Oleh : Ahmad Sastra
Perang dagang (trade war) dimulai saat AS,
di bawah pemerintahan Donald Trump (2018), mulai menaikkan tarif atas produk
Tiongkok. Tapi di balik tarif dan balasan dagang itu, ada pertempuran ideologis
dan strategis.
AS ingin mempertahankan dominasinya dalam
teknologi, manufaktur tinggi, dan kekuatan ekonomi. Tiongkok ingin naik kelas
menjadi kekuatan global yang mandiri dan bisa menantang sistem internasional
yang selama ini dikuasai Barat.
Amerika sejak Perang Dunia II punya visi
jadi pemimpin tatanan dunia liberal internasional, yang ditandai dengan pertama,
dominasi dolar AS dalam perdagangan dan keuangan global. Kedua, aliansi militer
(seperti NATO) untuk mempertahankan pengaruh global. Ketiga, Pengaruh Budaya
dan teknologi lewat perusahaan seperti Google, Apple, Netflix. Dan keempat, kontrol
atas Institusi Global seperti IMF, Bank Dunia, dan PBB. Perang dagang jadi
bagian dari upaya AS menghambat kebangkitan Tiongkok yang dianggap sebagai
ancaman terhadap sistem tersebut.
Dengan strategi perang dagang ini, Amerika
ingin menghambat pertumbuhan industri teknologi Tiongkok, khususnya yang masuk
ke bidang 5G, AI, dan semikonduktor. Memaksa Tiongkok membuka pasarnya, agar
perusahaan-perusahaan AS bisa lebih bebas beroperasi di sana. Amerika juga
ingin menjaga ketergantungan global pada teknologi dan sistem keuangan AS. Mengisolasi
Tiongkok secara ekonomi dan diplomatik lewat kerja sama dengan sekutu seperti
Jepang, Eropa, dan Australia.
Efek domino perang dagang ini bisa menjadikan
dunia terpecah dalam dua blok ekonomi dan teknologi: pro-AS dan pro-Tiongkok. Negara
berkembang seperti Indonesia bisa terjebak di tengah dan dipaksa memilih pihak,
yang bisa mengganggu stabilitas ekonomi dan diplomatik. Perang dagang bisa jadi
pintu masuk ke konflik yang lebih besar, bahkan militer, seperti di Laut China
Selatan atau Taiwan.
Perang dagang AS–Tiongkok adalah perang
hegemoni terselubung. AS ingin mempertahankan posisinya sebagai pemimpin
global, sementara Tiongkok mencoba membentuk tatanan dunia baru yang lebih
multipolar. Negara-negara seperti Indonesia perlu cermat dan strategis agar
tidak terjebak menjadi pion dalam permainan besar ini.
Dapat dilihat dimana Trump melalui
kebijakan-kebijakannya berusaha untuk mempertahankan Amerika Serikat sebagai negara hegemoni di
dunia internasional serta untuk melindungi keamanan nasionalnya dalam hal
ekonomi. Amerika Serikat merasa curiga terhadap China dan menjadikan China
sebagai ancaman karena pertumbuhan ekonomi yang semakin baik sehingga membuat
Amerika Serikat harus mengalahkan pesaingnya yaitu China dengan penerapan
sejumlah kebijakan politik luar negerinya.
Jika dalam teori realisme dikatakan bahwa
setiap negara memilki kepentingannya masing-masing dan ntuk mewujudkan
keinginannya itu mereka rela untuk melakukan apapun bahkan mendominasi
kekuasaan.
Pada masa Trump memimpin, Amerika Serikat
memanfaatkan economic statecraft untuk menggapai kepentingan nasionalnya. Economic
Statecraft merupakan upaya menggunakan instrumen ekonomi guna mempromosikan dan
mempertahankan kepentingan nasional serta untuk menghasilkan hasil geopolitik
yang menguntungkan negaranya.
Economic statecraft adalah penggunaan
alat-alat ekonomi oleh suatu negara untuk mencapai tujuan politik luar negerinya.
Ini adalah kombinasi antara ekonomi dan diplomasi, di mana negara menggunakan
insentif (seperti bantuan atau perjanjian dagang) dan tekanan (seperti sanksi
atau tarif) untuk memengaruhi perilaku negara lain.
Alat-alat dalam economic statecraft, bisa
berupa sanksi ekonomi. Pembatasan perdagangan, keuangan, atau perjalanan untuk
menekan pemerintah atau individu (contoh: sanksi AS terhadap Rusia atau Iran). Kesepakatan
yang membuka pasar atau memberikan keuntungan ekonomi untuk menyelaraskan kepentingan
politik.
Bantuan ekonomi untuk membangun hubungan
baik, mendukung pembangunan, atau mendapatkan pengaruh. Pembatasan terhadap
investasi luar negeri yang dianggap mengancam kepentingan atau keamanan nasional.
Tuduhan terhadap negara lain yang dianggap sengaja melemahkan mata uangnya demi
keuntungan perdagangan.
Hal ini terlihat dari perang tarif dagang
antara Amerika dengan Tiongkok, di mana Amerika melakukan sanksi embargo
terhadap barang-barang buatan China. Trump menerapkan kebijakan bea masuk 10%
terhadap barang impor China yang mana langkah Trump ini mempertajam perang
dagang antara Amerika dengan China.
Tujuan Economic Statecraft ala Trump
adalah untuk melindungi keamanan nasional, melindungi industri dalam negeri,
mempengaruhi perilaku pemerintah asing dan memberikan hukuman atas pelanggaran
norma internasional.
Dalam percaturan ekonomi global ini,
Indonesia bisa apa ?. Indonesia hanya bisa jadi penonton dan korban. Indonesia
masih sangat bergantung pada ekspor komoditas mentah (seperti batu bara, kelapa
sawit, nikel, karet), bukan barang manufaktur bernilai tinggi. Dalam perang
dagang, yang diperebutkan adalah pasar manufaktur dan teknologi, sehingga
Indonesia tidak punya posisi tawar yang kuat di arena tersebut.
Dalam peta global, Indonesia adalah
ekonomi besar di Asia Tenggara, tapi bukan kekuatan utama global seperti AS
atau Tiongkok. Akibatnya, Indonesia tidak punya kekuatan untuk mempengaruhi
arah perang dagang, hanya bisa menyesuaikan diri terhadap dampaknya.
Indonesia cenderung mengambil posisi
netral dan hati-hati dalam menghadapi konflik besar antarnegara. Ini bagus
untuk stabilitas politik, tapi kadang menyebabkan kurangnya strategi ofensif
untuk mengambil keuntungan dari situasi seperti perang dagang.
Saat AS dan Tiongkok saling mengenakan
tarif, beberapa negara lain seperti Vietnam atau Meksiko berhasil menjadi
alternatif basis produksi karena mereka punya infrastruktur industri yang siap
pakai. Indonesia belum secepat itu dalam menarik relokasi industri global.
Indonesia jadi "penonton" karena
belum punya kekuatan ekonomi dan struktur industri yang cukup kuat untuk
menjadi pemain aktif. Dan jadi "korban" karena terdampak oleh
ketidakstabilan global yang timbul dari konflik dagang dua raksasa dunia
tersebut.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 28/04/25 :
13.00 WIB)