DEMOKRASI PRAGMATIS LAHIRKAN PEJABAT DENGAN MENTALITAS BUDAK DUNIA



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Pragmatisme materialisme sering kali menjadi karakter utama dalam sistem politik demokrasi. Dalam demokrasi, sering sekali melahirkan para koruptor dan maling uang rakyat. Paham pragmatisme materialisme dalam filsafat, memiliki pengaruh yang signifikan terhadap orientasi duniawi seseorang atau kelompok.

 

Secara umum, materialisme menganggap bahwa realitas utama adalah materi dan dunia fisik, sementara pragmatisme adalah pendekatan yang lebih berfokus pada praktikalitas dan hasil nyata daripada teori atau prinsip abstrak.

 

Dalam konteks pragmatisme materialisme, orientasi duniawi lebih terfokus pada pencapaian sukses secara praktis dalam kehidupan sehari-hari, seperti kemajuan materi, kestabilan ekonomi, dan kenyamanan hidup. Hal ini memotivasi individu untuk mengejar keuntungan dan kemajuan tanpa terlalu memedulikan nilai-nilai spiritual atau filosofis.

 

Orientasi duniawi dalam pandangan ini cenderung menganggap bahwa tujuan hidup adalah untuk mencari kebahagiaan dan kenyamanan materi. Misalnya, pencarian untuk memperoleh harta, status sosial, atau pencapaian lainnya menjadi hal yang dominan.

 

Pragmatismenya menuntut pemikiran yang rasional, yang seringkali mengarah pada keputusan berdasarkan hasil nyata dan praktis. Dalam dunia yang pragmatis materialistik, apa yang dianggap berhasil adalah hal-hal yang terlihat dan bisa diukur secara langsung, seperti penghasilan, prestasi duniawi, dan kekayaan. Hal-hal yang tidak dapat diukur atau tidak langsung berdampak pada kenyamanan hidup lebih dianggap kurang relevan.

 

Pandangan materialistik ini bisa menyebabkan penolakan terhadap konsep-konsep yang lebih abstrak dan non-materialistik, seperti nilai-nilai spiritual, moralitas yang lebih tinggi, atau pemikiran metafisik tentang kehidupan setelah mati. Pragmatismenya lebih terfokus pada apa yang dapat dibuktikan atau dicapai di dunia nyata.

 

Terpengaruh oleh pragmatisme materialisme, konsumerisme menjadi gaya hidup yang mendorong orang untuk terus-menerus mengejar barang dan jasa baru, yang diyakini dapat membawa kebahagiaan atau kepuasan. Gaya hidup ini semakin menegaskan bahwa dunia material adalah tempat yang harus dieksplorasi dan dimanfaatkan sebanyak mungkin.

 

Dalam orientasi duniawi yang didorong oleh materialisme pragmatis, individu sering menilai kesuksesan hidup dengan mengacu pada pencapaian duniawi, seperti kepemilikan barang, pencapaian jabatan, atau reputasi sosial. Kehidupan spiritual atau pencapaian di luar dunia fisik seringkali tidak dianggap sebagai ukuran utama keberhasilan.

 

Pragmatisme materialisme memiliki dampak yang kuat terhadap orientasi duniawi, dengan lebih menekankan pada pencapaian material, pragmatisme dalam pengambilan keputusan, dan kecenderungan untuk mengukur keberhasilan berdasarkan hasil duniawi yang konkret.

 

Maka, tidak heran jika sistem demokrasi pragmatisme akan melahirkan para pejabat dan pemimpin yang bermental budak duniawi dan  mengabaikan nilai-nilai non-material yang lebih spiritual atau filosofis.

 

Mentalitas "budak dunia" sering kali merujuk pada individu yang sangat terikat dan terfokus pada hal-hal materi, status sosial, kenikmatan duniawi, atau pencapaian duniawi lainnya, tanpa memperhatikan nilai-nilai yang lebih dalam, seperti spiritualitas, moralitas, atau tujuan hidup yang lebih tinggi.

 

Pejabat dan pemimpin yang disebut sebagai "budak dunia" cenderung terobsesi dengan harta benda, kekayaan, kekuasaan, dan status sosial. Mereka sering merasa bahwa kebahagiaan hidup hanya dapat dicapai melalui akumulasi materi dan pencapaian duniawi, tanpa memperhitungkan nilai-nilai non-material seperti kedamaian batin atau kebahagiaan spiritual.

 

Mereka lebih mementingkan kenikmatan dan kepuasan sesaat yang bisa didapatkan dari dunia ini, seperti harta, kesenangan, atau status. Pengorbanan dan perjuangan jangka panjang yang lebih bertujuan tinggi sering kali diabaikan demi mendapatkan kenikmatan langsung.

 

Sebagai "budak dunia," seseorang pejabat dan pemimpin cenderung mengabaikan atau meremehkan nilai-nilai moral atau spiritual yang lebih tinggi. Mereka lebih memilih untuk mengikuti keinginan dan ambisi pribadi, seringkali mengorbankan prinsip-prinsip moral, etika, atau bahkan kedamaian batin demi mencapai tujuan duniawi mereka.

 

Mereka tidak mampu melepaskan diri dari segala bentuk keterikatan terhadap dunia ini. Mereka merasa bahwa hidup ini harus dipenuhi dengan pencapaian materi dan pengakuan sosial, sehingga sering kali mereka tidak memberi ruang bagi pertumbuhan spiritual atau pemikiran yang lebih mendalam tentang makna hidup.

Budak dunia sering kali terfokus pada kepentingan diri sendiri dan pencapaian ego, dengan sedikit perhatian pada kebutuhan atau kesejahteraan orang lain. Kehidupan mereka berpusat pada pencarian kesenangan pribadi dan ambisi duniawi, seringkali tanpa memperhatikan hubungan dengan orang lain atau masyarakat.

 

Mereka percaya bahwa kebahagiaan hanya dapat ditemukan melalui pencapaian materi dan kedudukan sosial. Ketika tujuan duniawi mereka tercapai, mereka merasa bahagia sementara itu bertahan, namun kebahagiaan itu bersifat sementara. Ketergantungan mereka terhadap hal-hal duniawi menjadikan mereka selalu merasa kekurangan atau tidak puas, meskipun mereka sudah memiliki banyak.

 

Dalam banyak tradisi spiritual atau agama, "budak dunia" sering kali dilihat sebagai seseorang yang kurang memperhatikan kehidupan setelah mati atau kehidupan spiritual. Mereka hanya terfokus pada kehidupan fisik dan duniawi, dan tidak mempersiapkan diri untuk perjalanan rohani yang lebih tinggi atau pemahaman tentang tujuan hidup yang lebih besar.

 

Ketika seseorang terlalu terikat pada dunia, keinginan untuk memiliki lebih banyak harta atau status sosial akan terus berkembang. Seiring berjalannya waktu, mereka akan terjebak dalam siklus keinginan yang tidak pernah berakhir, di mana meskipun mereka sudah mendapat banyak, mereka akan selalu merasa kurang dan mencari lebih lagi.

 

Mereka cenderung menghindari hal-hal yang mengarah pada kesulitan atau penderitaan, memilih untuk hidup dalam kenyamanan dan kesenangan. Penghindaran terhadap tantangan atau perjuangan sering kali muncul karena takut kehilangan kemewahan atau kenyamanan hidup yang telah mereka capai.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 19 Ramadhan 1446 H – 19 Maret 2025 M : 13.34 WIB) 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.