Oleh : Ahmad Sastra
Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah
kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al Mujadilah :
11)
Orang-orang berilmu atau ulama dan cendekiawan dalam pandangan Islam
seringkali juga disebut sebagai generasi ulil albab. Hal ini sejalan dengan
firman Allah : Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan
Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka
peliharalah Kami dari siksa neraka. (QS
Ali Imran : 190-191)
Dalam Tafsir Ibnu Katsir
diceritakan bahwa ketika turun ayat tentang Ulil Albab yang artinya," sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang berkal yaitu orang-orang yang
mengingat Allah sambi berdiri, duduk dan dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata,' ya Tuhan,
tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha suci Engkau, lindungilah
kami dari azab neraka", maka Rasulullah menangis hingga air matanya
membasahi janggut dan menetes ke bumi.
Lantas sahabat Bilal bertanya, wahai
Rasulullah kenapa Engkau menangis, bukankah Engkau adalah orang yang telah
diampuni dosanya oleh Allah dari dosa-dosa terdahulu hingga yang akan datang".
Rasulullah menjawab, "Wahai Bilal, bukankah aku belum menjadi hamba
yang bersyukur? aku menangis karena baru
saja mendapatkan wahyu tentang Ulil Albab (QS. Ali Imran : 190 – 191), maka celakalah bagi orang-orang yang membaca
ayat ini lalu tidak bertafakur dan merenungkannya".
Naquib al Atas setidaknya ada
tujuh karakter Ulil Albab, diantaranya adalah: 1). Senantiasa melakukan zikrullah
dalam arti luas dalam segala gerak-gerik dan aktivitasnya dan dibarengi dengan
kegiatan tafakkur (penelaahan, penelitian dan nazhar) terhadap
alam ciptaan Allah. 2). Bersungguh-sungguh menuntut ilmu sehingga mencapai
tingkat rashih (mendalam) sebagaimana dinyatakan Al Qur'an dalam surat
QS Ali Imran: 7. 3). Mampu memisahkan yang buruk (khabits) dan yang baik
(thayib) kemudian dia memilih, berpihak, dan mempertahankan yang baik
itu meskipun sendirian.
4). Kritis dalam mendengarkan
pembicaraan, pandai menimbang-nimbang ucapan, teori, proposisi ataupun dalil
dan argumentasi yang dikemukakan orang lain dan senantiasa memilih alternatif
yang terbaik (ahsanah) sebagaimana dinyatakan dalam QS Az Zumar: 18. 5).
Bersedia mendakwahkan ilmu yang dimilikinya kepada masyarakat, senantiasa
berusaha memperbaiki masyarakat dan lingkungannya, memiliki kesadaran yang
tinggi kegiatan amar ma'ruf nahi mungkar
sesuai dengan QS Ibrahim: 52.
6). Tidak takut kepada siapapun
kecuali hanya kepada Allah sesuai dengan QS At Taubah: 18. 7). Senantiasa rukuk
dan sujud pada sebagian malamnya, merintih pada Allah dan semata-mata hanya
mengharapkan rahmat dan ridhaNya, sesuai dengan QS Az Zumar: 9.
Menuntut ilmu dalam pandangan
Islan hukumnya wajib atau fardhu Ain. Imam Al Gazali menjelaskan, sesuai hadits
Rasulullah saw. “Menuntut Ilmu adalah fardhu bagi setiap muslim” menunjukkan
penuntutan ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Namun kini muncul pertanyaan,
apakah semua cabang ilmu itu wajib untuk dipelajari? Ataukah hanya ilmu
tertentu saja? Yang fardhu ain dalam hadits ini sebenarnya yang mana?.
Al Gazali menjelaskan dalam ihya Ulumuddin
dalam memaknai hadits ini manusia banyak berbeda pendapat. Menurut al Gazali
ilmu yang fardhu ain (setiap orang wajib mempelajarinya) terdapa sampai lebih
duapuluh lebih pendapat. Berbeda menurut bidangnya masing masing.
Para ahli kalam mengatakan bahwa
yang fardhu ain itu adalah ilmu kalam. Karena dengan ilmu ini kita bisa
memahami makna tauhid. Mengetahui dzat dan sifat-sifat Allah SWT. Ahli fiqh
mengatakan bahwa yang fardhu ain itu adalah ilmu fiqh.
Karena dengan ilmu fiqh ini
ibadah, halal, haram, apa yang diharamkan dan dihalalkan dari interaksi sosial
itu bisa diketahui. Ahli tafsir dan ahli hadits bahwa yang wajib ain itu adalah
ilmu tentang al quran dan hadits. Karena dengan ilmu ini kita bisa sampai ke
ilmu secara keseluruhan.
Ahli tasawwuf mengatakan bahwa
ini adalah ilmu mukasyafah atau ilmu tasawwuf itu sendiri namun alhi tasawwuf
dendiri berbeda beda lagi memaknai maksud dengan ilmu yang fardhu ain ini.
