Oleh : Ahmad Sastra
Menteri Agama (Menag RI) Nasaruddin Umar
menekankan bahwa Kurikulum Cinta bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar
sesama umat beragama. Menurutnya, jangan sampai guru agama menitikberatkan
pengajaran pada perbedaan agama.
"Upaya untuk meningkatkan kegunaan
(Kurikulum Cinta) ini adalah meningkatkan kualitas hubungan antar sesama umat
beragama. Jadi tidak boleh lagi ada guru agama Islam, Kristen, Protestan,
Katolik, Hindu, Budha, Konghucu mengajarkan penekanannya pada perbedaan antar
satu agama dengan agama yang lain," ujarnya dalam acara konferensi pers
Asta Protas Kemenag RI yang digelar di Auditorium HM Rasjidi Kemenag RI,
Jakarta Pusat, Kamis (6/3/2025).
Pria yang juga menjabat sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal itu juga menekankan
jangan sampai ada guru agama yang mengajarkan kebencian hingga menjelekkan
agama lain. Sebab, ini bukan merupakan sesuatu yang baik untuk diajarkan kepada
anak-anak.
Menag Nasaruddin menjelaskan bahwa
pengajaran yang fokus terhadap pada perbedaan agama lain dapat berdampak buruk
bagi seorang anak ketika dewasa kelak. Ia menilai, toleransi tak hanya sekadar
tak mengganggu agama lain, tetapi juga adanya ikatan cinta di dalam kehidupan
beragama.
Jika dicermati, apa yang disampaikan menteri agama
adalah materi lama, yakni tentang pluralisme agama, hanya saja lebih diperdalam
lagi dalam aspek esoteris agama dan dikemas dengan diksi yang baru. Sudah dipahami,
bahwa kurikulum berbasis pluralisme beragama adalah pendekatan pendidikan yang
mengedepankan pengajaran tentang keberagaman agama dan keyakinan di masyarakat.
Tujuan utamanya adalah untuk mengembangkan sikap saling menghormati, memahami,
dan menghargai perbedaan agama yang ada, serta menciptakan atmosfer yang
inklusif dan damai dalam masyarakat yang plural.
Kurikulum ini menekankan pentingnya pemahaman tentang
agama-agama yang ada di dunia. Siswa diberikan pengetahuan tentang
ajaran-ajaran inti dari berbagai agama besar, seperti Islam, Kristen, Hindu,
Buddha, dan agama-agama tradisional lainnya. Hal ini bertujuan agar mereka
tidak hanya memahami keyakinan mereka sendiri, tetapi juga bisa menghormati dan
memahami keyakinan orang lain.
Salah satu aspek penting dari kurikulum ini adalah
pembentukan nilai-nilai toleransi. Pendidikan agama tidak hanya berkaitan
dengan teori atau dogma, tetapi juga mengenai penerapan sikap toleransi, saling
menghargai, dan berempati terhadap perbedaan. Ini termasuk pengajaran tentang
bagaimana cara hidup berdampingan dalam masyarakat yang multikultural dan
beragam.
Kurikulum berbasis pluralisme beragama mengajarkan
bahwa perbedaan bukanlah hal yang memecah belah, melainkan suatu kekayaan yang
memperkaya pengalaman hidup bersama. Siswa diajak untuk melihat perbedaan
sebagai sebuah kesempatan untuk belajar dan tumbuh dalam pemahaman dan
penghargaan terhadap orang lain.
Sebagai bagian dari kurikulum ini, diadakan diskusi
dan dialog antar agama untuk membuka ruang bagi siswa untuk berbicara secara
terbuka mengenai pemahaman mereka tentang agama lain. Ini dapat membangun
keterampilan komunikasi yang efektif dan menumbuhkan rasa hormat terhadap sudut
pandang yang berbeda.
Sebuah kurikulum berbasis pluralisme beragama tidak
hanya berfokus pada pengetahuan agama, tetapi juga pada pembentukan karakter
siswa yang mengutamakan martabat manusia, keadilan, dan hak asasi manusia.
