Oleh
: Ahmad Sastra
Meskipun secara normatif, Allah melarang
kaum muslimin berpecah belah, namun setelah keruntuhan institusi pemersatu
muslim, yakni daulah Islam, pada faktanya, saat ini umat Islam terpecah menjadi
50 negara bangsa dengan ikatan primordial nasionalisme, bukan lagi aqidah Islam
atau agama Allah yang jadi ikatan persatuan.
Hal ini sejalan dengan perintahkan Allah :
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah
berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk. (QS Ali Imran : 103).
Perbedaan suku bangsa adalah fakta
sosiologis yang merupakan semacam taken of granted yang telah menjadi ketetapan
Allah. Namun, perbedaan suku dan bangsa, bukan alasan bagi umat Islam untuk
terpecah belah. Sebab Allah menegaskan bahwa umat Islam adalah umat yang satu,
sedangkan perbedaan suku bangsa hendaknya mendorong untuk saling mengenal,
bukan saling memusuhi.
Allah memerintahkan kaum muslimin untuk
saling mengenal, sebagaimana firmanNya : Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal. (QS Al Hujurat : 13)
Allahpun menegaskan bahwa sesungguhnya
kaum muslimin adalah umat yang satu, hal ini sebagaimana firmanNya :
Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan
Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku (QS Al Anbiya : 92).
Hijrah, Inspirasi Persatuan Umat
Diantara pesan penting dari peristiwa
hijrah Rasulullah dari Mekkah ke Madinah atas perintah Allah adalah pesan
persatuan umat. Sebab salah satu peristiwa penting dalam sejarah hijrah adalah
ketika Rasulullah menyatukan kaum muhajirin dan anshar. Bahkan, saat daulah
Madinah telah tegak, perbedaan keyakinan antara muslim, yahudi dan majusipun
bisa hidup harmonis dibawah aturan syariat Islam.
Semua itu semestinya mengingatkan umat Islam akan
karakter mereka sebagai umat yang satu (ummat[an] wahidah), sebagaimana pernah
ditegaskan sendiri oleh Nabi Muhammad saw. dalam Piagam Madinah : Ini adalah
piagam perjanjian dari Muhammad saw. antara orang-orang Muslim dan Mukmin dari
Quraisy dan Yatsrib serta orang-orang yang menyusul mereka, bergabung dengan
mereka dan berjihad dengan mereka. Sesungguhnya mereka adalah satu umat
(ummat[an] wahidah), berbeda dengan manusia lainnya (Shafiyurrahman
Mubarakfuri, Ar-Rahiq Al-Makhtum, hlm. 153; Abul Hasan Ali An-Nadwi, Ma Dza
Khasir al-‘Alam bi-[I]nhithath al-Muslimin, hlm. 176).
Diantara pelajaran penting hijrah Rasulullah adalah
misi persatuan, yakni dengan mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar
dengan landasan Aqidah Islam. Persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar
merupakan salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah awal Islam,
terutama dalam konteks Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah pada
tahun 622 M.
Muhajirin adalah kaum muslimin yang hijrah dari Mekkah
ke Madinah atas perintah Allah karena
mengalami tekanan, siksaan, dan boikot ekonomi dari kaum kafir Quraisy. Sedangkan
kaum Anshar adalah Penduduk asli Madinah (dulu bernama Yatsrib), yang terdiri
dari dua suku utama: Aus dan Khazraj, yang telah memeluk Islam sebelum Hijrah. Perbedaan
suku diantara mereka disatukan dengan ikatan aqidah Islam.
Ketika Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya tiba di
Madinah, para Muhajirin datang dalam keadaan miskin, kehilangan harta dan
tempat tinggal. Mereka membutuhkan dukungan moral dan material untuk memulai
kehidupan baru. Diantara contoh persaudaraan itu adalah antara Abdurrahman bin
Auf (Muhajirin) dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Rabi’ (Anshar) yang terjadi
pada tahun ke-1 hijrah.
Diantara tujuan persaudaraan yakni menumbuhkan
solidaritas dan empati antarsesama muslim. Tujuan lainnya adalah upaya menguatkan
barisan umat Islam di Madinah dalam menghadapi ancaman dari luar (Quraisy)
maupun dari dalam (munafik dan Yahudi). Dampak positif mempersaudarakan antara
kaum Muhajirin dan Anshar ini adalah , pertama, meningkatnya persatuan dan
stabilitas umat Islam di Madinah. Kedua, mewujudkan masyarakat Islam pertama
yang kuat. Ketiga, menjadi model ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) yang
menginspirasi generasi muslim berikutnya.
Hijrah dan Tegaknya Daulah Islam
Selain inspirasi misi persatuan umat, peristiwa hijrah
juga memberikan pelajaran penting yakni misi penegakan daulah Islam sebagai
institusi syar’i bagi kaum muslimin. Dengan tegaknya Daulah Islam di Madinah
yang dipimpin Rasulullah inilah kaum muslimin menjadi kaum yang kuat, mulia, dan
maju. Dengan daulah inilah kaum muslimin merdeka, terlepas dari berbagai bentuk
kezoliman yang dilakukan musuh-musuh Allah.
