Oleh : Ahmad Sastra
Detik.com. Garda Revolusi Iran menyebut akan
menyerang Israel 'tanpa henti hingga fajar' dari Senin hingga Selasa. Pihaknya
sudah menyiapkan pesawat tanpa awak hingga rudal dalam serangan tersebut. "Gelombang
kesembilan serangan gabungan pesawat tak berawak dan rudal telah dimulai dan
akan terus berlanjut tanpa henti hingga subuh," kata juru bicara Garda
Revolusi Iran, Ali Mohammad Naini, dilansir kantor berita AFP, Selasa
(17/6/2025).
Sementara, media Aljazeera melaporkan sirene serangan
udara terdengar di Tel Aviv, dengan gambar langsung menunjukkan suara di
langit. Tentara Israel mengatakan telah mengidentifikasi rudal yang diluncurkan
dari Iran, setelah Teheran mengatakan telah meluncurkan serangan pesawat tak
berawak dan rudal lainnya di Tel Aviv dan Haifa.
Jakarta, CNN Indonesia. Lima warga Israel meninggal
dunia akibat serangan rudal Iran, Senin (16/6), sebagaimana dikabarkan
layanan darurat nasional Israel (Magen David Adom/MDA). Dalam rilis MDA itu
disebutkan bahwa empat orang tewas di kota Petah Tikva dan satu orang lainnya
tewas di kota Bnei Brak. Dengan ini total korban meninggal Israel menjadi 18
orang.
Rudal-rudal dari Iran kembali menghujani
Israel pada Minggu (15/6) malam hingga Senin (16/6) dini hari. Rudal-rudal itu
lantas menghantam beberapa lokasi di Israel tengah dan pesisir.
Beberapa saat setelah rudal meledak, otoritas Israel mendatangi lokasi
kejadian. Yang meninggal dan luka-luka langsung dievakuasi ke rumah sakit
terdekat untuk perawatan. Sementara itu dari Iran disebutkan korban meninggal
mencapai 224 orang dan 1.277 lainnya dirawat di rumah sakit sejak rudal jarak
jauh ditembakkan kedua belah pihak pada Jumat (13/6).
Konflik Iran–Israel telah berkembang dari
perang dingin menjadi konfrontasi terbuka dengan serangan militer langsung.
Meski keduanya memiliki kapasitas militer untuk melanjutkan perang skala penuh,
kondisi internal seperti krisis ekonomi di Iran dan tekanan sosial di Israel
membuat keduanya cenderung menahan diri dan mencari cara menghentikan perang
ini dengan cepat. Dalam konteks geopolitik, Israel lebih diuntungkan karena
didukung negara-negara Barat dan sejumlah negara Arab yang memusuhi Iran.
Sebaliknya, Iran menghadapi isolasi internasional dan hanya mendapat dukungan
terbatas dari Rusia atau China.
Membaca
Sejarah Konflik Iran Israel
Sejak 2023, ketegangan antara Iran dan
Israel telah berkembang dari konflik bayangan menjadi benturan militer terbuka.
Kedua negara, yang selama ini terlibat konfrontasi melalui operasi rahasia,
serangan siber, dan perang proksi—seperti Hizbullah di Lebanon dan Houthi di
Yaman—akhirnya terlibat dalam serangan langsung yang belum pernah terjadi
sebelumnya sejak Revolusi Islam Iran 1979.
Puncak eskalasi terjadi pada 13 Juni 2025,
ketika Israel melancarkan Operasi “Rising Lion”. Serangan ini mencakup lebih
dari 100 target strategis, termasuk fasilitas nuklir di Natanz, Isfahan, dan
Teheran, serta markas militer utama dan pusat penelitian teknologi tinggi.
Puluhan tokoh militer senior dan ilmuwan Iran dilaporkan tewas, dalam sebuah
aksi yang diyakini bertujuan melumpuhkan kemampuan nuklir dan pertahanan Iran.
Iran membalas dengan "Operation True
Promise 3", ke wilayah Israel pada malam yang sama dan berlanjut keesokan
harinya. Sekitar 100 hingga 150 rudal balistik dan drone diarahkan ke kota-kota
besar Israel, menyebabkan korban dan ratusan luka-luka, meskipun sebagian besar
berhasil dicegat sistem pertahanan udara Israel Arrow dan Iron Dome.
Konflik antara Iran dan Israel sangat
kompleks dan melibatkan berbagai aspek geopolitik, termasuk dukungan Iran
terhadap kelompok-kelompok militan seperti Hezbollah dan Hamas yang berlawanan
dengan Israel. Meskipun Iran dan Israel terlibat dalam konflik proksi, tidak
ada bukti konkret yang menunjukkan adanya jalinan terselubung antara Iran dan
Israel, termasuk dengan Amerika, dalam konflik Israel-Palestina.