Siswa diajarkan untuk hidup secara etis dan bertanggung jawab, serta memahami
pentingnya menjaga keharmonisan sosial dalam kerangka keberagaman.
Selain mengajarkan ajaran agama, kurikulum berbasis
pluralisme beragama juga memberikan konteks sosial dan sejarah di balik
dinamika antar agama di masyarakat. Ini bertujuan agar siswa memahami
perkembangan sejarah keberagaman agama dan bagaimana pengaruhnya terhadap
pembentukan identitas sosial.
Pendidikan pluralisme beragama bukan hanya disampaikan
dalam bentuk teori di ruang kelas, tetapi juga diintegrasikan dalam kegiatan
sehari-hari siswa, baik di sekolah maupun dalam kehidupan masyarakat. Ini
termasuk kegiatan ekstrakurikuler, proyek sosial, atau perayaan hari besar
agama yang dapat dilakukan bersama untuk memperkuat nilai kebersamaan.
Salah satu aspek penting lainnya adalah mengajarkan
siswa untuk mengenali dan menanggulangi stereotip negatif serta diskriminasi
berbasis agama. Mereka diberikan keterampilan untuk berpikir kritis terhadap
informasi yang mungkin memicu kebencian atau prasangka, serta diberikan
pemahaman mengenai dampak negatif dari intoleransi.
Secara umum tujuan Kurikulum Berbasis Pluralisme
Beragama. Pertama, membangun keharmonisan sosial dengan menumbuhkan rasa saling
menghargai dan memahami antar umat beragama, kurikulum ini berperan dalam
menciptakan masyarakat yang lebih damai dan toleran. Kedua, mengurangi konflik
agama dengan meningkatkan pemahaman dan komunikasi antar umat beragama. Ketiga,
mendorong kehidupan berdampingan yang sejahtera melalui pendekatan yang menghargai
perbedaan, kurikulum ini bertujuan menciptakan kehidupan bersama yang harmonis
dan penuh dengan rasa saling menghormati.
Sementara pengertian kurikulum berbasis cinta antar
umat beragama yang merupakan turunan dari paradigma pluralisme adalah pendekatan
pendidikan yang menekankan pentingnya rasa cinta, kasih sayang, dan pengertian
antar individu dari berbagai latar belakang agama. Tujuan utama dari kurikulum
ini adalah untuk membangun sikap saling menghormati dan menciptakan hubungan
yang harmonis antar umat beragama dengan mengedepankan nilai-nilai cinta dan
kasih dalam kehidupan sehari-hari.
Kurikulum ini mengajarkan siswa untuk memahami dan merasakan
pentingnya kasih sayang antar sesama umat manusia, tanpa memandang agama, ras,
atau latar belakang apapun. Ini mencakup ajaran tentang nilai-nilai cinta yang
ada dalam setiap agama dan bagaimana cinta itu diterjemahkan dalam tindakan
keseharian.
Salah satu inti dari kurikulum berbasis cinta antar
umat beragama adalah mengembangkan empati, yaitu kemampuan untuk merasakan apa
yang dirasakan orang lain. Siswa diajarkan untuk menghargai perasaan dan
pandangan orang lain, sehingga dapat menciptakan hubungan yang lebih harmonis
meskipun ada perbedaan keyakinan.
Kurikulum ini mengajarkan bahwa hampir semua agama
mengajarkan kasih sayang dan penghargaan terhadap sesama. Misalnya, ajaran
"Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" dalam agama
Kristen, "Cintailah umat manusia sebagaimana engkau mencintai dirimu
sendiri" dalam ajaran Islam, serta konsep kasih dalam agama-agama lain.
Hal ini membantu siswa melihat kesamaan dalam nilai-nilai luhur antar agama.
Sebagai bagian dari kurikulum ini, siswa diberi
kesempatan untuk berpartisipasi dalam dialog antar agama. Dalam diskusi ini,
mereka dapat berbagi pandangan tentang bagaimana setiap agama mengajarkan kasih
sayang dan bagaimana prinsip ini dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dialog ini bertujuan untuk mengurangi prasangka dan membangun pemahaman yang
lebih dalam antar umat beragama.