Dalam konteks ini, makna hijrah adalah perpindahan
dari wilayah kufur ke wilayah iman. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh
Ar-Raghib al-Ashfahany (w. 502 H), hijrah berarti keluar dari dârul kufr
(wilayah yang menerapkan hukum-hukum kufur) menuju Dârul Îmân (wilayah yang
menerapkan hanya hukum-hukum Islam) (Al-Ashfahâny, Al-Mufradât fii Gharîb
al-Qur’ân, hlm. 833).
Pembentukan negara yang berdaulat dan disegani serta
memberikan perlindungan bagi umat adalah makna “Sulthaan[an] Nashiira”
(kekuasaan yang menolong). Kekuasaan ini telah diberikan oleh Allah SWT kepada
Nabi saw. dalam bentuk negara, sistem dan kekuasaan Islam (Negara Islam).
Negara Islam inilah yang benar-benar menolong dan memenangkan Islam dan kaum
Muslim. Pasca Nabi saw., Negara Islam ini yang kemudian disebut dengan Khilafah
Islam menjadi negara adidaya di seluruh dunia sepanjang empat belas abad.
Kedigjayaan Khilafah Islam ini terus berlangsung di
bawah kepemimpinan Khulafaur-Rasyidin dan para khalifah berikutnya. Para
khalifah ini hanya menerapkan syariah Islam. Mereka juga terus berupaya
meluaskan penyebaran Islam. Di bawah Khilafah Islamiyah kaum Muslim pun bersatu
selama berabad-abad dalam ikatan ukhuwah islamiyah. Kekuatan kaum Muslim pun
amat disegani. Para khalifah pada masa lalu selalu sigap membela dan melindungi
kehormatan Islam serta kaum Muslim.
Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam
yang memimpin umat dengan menerapkan syariah secara menyeluruh (kaffah) dalam
segala aspek kehidupan, politik, hukum, ekonomi, sosial, dan hubungan luar
negeri. Bagi banyak umat Islam, khilafah adalah simbol persatuan, pelindung
Islam, dan pelaksana syariah secara utuh. Tanpa khilafah, umat Islam terpecah
dalam negara-bangsa dan sistem sekuler yang jauh dari nilai-nilai Islam.
Setidaknya ada tiga esensi khilafah yang bisa
dipahami. Esensi pertama khilafah dalam Islam adalah untuk menerapkan syariat
dan hukum Allah secara sempurna di berbagai bidang kehidupan manusia. Esensi
kedua khilafah adalah dakwah rahmatan lil alamin ke seluruh penjuru dunia. Esensi
ketiga khilafah adalah mewujudkan persatuan umat seluruh dunia dalam satu
kepemimpinan.
Khilafah adalah negara manusiawi, bukan negara ilahi
(teokrasi) dimana kedaulatan hukum ada di tangan Allah, sementara kekuasaan di
tangan seorang khalifah yang bertugas melaksanakan hukum Islam secara kaffah. Kaum
muslimin sedunia, meski beda suku dan bangsa, namun memiliki kesamaan, yakni
Tuhan yang Satu, Rasul yang satu, kiblat yang satu, kitab yang satu, maka
mestinya juga bendera yang satu dan negara yang satu.
Islam tidak menghapus identitas budaya, tapi
menghargainya selama tidak bertentangan dengan nilai tauhid. Konsep rahmatan
lil ‘alamin adalah tawaran Islam untuk menciptakan perdamaian global berbasis
keadilan. Pemerintahan Islam (khilafah) mendorong pencarian ilmu dan eksplorasi
alam. Di masa keemasan peradaban Islam, kemajuan dalam sains, matematika,
kedokteran, dan filsafat luar biasa. Spirit inilah yang bisa membimbing kembali
arah kemajuan hari ini agar tidak kosong dari nilai.
Khilafah Pembebas Palestina
Diantara tokoh pembela dan pembebas Palestina adalah
Sultan Hamid II. Sejak zaman Kesultanan Turki Utsmani, bangsa Israel sudah berusaha tinggal di tanah Palestina. Kaum
zionis itu menggunakan segala macam cara, intrik, maupun kekuatan uang dan
politiknya untuk merebut tanah Palestina.
Di masa Sultan Abdul Hamid II, niat jahat kaum Yahudi itu begitu terasa. Kala itu,
Palestina masih menjadi wilayah kekhalifahan Turki Utsmani. Sebagaimana
dikisahkan dalam buku Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II karya
Muhammad Harb, berbagai langkah dan strategi dilancarkan oleh kaum Yahudi untuk
menembus dinding Kesultanan Turki Utsmani, agar mereka dapat memasuki
Palestina.
Pertama, pada 1892, sekelompok Yahudi Rusia mengajukan
permohonan kepada Sultan Abdul Hamid II, untuk mendapatkan izin tinggal di
Palestina. Permohonan itu dijawab Sultan dengan ucapan ''Pemerintan Utsmaniyyah
memberitahukan kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki, bahwa
mereka tidak akan diizinkan menetap di Palestina''. Mendengar jawaban seperti
itu kaum Yahudi terpukul berat, sehingga duta besar Amerika turut campur
tangan.