Faktor yang Memperumit Hubungan Iran dan
Israel. Pertama, konflik proksi dimana Iran mendukung kelompok-kelompok militan
seperti Hezbollah dan Hamas, yang dianggap sebagai ancaman oleh Israel. Kedua, program
nuklir Iran yang membuat Israel khawatir program nuklir Iran dapat mengancam
keberadaannya. Ketiga, pengaruh regional, dimana Iran berusaha memperluas
pengaruhnya di Timur Tengah, yang dianggap sebagai ancaman oleh Israel.
Positioning Amerika Serikat dalam konflik Iran-Israel
sangat jelas bahwa Amerika memberikan dukungan terhadap Israel. Amerika Serikat
secara historis mendukung Israel dan telah menyatakan dukungannya terhadap
keamanan Israel. Amerika Serikat telah menerapkan sanksi ekonomi terhadap Iran
dan telah menunjukkan kekhawatirannya terhadap program nuklir Iran.
Segera setelah serangan Yahudi tersebut,
Presiden AS Donald Trump pada Jumat, 13 Juni 2025, menyatakan: Serangan Israel
terhadap Iran sangat bagus, dan mendorong Iran untuk membuat kesepakatan
terkait program nuklirnya.. Saat ditanya oleh ABC News apakah AS terlibat dalam
serangan itu, dia menjawab: "Saya tidak ingin menjawab pertanyaan itu.
Dalam unggahannya di Truth Social, Trump
mengatakan: Iran harus segera mencapai kesepakatan sebelum semuanya hancur dan
demi menjaga sisa-sisa dari apa yang dulu disebut Kekaisaran Iran.... Ia
menambahkan bahwa ia telah memperingatkan Teheran bahwa: Amerika memiliki senjata
paling mematikan di dunia, dengan keunggulan yang luar biasa. Dan Israel
memiliki banyak di antaranya, dan akan menerima lebih banyak lagi dalam waktu
dekat. Mereka tahu bagaimana menggunakannya.
Dalam pernyataan serupa, Trump berkata: Hari
ini adalah hari ke-61, aku telah memberitahu mereka apa yang harus dilakukan,
namun mereka tidak mampu. Kini mereka memiliki kesempatan kedua. – Al Jazeera,
13 Juni 2025.
Jika perang berlanjut, AS dan sekutunya
bisa terlibat langsung atau tak langsung membantu Israel. Ini kontras dengan
posisi Iran yang kerap terisolasi secara politik dan ekonomi akibat sanksi
internasional atas program nuklirnya, dan dikaitkan dengan kelompok-kelompok
milisi bersenjata seperti Hizbullah, Hamas, dan Houthi. Selama ini yang
berpotensi menopang Iran hanyalah Russia atau China yang juga banyak
berseberangan dengan AS.
Jelas bahwa Yahudi tidak akan menyerang
Iran tanpa dorongan dari Amerika di bawah Trump. Pernyataan Trump di atas sudah
menunjukkan itu secara gamblang. Ini adalah fakta yang pasti dan sudah
diperkirakan sebelumnya, karena Yahudi tidak memiliki kekuatan sendiri dan
bukanlah bangsa yang ahli berperang.
Dalam beberapa tahun terakhir, konflik
antara Iran dan Israel telah meningkat, termasuk serangan-serangan yang
dilakukan oleh kedua belah pihak. Namun, tidak ada indikasi bahwa kedua negara
tersebut memiliki jalinan terselubung dalam konflik Israel-Palestina. Tidak ada
penjelasan yang gamblang bahwa Iran menyerang Israel karena membela Palestina,
namun pada faknya Iran membalas serangan israel karena instalasi nuklirnya
diserang israel hingga menewaskan para ilmuwannya.
Sebanyak 9 ilmuwan dan pakar program
nuklir Iran telah tewas dalam serangan udara mereka, menambah daftar korban
yang sebelumnya diumumkan, yaitu: Ali Bakhoy Karimi, Mansour Askari, dan Sa’id
Barji – masing-masing adalah pakar mekanika, fisika, dan teknik material –
dalam serangan hari Jumat menurut militer. Pernyataan ini dikonfirmasi oleh
kantor berita semi-resmi Iran, Tasnim.
Entitas Yahudi telah melancarkan serangan
besar dan belum pernah terjadi sebelumnya terhadap jantung program nuklir Iran
serta para pemimpin militernya pada Jumat dini hari, 13 Juni 2025. Iran pun
mengonfirmasi bahwa pada Jumat malam mereka menembakkan ratusan roket sebagai
balasan awal terhadap Israel. – CNN, 14 Juni 2025.