Cinta antar umat beragama tidak hanya terbatas pada
pengajaran tentang kasih sayang, tetapi juga mengajarkan toleransi. Siswa
diajarkan untuk menerima perbedaan dan berusaha hidup berdampingan dalam damai.
Pendidikan ini mengajak mereka untuk memahami bahwa meskipun ada perbedaan
agama, semua orang memiliki hak untuk hidup dengan damai dan saling
menghormati.
Kurikulum ini menekankan bahwa cinta antar umat
beragama juga berarti bekerjasama dalam membangun masyarakat yang lebih baik.
Siswa didorong untuk berkolaborasi dalam berbagai kegiatan sosial, membantu
sesama, dan menciptakan perdamaian, tanpa memandang agama yang dianut oleh
orang tersebut.
Dengan mengajarkan konsep cinta antar umat beragama,
kurikulum ini berperan penting dalam mengurangi potensi konflik yang dapat
timbul akibat ketidakpahaman atau intoleransi. Pendidikan berbasis cinta akan
memperkuat kesadaran bahwa perbedaan bukanlah alasan untuk berselisih, tetapi
adalah kesempatan untuk saling belajar dan saling mendukung.
Dalam kurikulum ini, penekanan diberikan pada
pembentukan karakter yang baik, di mana siswa didorong untuk menumbuhkan rasa
kasih dan peduli kepada sesama. Mereka diajarkan untuk tidak hanya mengenal
teori tentang agama dan moralitas, tetapi juga menerapkannya dalam tindakan
nyata, baik dalam hubungan dengan teman sebaya maupun dalam kehidupan
bermasyarakat.
Secara umum tujuan kurikulum berbasis cinta antar umat
beragama adalah pertama, membangun kehidupan bersama yang harmonis: dengan
menekankan nilai-nilai cinta, tujuan utama dari kurikulum ini adalah
menciptakan masyarakat yang harmonis, meski terdapat berbagai perbedaan agama
dan budaya. Kedua, mengurangi intoleransi dan diskriminasi yang akan membantu
mengatasi ketegangan sosial dan mempromosikan saling pengertian.
Ketiga, meningkatkan kehidupan sosial yang positif
yang bisa membantu siswa untuk melihat nilai-nilai positif dalam perbedaan
agama, serta menciptakan kehidupan sosial yang penuh kasih sayang, saling
mendukung, dan tanpa kekerasan. Keempat, pendidikan untuk perdamaian dengan mempersiapkan generasi muda sebagai agen
perdamaian yang aktif, yang akan bekerja untuk menyelesaikan konflik agama dan
mempromosikan kedamaian di masyarakat.
Keliman, menumbuhkan rasa kemanusiaan universal dengan
mengajarkan bahwa kasih sayang dan cinta adalah nilai universal yang bisa
ditemukan dalam semua agama dan budaya. Hal ini dapat memperkuat rasa
persaudaraan kemanusiaan di seluruh dunia.
Implementasi kurikulum berbasis cinta dalam paradigma
pluralisme bisa berupa : (1) kegiatan ekstrakurikuler yang melibatkan kerjasama
antara kelompok agama yang berbeda, seperti proyek sosial, kegiatan lingkungan,
atau dialog antar agama. (2) pelajaran agama yang inklusif yakni pelajaran
agama yang tidak hanya berbicara tentang satu agama, tetapi juga mengenalkan
ajaran dan nilai dari berbagai agama, untuk menumbuhkan pengertian dan rasa
hormat terhadap keberagaman. (3) Kegiatan bersama dalam perayaan agama yakni
dengan menyelenggarakan acara perayaan hari besar agama secara bersama-sama,
untuk menunjukkan bahwa meskipun kita berbeda, kita bisa saling berbagi kebahagiaan
dan rasa syukur.
