Oleh : Ahmad Sastra
Perancis kembali
dilanda islamopobia ekstrem yang menelan korban jamaah masjid. Seorang pria
telah melakukan penusukan secara brutal dan bertubi-tubi terhadap salah satu
jamaah masjid. Hal ini menandakan belum redanya eslamopobia rasisme di
Perancis. Entah iblis mana yang menghinggapi pria itu hingga tega melakukan
kekejian yang di luar nalar manusia pada umumnya.
Bukan hanya sampai
disitu, setelah ditikam puluhan kali pekan lalu, pelaku lantas memfilmkannya
dengan telepon seluler sambil meneriakkan hinaan terhadap Islam dalam serangan
hari Jumat di desa La Grand-Combe di wilayah Gard. Penghinaan terhadap Islam
adalah perbuatan keji yang tidak semestinya dilakukan oleh siapapun, karena
akan menyulut kemarahan umat Islam sedunia.
Presiden Emmanuel
Macron mengecam penusukan seorang Muslim di sebuah masjid di bagian selatan
Prancis. Ia mengatakan tak pernah ada tempat untuk rasisme dan kebencian di
Prancis. "Rasisme dan kebencian berdasarkan agama tidak boleh ada di
Prancis. Kebebasan beribadah tidak boleh dilanggar," tulis Macron di X
saat ditanya tentang komentar pertamanya terkait pembunuhan Muslim di hari
Jumat, 26 April 2025, seperti dilansir dari France 24. Ia menyampaikan
dukungannya kepada sesama warga Muslim di Prancis.
Perdana Menteri
Prancis François Bayrou telah mengecam kejahatan tersebut sebagai Islamofobia.
Terduga pelaku mengirimkan video yang direkamnya dengan telepon genggam kepada
orang lain. Dalam video itu, korban tengah merintih kesakitan. Video itu
kemudian dibagikan di platform media sosial sebelum dihapus.
Seorang sumber yang
dekat dengan kasus tersebut, mengatakan tersangka pelaku telah diidentifikasi
sebagai warga negara Prancis asal Bosnia yang bukan seorang Muslim. Korban,
seorang pemuda Mali berusia 20-an, dan penyerang berada sendirian di dalam
masjid saat kejadian.
Setelah awalnya
berdoa bersama pria tersebut, penyerang kemudian menikam korban hingga 50 kali
sebelum meninggalkan tempat kejadian perkara. Jasad korban baru ditemukan pada
pagi harinya saat jamaah lainnya tiba di masjid untuk salat Jumat.
Usai pembunuhan
tersebut, unjuk rasa menentang Islamofobia berlangsung Minggu malam, 27 April
2025, di Paris. Dewan Agama Islam Prancis (CFCM) mengatakan serangan
teroris anti-Muslim itu membuat komunitas Muslim merasa ketakutan. ia mendesak
umat Muslim di Prancis untuk sangat waspada.
Penyerang hanya
diketahui bernama Olivier, lahir di Prancis pada tahun 2004 dan menganggur
tanpa catatan kriminal. Jaksa wilayah Abdelkrim Grini mengatakan ia
berbahaya.
Pelaku telah
menyerahkan diri di kantor polisi di Italia, menurut jaksa penuntut Prancis
pada Senin, 28 April 2025. "Hal ini sangat memuaskan bagi saya sebagai
jaksa. Melihat efektivitas langkah-langkah yang diambil, tersangka tidak punya
pilihan selain menyerahkan diri, dan itu adalah hal terbaik yang dapat dilakukannya,"
kata Abdelkrim Grini, jaksa kota Alès di selatan, yang menangani kasus
tersebut.
Islamofobia dan
rasisme masih terjadi di Prancis karena sejumlah faktor historis, sosial,
politik, dan budaya yang saling berkaitan. Prancis memiliki sejarah panjang
kolonialisme, khususnya di wilayah mayoritas Muslim seperti Aljazair, Maroko,
dan Tunisia. Warisan kolonial ini menciptakan hubungan yang rumit antara
mayoritas masyarakat Prancis dan imigran dari bekas jajahan. Banyak stereotip dan
prasangka rasial berasal dari masa kolonial ini dan masih terbawa hingga
sekarang.
Prancis sangat
menjunjung tinggi prinsip laïcité, yaitu pemisahan yang ketat antara agama dan
negara atau sekulerisme. Dalam praktiknya, prinsip ini sering kali menyebabkan
pelarangan ekspresi agama di ruang publik, seperti larangan mengenakan hijab di
sekolah negeri atau tempat kerja pemerintah. Meskipun ditujukan untuk semua
agama, kebijakan ini secara tidak proporsional berdampak pada Muslim, dan sering
kali dipersepsikan sebagai bentuk diskriminasi.