Sebahagian mengatakan itu adalah ilmu untuk mengetahui hal dan maqam seorang
hamba disisi Allah.
Sebahagian berkata adalah ilmu
ikhlas. Pendalaman jiwa, membadakan atara millah syaitan dan millah malaikat.
Dan sebahagian mengatakan ilmu batin dan wajibnya ini khusus untuk kaum-kaum
tertentu.
Abu Thalib Al Makky mengatakan
yang dimaksud dengan fardhu ain itu adalah mengetahui lima pondasi islam yang
tertera dalam hadits nabi. “Islam dibangun atas lima hal: Syahadat bahwa tidak
ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasulullah. Mendirikan shalat. Menunaikan
zakat. Puasa ramadhan dan haji bagi orang yang mampu”. (HR Bukhari Muslim)
Lebih lanjut dijelaskan, meski
yang diwajibkan itu hanya seputar yang lima tadi namun menjadi wajib pula ilmu
tentang bagaima sampai untuk penerapan hal yang lima ini. Al Gazali
menyambungkan pembahasan ilmu fardu ain ini dengan menjelaskan pembahagian ilmu
dari segi interaksi kepada Allah dan kepada manusia.
Dalam Ihya beliau menulis “Ilmu
sebagaimana yang telah kami kemukakakan sebelumnya itu terbagi kepada ilmu
mu’amalah dan ilmu mukasyafahah. Dan tidaklah yang wajib dipelajari seorang
muslim itu kecuali imu muamalah saja. Sedangkan pembahagian ilmu muamalah yang
dibebankan kepada seorang muslim yang akil balik itu ada tiga: I’tiqad,
melaksankan perintah dan menjauhi larangan.
Tatkala seorang telah mencapai
baliq baik itu dari usia atau ditandai dengan bermimpi, maka diwajibkan
kepadanya untuk mempelajari dua kalimat syahadat serta memahami maknanya. Yaitu
perkataan “asyhadu an laa ilaha illallah wa asyahdu anna muhammadan rasulullah”
saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah.
Tidak wajib baginya untuk
megetahui penjelasan penjelasannya lebih rinci. Melainkan cukup meyakininya
tanpa kebimbangan dan keraguan. Walau melalui taklid dan sima’. Sebagaimana
yang dilakukan oleh rasulullah terhadap sahabat yang masuk Islam tanpa
mengajarkan dalil.
Ketika itu sudah terlaksana maka
gugurlah kewajiban pada masa tersebut dan tidak ada lagi tuntutan setelahnya
buktinya, ketiak seseorang meninggal dunia setelah membaca dua kalimat syahadat
tadi maka matinya dianggap mati orang yang taat dan tidak bermaksiat kepada
Allah SWT.
Setelah i’tiqad tersebut maka
akan adalagi kewajiban melaksakan perinta dan menjauhi larangan. Tidak dharuri
tapi dituntut dalam bentuk uraian saja. Seperti shalat. Untuk mengetahui
perintah tersebut maka ia mempelajarinya sebelum tiba masa kewajibannya.
Demikian pula puasa, Zakat, Haji, tidak harus tergesa gesa mempelajarinya dan
wajib juga untuk mengetahui apa yang harus di jauhi atau ditinggalkan berupa
perbuatan-perbuatan kemaksiatan atas berlalunya waktu berdasarkan kebutuhan.
Apabila terlintas dipikirannya
keraguan dalam akidahnya, maka ia harus belajar dan megkaji sebatas
menghilangkan keraguan itu, dan mempelajari ilmu yang dapat menyelamatkan diri
dari kebinasaan dan memperoleh derajat yang tinggi dalam fardhu ain. Sementara
ilmu-ilmu yang lebih dari itu adalah fardhu kifayah, bukan fardhu ain.
Ketahuilah bahwa
tingkatan-tingkatan ilmu adalah berdasarkan kadar kedekatannya dengan ilmu
akhirat. Sebagaimana ilmu syariat lebih utama dari pada ilmu-ilmu lainnya. Maka
ilmu yang berkaitan dengang hakikat-hakikat syariat lebih utama daripada ilmu
yang berkaitan dengan hukum hukum lahiriah. Maka ahli fiqih menghukumi bentuk
lahir dengan sah dan batil. Di balik itu ada ilmu untuk mengetahui bentuk
ibadah yang diterima atau di tolak. Hal itu termasuk ilmu-ilmu sufistik.
Kembali kepada tema kemuliaan
bagi orang berilmu. Dalam pandangan Islam, persaksian orang-orang berilmu
disandingkan setelah persaksian Allah dan para malaikatnya. Bahkan ilmu juga
akan mendatangkan taqwa. Allah menyatakan
bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang
menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan
yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Ali Imran : 18)
Dan demikian (pula) di antara
manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang
bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun. (QS Fathir: 28)
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 13 Ramadhan
1446 H – 13 Maret 2025 M : 13.12 WIB)