Bagaimana dengan Islam ? Bagaimana paradigma toleransi
dalam Islam ? apakah Islam mengenal pluralisme atau pluralitas ?. Kurikulum
toleransi berbasis aqidah Islam adalah pendekatan pendidikan yang
mengintegrasikan nilai-nilai toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan
dalam kerangka aqidah Islam.
Kurikulum ini bertujuan untuk membangun pemahaman yang
lebih mendalam tentang ajaran Islam mengenai toleransi dan cara-cara Islam
mengajarkan umatnya untuk hidup berdampingan dengan damai di tengah keberagaman
(pluralitas). Islam adalah agama cinta dan perdamaian.
Kurikulum ini mengajarkan bahwa Islam sebagai dinul
haq dan merupakan agama yang penuh dengan ajaran toleransi dan menghormati
perbedaan. Berdasarkan aqidah Islam, Allah menciptakan manusia dalam berbagai
suku, bangsa, dan agama untuk saling mengenal dan hidup bersama dengan penuh
damai. Umat Islam tak perlu belajar toleransi dari agama lain, sebab konsepnya
telah datang dari Allah SWT.
Al-Qur'an menegaskan : “Wahai umat manusia, sesungguhnya Kami telah
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal...” (QS.
Al-Hujurat: 13).
Islam mengajarkan bahwa setiap agama keyakinan
masing-masing, dan umat Islam diajarkan untuk membiarkan keberadaan agama lain,
tidak mengganggu dan juga tidak menghinanya. Ini tercermin dalam ayat “Untukmu agamamu,
untukku agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6), yang mengandung makna bahwa meskipun
ada perbedaan agama, umat Islam tetap harus membiarkan hak orang lain untuk
memeluk agama dan keyakinan mereka.
Islam tentu saja mengajarkan cinta sesama. Dalam
ayat pertama dari Surah Al-Fatiha, Allah menggambarkan dua sifat-Nya yang
sangat penting, yaitu Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Yang Maha
Penyayang). Sifat ini menunjukkan betapa besar kasih sayang Allah kepada
seluruh makhluk-Nya.
Surah At-Tawbah (9:128) – "Sungguh, telah datang
kepada kalian seorang rasul dari golongan kalian sendiri. Berat terasa olehnya
penderitaan yang kalian alami, sangat menginginkan kebaikan bagi kalian, dan
sangat penyayang lagi sangat mengasihi orang-orang yang beriman." Dalam
ayat ini, Allah menggambarkan betapa rasul-Nya, Nabi Muhammad SAW, sangat
peduli dan mengasihi umatnya. Kasih sayang Nabi Muhammad sebagai utusan Allah
mencerminkan kasih sayang Allah kepada umat-Nya.
Surah Al-Imran (3:31) – "Katakanlah: 'Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kamu
dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.' Allah
menjanjikan kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang mengikuti ajaran Nabi
Muhammad SAW dengan ikhlas. Allah akan mencintai mereka dan mengampuni
dosa-dosa mereka.
Dalam Al-Qur'an, ada ayat yang menunjukkan pentingnya
sifat lembut dalam sikap dan perilaku seorang pemimpin, termasuk Nabi Muhammad
SAW. Ayat yang dimaksud adalah dari Surah Ali Imran (3:159), yang berbicara
tentang sikap Nabi Muhammad SAW yang penuh kelembutan yang mengundang kasih
sayang umatnya.
"Maka berkat rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati keras,
niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian, apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakal." (QS. Ali Imran: 159)
Dalam Al-Qur'an, terdapat ayat yang melarang umat
Islam untuk menghina atau mencemooh sesembahan agama lain. "Dan janganlah
kamu mencela orang-orang yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka
akan mencela Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami
jadikan tiap umat menganggap baik amalannya. Kemudian kepada Tuhan merekalah
tempat kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu
mereka kerjakan." (QS. Al-An'am: 108)
Salah satu inti dari kurikulum ini adalah menanamkan
nilai kedamaian, sebab kata Islam itu sendiri artinya selamat atau damai. Islam
mengajarkan umatnya untuk menebarkan salam perdamaian dan keharmonisan. Sebagai
contoh, Nabi Muhammad SAW mengajarkan untuk menyebarkan salam dan menyapa
dengan kata-kata yang penuh kedamaian, seperti dalam hadis: “Sebarkanlah salam
di antara kalian, maka kalian akan merasakan kedamaian” (HR. Muslim).