Media arus utama di
Prancis terkadang menggambarkan Muslim secara negatif, terutama dalam konteks
terorisme atau kriminalitas. Politikus dari sayap kanan juga sering
mengeksploitasi isu imigrasi dan Islam untuk mendapatkan dukungan politik,
dengan mengasosiasikan Islam dengan ancaman terhadap identitas nasional.
Banyak komunitas
Muslim di Prancis tinggal di wilayah suburban (banlieue) yang secara ekonomi
tertinggal, dengan akses terbatas ke pendidikan dan pekerjaan. Ketimpangan ini
memperkuat stereotip dan memperbesar ketegangan sosial antara kelompok etnis
dan ras.
Muslim Prancis kurang
terwakili dalam institusi negara, media, dan sektor swasta. Hal ini membuat
mereka lebih rentan terhadap diskriminasi dan sulit membela hak-hak mereka
secara efektif di tingkat nasional.
Banyak
ketakutan, kecurigaan, dan sikap negatif terhadap Muslim tidak berdasarkan
fakta, melainkan pada stereotip, generalisasi, dan miskonsepsi. Berikut
beberapa bentuk kesalahan persepsi yang sering memicu Islamofobia. Selain tentu
saja memang adanya kebencian terhadap Islam dan kaum muslimin.
Banyak orang
menyamakan Islam dengan terorisme atau kekerasan karena disebabkan oleh
propaganda Barat terhadap Islam. Kesalahan ini diperkuat oleh media yang sering
memberitakan kasus ekstremisme dengan penekanan pada agama pelakunya jika
mereka Muslim. Padahal pelaku kejahatan bisa dilakukan siapa saja, dengan
berbagai motifnya.
Ada anggapan bahwa
Muslim tidak bisa berasimilasi atau menolak nilai-nilai kebebasan dan
demokrasi. Ini adalah generalisasi yang salah. Banyak Muslim di negara-negara
Barat, termasuk Prancis, yang aktif dalam masyarakat, berpendidikan tinggi, dan
mendukung nilai-nilai sipil. Terlepas dari sikap apa yang semestinya dilakukan
oleh seorang muslim terhadap sekulerisme demokrasi.
Simbol seperti hijab,
janggut, atau masjid sering kali dianggap sebagai bentuk penolakan terhadap
“gaya hidup Barat” atau dianggap provokatif. Padahal, bagi banyak Muslim, itu
hanyalah bentuk ekspresi spiritual yang pribadi karena mentaati perintah Allah,
bukan politis.
Islam sering
disamakan dengan etnis tertentu (seperti Arab atau Afrika Utara), sehingga
diskriminasi terhadap Muslim juga sering bersifat rasial. Ini mencampuradukkan
antara identitas agama dan etnis, yang menyebabkan ketidakadilan ganda.
Banyak orang yang
takut terhadap Islam sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang ajarannya. Mereka
hanya tahu potongan-potongan yang bias atau salah tafsir, bukan dari sumber
asli atau dialog yang jujur dengan umat Muslim.
Islamofobia adalah
sebuah fobia atau suatu ketakutan, kebencian atau prasangka
terhadap Islam atau Muslim secara umum. Cakupan dan definisi yang tepat dari
istilah Islamofobia, termasuk hubungannya dengan ras, telah menjadi bahan perdebatan. Sejumlah ulama menganggapnya
sebagai bentuk xenofobia atau rasisme, sementara pendapat yang lain membantah adanya
hubungan di antaranya; terutama dengan basis bahwa agama tidaklah sama dengan
ras.
Sejumlah pihak
mengkritik konsep Islamofobia dengan mengatakan bahwa istilah ini adalah usaha
untuk membungkam kritik terhadap Islam. Novelis
ternama, Salman Rushdie dan
sejumlah koleganya menandatangani sebuah manifesto berjudul "Bersama melawan bentuk
baru dari totalitarianisme" di bulan Maret 2006, menyebut islamofobia adalah "konsep absurd
yang mencampur-adukkan kritik terhadap Islam sebagai agama dengan stigmatisasi terhadap para penganutnya.". terlepas
dari berbagai perdebatan dan diskursus yang ada, yang jelas islamopobia telah
sangat merugikan umat Islam di seluruh dunia.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan,
28/04/25 : 20.03 WIB)