiliki kekuasaan atau pengaruh, dibiarkan bebas dari pertanggungjawaban.

 

Meskipun ada prosedur hukum yang ada, proses pengadilan mungkin tidak transparan atau tidak memberikan kesempatan yang sama bagi semua pihak, seperti akses terhadap pengacara atau bukti yang relevan. Tindakan hukum dapat digunakan untuk menciptakan citra positif di mata publik, meskipun tindakan tersebut tidak sejalan dengan prinsip keadilan yang sebenarnya.

 

Ketika elit politik atau ekonomi menggunakan kekuatan mereka untuk memengaruhi keputusan hukum demi keuntungan pribadi, keadilan menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan, bukan untuk melayani masyarakat. Praktik korupsi dapat merusak integritas sistem hukum, di mana keputusan dibuat berdasarkan suap atau gratifikasi, bukan berdasarkan kebenaran dan keadilan.

 

Sistem yang mengklaim menerapkan keadilan tetapi secara rutin melanggar hak asasi manusia, seperti penahanan sewenang-wenang atau perlakuan buruk terhadap tahanan, merupakan contoh nyata dari keadilan palsu. Tindakan hukum digunakan untuk menindas lawan politik atau aktivis, di mana penegakan hukum dijadikan alat untuk menakut-nakuti masyarakat agar tidak berbicara atau bertindak.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 02/11/24 : 14.30 WIB)

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.