Kedua, Theodor Hertzl, Bapak Yahudi Dunia sekaligus
penggagas berdirinya Negara Yahudi, pada 1896 memberanikan diri menemui Sultan
Abdul Hamid II sambil meminta izin mendirikan gedung di al-Quds. Permohonan itu
dijawab sultan, ''Sesungguhnya Daulah Utsmani ini adalah milik rakyatnya.
Mereka tidak akan menyetujui permintaan itu. Sebab itu simpanlah kekayaan
kalian itu dalam kantong kalian sendiri''.
Melihat keteguhan Sultan, mereka kemudian membuat
strategi ketiga, yaitu melakukan konferensi Basel di Swiss, pada 29-31 Agustus
1897 dalam rangka merumuskan strategi baru menghancurkan Khilafah Utsmaniyyah.
Karena gencarnya aktivitas Zionis Yahudi akhirnya pada 1900 Sultan Abdul Hamid
II mengeluarkan keputusan pelarangan atas rombongan peziarah Yahudi di Palestina untuk tinggal di sana lebih dari tiga bulan, dan paspor Yahudi harus
diserahkan kepada petugas khilafah terkait. Dan pada 1901 Sultan mengeluarkan
keputusan mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.
Pada 1902, Hertzl untuk kesekian kalinya menghadap
Sultan Abdul Hamid II. Kedatangan Hertzl kali ini untuk menyogok sang penguasa
kekhalifahan Islam tersebut. Di antara sogokan yang disodorkan Hertzl adalah:
uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk Sultan; Membayar semua hutang
pemerintah Utsmaniyyah yang mencapai 33 juta poundsterling; Membangun kapal
induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank; Memberi pinjaman 5 juta
poundsterling tanpa bunga; dan Membangun Universitas Utsmaniyyah di Palestina.
Namu, kesemuanya ditolak Sultan. Sultan tetap teguh
dengan pendiriannya untuk melindungi tanah Palestina dari kaum Yahudi. Bahkan
Sultan tidak mau menemui Hertzl, diwakilkan kepada Tahsin Basya, perdana
menterinya, sambil mengirim pesan, ''Nasihati Mr Hertzl agar jangan meneruskan
rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina),
karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah
berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah
mereka.''
Sultan juga mengatakan, ''Yahudi silakan menyimpan
harta mereka. Jika suatu saat kekhilafahan Turki Utsmani runtuh, kemungkinan
besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan
tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku
daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah
Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan
memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.''
Sejak saat itu kaum Yahudi dengan gerakan Zionismenya
melancarkan gerakan untuk menumbangkan Sultan. Dengan menggunakan jargon-jargon
"liberation", "freedom", dan sebagainya, mereka menyebut
pemerintahan Abdul Hamid II sebagai "Hamidian Absolutism", dan
sebagainya.
''Sesungguhnya aku tahu, bahwa nasibku semakin terancam.
Aku dapat saja hijrah ke Eropa untuk menyelamatkan diri. Tetapi untuk apa? Aku
adalah Khalifah yang bertanggungjawab atas umat ini. Tempatku adalah di sini.
Di Istanbul!'' Tulis Sultan Abdul Hamid II dalam catatan hariannya. (sumber :
Republika)
Begitulah gambaran ketika masih ada institusi khilafah yang dipimpin seorang
khalifah, maka mereka akan mati-matian membela Palestina, tanah suci pertama
umat Islam sedunia. Pembelaan atas palestina seorang khalifah adalah karena
ikatan aqidah dan konsekuensi keimanan kepada Allah.
Maka, jika khilafah masih ada, jangankan untuk menjajah palestina, sekedar
untuk menginjakkan kakinya di bumi palestina, entitas yahudi tidak akan pernah
bisa. Namun ketika khilafah telah tiada, maka Palestina tak lagi memiliki
pelindung, akhirnya terjadilah apa yang kini tengah terjadi, dimana palestina
dijajah dan dizolimi entitas yahudi, sementara negeri-negeri muslim diam
membisu karena tak memiliki kekuatan untuk membantunya.
Semestinya negeri-negeri muslim
mengirimkan tentara terbaiknya untuk melumat entitas yahudi serta mengusir dari
bumi Palestina. Hanya khilafah, institusi pemersatu negeri-negeri muslim di
seluruh dunia yang bisa membebaskan Palestina dengan sempurna dan tuntas. Termasuk
negeri-negeri muslim yang kini terjajah dalam hegemoni negara-negara kafir
Barat.
Bukan hanya itu, khilafah juga akan
kembali membawa peradaban agung masa depan, sebagaimana telah dicapai pada masa
lampau. Dengan demikian, hijrah dalam konteks ini adalah transformasi dari
negara nasionalisme menuju negara khilafah untuk mewujudkan kemerdekaan, kemualiaan,
keadilan, persatuan dan kejayaan Islam dan kaum muslimin seluruh dunia.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1070/29/06/25
: 05.56 WIB)