Dalam kurikulum ini, Nabi Muhammad SAW dijadikan
contoh utama dalam mempraktikkan toleransi antar umat beragama. Sebagai
pemimpin yang mengajarkan toleransi, beliau membangun hubungan yang baik dengan
masyarakat Yahudi, Nasrani, dan orang-orang non-Muslim lainnya saat menjadi
kepala Negara Islam Madinah, bahkan saat menghadapi perbedaan yang cukup tajam.
Kisah-kisah dalam Sirah Nabawiyah ini dapat menjadi model bagi siswa dalam
berinteraksi dengan orang lain yang berbeda agama dan latar belakang.
Aqidah Islam mengajarkan pentingnya berbuat baik
kepada sesama umat manusia. Kurikulum ini akan fokus pada pembelajaran mengenai
akhlak mulia, seperti sabar, jujur, dan menghormati orang lain. Menanamkan
akhlak yang baik kepada siswa akan membantu mereka mempraktikkan toleransi
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tidak
ada iman bagi orang yang tidak bisa menghormati tetangganya.” (HR. Bukhari)
Dalam kurikulum berbasis aqidah Islam, terdapat
penekanan tentang pentingnya tidak ada paksaan dalam beragama, meskipun ada
larangan keras untuk umat Islam menjadi murtad. Konsep dakwah dalam Islam
adalah menyampaikan kebenaran Islam, bukan memaksan orang untuk menjadi muslim.
Hal ini sejalan dengan firman Allah : “Tidak ada paksaan dalam agama”
(QS. Al-Baqarah: 256).
Islam mengajarkan bahwa setiap individu memiliki
tanggung jawab sosial (dimensi sosiologis) untuk menjaga keharmonisan dan
keadilan di masyarakat. Kurikulum ini akan memberikan pemahaman kepada siswa
tentang pentingnya berperan aktif dalam menjaga kedamaian sosial, bekerja sama
untuk mengatasi perbedaan, serta mendukung kebijakan yang adil bagi semua
pihak, terlepas dari agama atau latar belakang mereka, tanpa mengorbankan
dimensi teologis.
Kurikulum ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat
yang harmonis di mana setiap individu, meskipun berbeda agama, bisa hidup
berdampingan dengan penuh toleransi. Dengan memahami ajaran Islam yang
mengedepankan toleransi dan perdamaian, siswa diharapkan dapat mengurangi
potensi konflik dan diskriminasi antar umat beragama. Pendidikan berbasis
aqidah Islam ini bertujuan untuk membentuk siswa menjadi pribadi yang beradab,
penuh kasih sayang, dan mampu berinteraksi dengan baik dalam masyarakat yang
beragam.
Sementara, pluralisme agama, terutama dalam konteks yang
menganggap semua agama sebagai jalan yang sah untuk mencapai Tuhan atau
keselamatan. Dalam pandangan ini, pluralisme dapat menimbulkan relativisme
kebenaran yang mengaburkan ajaran agama yang satu dan hanya merujuk pada
ajaran-ajaran Tuhan yang dianggap absolut. Padahal seorang muslim wajib
meyakini bahwa hanya Islam yang benar, meski dilarang juga untuk menghina agama
dan sesembahan lain.
Konsep pluralisme yang menganggap semua agama sama
atau setara dalam mengarahkan umatnya kepada Tuhan bertentangan dengan prinsip
dasar ajaran Islam. Dalam Islam, hanya satu agama yang dianggap benar dan
membawa keselamatan, yaitu Islam itu sendiri. Sebagaimana ditegaskan dalam
Al-Qur'an: "Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah hanyalah
Islam" (QS. Ali Imran: 19). Pandangan ini mengarah pada penolakan
terhadap konsep pluralisme agama yang memperlakukan semua agama secara setara.
Sedangkan, paradigma sinkretisme agama, yaitu usaha
untuk menggabungkan unsur-unsur dari berbagai agama, juga tidak sejalan dengan
prinsip Aqidah Islam. Prinsip-prinsip yang bertentangan antara satu agama
dengan agama lain tidak mungkin dicampuradukkan. Sinkretisme sebagai bentuk
penyesatan terhadap ajaran yang sudah jelas dan murni dalam agama Islam.
Dalam konteks Islam, sinkretisme bisa mengarah pada
distorsi terhadap akidah dan syariah. Misalnya, mencoba menggabungkan
unsur-unsur ajaran Islam dengan ajaran agama lain, seperti dalam praktik
keagamaan yang mencampurkan ritual atau doktrin-doktrin yang bertentangan
dengan nilai-nilai dasar Islam. Hal ini berbahaya karena dapat menyebabkan
penyimpangan dalam memahami ajaran Islam yang murni dan autentik.
Kritik utama terhadap pluralisme dan sinkretisme adalah
bahwa keduanya dapat melemahkan identitas agama seorang muslim. Dalam pandangan
ini, memperkenalkan ide-ide pluralisme dan sinkretisme dalam masyarakat muslim
dapat menyebabkan kebingungannya umat Islam dalam memahami batasan-batasan
ajaran agama mereka. Ini bisa mengarah pada keraguan dalam keyakinan dan
praktik keagamaan.
Penting dipahami bahwa setiap agama, terutama Islam,
harus mempertahankan kemurnian ajaran dan identitasnya. Toleransi, dalam
pandangannya, tidak berarti bahwa kita harus menerima atau menggabungkan ajaran
agama lain ke dalam sistem keyakinan kita. Sebaliknya, toleransi dalam Islam
berarti membiarkan hak orang lain untuk beragama, namun tetap mempertahankan
keyakinan dan ajaran agama kita sendiri.
Pluralisme dan sinkretisme dapat merusak akidah umat
Islam, yang berakar pada keyakinan terhadap Tauhid (Ke-Esa-an Tuhan). Islam
mengajarkan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, dan satu-satunya cara yang
benar untuk mencapai keselamatan adalah melalui ajaran Islam yang ada dalam
Al-Qur'an dan Sunnah. Pandangan pluralisme yang menganggap semua agama adalah
jalan yang sah menuju Tuhan bisa mengarah pada pandangan yang tidak konsisten
dengan keyakinan Islam tentang kebenaran mutlak.
Sinkretisme, yang mencoba untuk mengambil
elemen-elemen dari agama lain dan menggabungkannya dalam praktek Islam, dapat
merusak kesucian ajaran Islam dan mengaburkan pemahaman tentang keesaan Tuhan
serta makna ibadah yang benar. Praktik semacam ini berpotensi menimbulkan
kebingungan dalam praktik ibadah dan kepercayaan.
Toleransi harus dipahami dalam konteks yang benar, yaitu
membiarkan orang lain dalam perbedaan agama, tidak menghinanya, tidak ikut
campur perayaan, namun tetap dalam koridor menjaga kemurnian ajaran agama
sendiri. Toleransi dalam Islam bukan berarti mengaburkan kebenaran agama,
tetapi mengajarkan umat Islam untuk hidup berdampingan dengan masyarakat yang
plural tanpa mengorbankan prinsip dasar agama.
Akhirnya mari kita renungkan firman Allah berikut : “Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya
kami berlepas diri dari kamu dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami
ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan
kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah
saja.’ Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya, ‘Sesungguhnya aku akan
memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu
(siksaan) Allah.’ (Ibrahim berkata), ‘Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami
bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada
Engkaulah kami kembali’” (Al-Mumtahanah: 4).
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 08 Ramadhan 1446 H – 08 Maret
2025 M : 11.13 WIB)