Iran menyerang Israel pada 13 April 2024,
dengan meluncurkan ratusan drone dan rudal ke wilayah Israel. Serangan ini
merupakan tanggapan atas serangan Israel terhadap konsulat Iran di Damaskus,
Suriah, pada 1 April 2024, yang menewaskan tujuh penasihat militer senior Iran,
termasuk Jenderal Mohammad Reza Zahedi dari Garda Revolusi Iran.
Jika dianalisa Berdasarkan fakta, maka alasan
serangan Iran ke Israel adalah semacam pembelaan diri. Iran menganggap serangan
ke konsulatnya sebagai tindakan agresi yang tidak dapat diterima dan membela
haknya untuk melakukan serangan balasan berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB.
Iran menuding Israel melakukan serangan
berulang kali, termasuk serangan terhadap fasilitas diplomatik Iran di Suriah. Iran
juga ingin memperingatkan Israel agar tidak melakukan agresi lebih lanjut dan
menegaskan kembali tekadnya untuk membela rakyatnya, keamanan, dan kepentingan
nasionalnya.
Setiap orang berakal paham bahwa cara
terbaik melawan Yahudi adalah dengan menyerang lebih dulu. Yahudi telah lama
mengancam Iran, khususnya dalam hari-hari terakhir, bahkan Trump telah menyatakan
secara langsung bahwa Israel akan menyerang fasilitas nuklir Iran. Tapi
anehnya, Iran tidak melakukan serangan pencegahan untuk mempertahankan diri
dari ancaman ini, baik dari Yahudi maupun Amerika! Mereka diam saja sampai
fasilitas mereka dibom dan para ilmuwan mereka dibunuh, barulah mereka mulai
membalas.
Meski begitu, Trump masih saja berkata: "Akan
ada perdamaian segera antara Israel dan Iran, dan kini banyak panggilan serta
pertemuan sedang berlangsung."Kami memperingatkan bahwa perang ini jangan
sampai berakhir pada kesepakatan damai dengan entitas Yahudi. Sebab Allah
berfirman: "Jika kamu menangkap mereka dalam perang, maka
cerai-beraikanlah orang-orang yang berada di belakang mereka."
Dewan Keamanan PBB dinilai gagal dalam
tugasnya menjaga perdamaian dan keamanan internasional dengan membiarkan Israel
melanggar hukum internasional. AS telah memperingatkan Iran agar tidak
melakukan serangan balasan ke Israel, dan menyatakan akan berada di belakang
Israel. Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang standar ganda AS dalam
menangani konflik internasional.
Ironi Di Tengah Perang Iran-Israel
Ada yang cukup menyedihkan di tengah
perang Iran-Israel. Pesawat-pesawat Yahudi melintasi wilayah udara rezim-rezim,
mengebom Iran, lalu kembali dengan selamat tanpa ada satu pun peluru yang
dilepaskan untuk menghalangi mereka. Negeri-negeri muslim langitnya dilintasi
pesawat-pesawat Yahudi, sementara mereka berdiam diri sambil menjadikan sebagai
tontonan gratis. Ironis.
Mereka membom dan membunuh di Iran, lalu
kembali ke tanah yang mereka duduki dengan aman dan selamat, tanpa satu pun
peluru ditembakkan oleh para penguasa di negeri-negeri seperti Syam, Irak,
Mesir, Turki, dan lainnya. Mereka menyerang dan kembali dengan tenang,
sedangkan para penguasa negeri-negeri Muslim hanya menyaksikan tanpa bertindak.
Para penguasa negeri muslim ini seakan
lupa (atau pura-pura lupa) terhadap akibat diamnya mereka: "Orang-orang
yang berbuat jahat akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan azab yang berat
karena tipu daya yang mereka lakukan.". Sungguh merupakan bencana besar
bahwa pesawat-pesawat Yahudi bisa melintasi wilayah udara para penguasa boneka
ini, melancarkan serangan, lalu kembali tanpa dihalangi.
Yang paling menyayat hati adalah para
penguasa boneka di negeri-negeri Muslim, terutama yang berada di sekitar
entitas Yahudi yang berdiri di atas tanah Palestina. Mereka berada di
sekitarnya, tapi seolah tidak melihat pesawat-pesawat Yahudi melintasi langit
mereka, membom negeri kaum Muslim, dan kembali dengan aman tanpa ada peluru pun
yang ditembakkan! Mereka seolah-olah pihak netral yang hanya menonton seakan
perang ini terjadi di negeri antah-berantah, bukan di tanah kaum Muslimin.
Para penguasa ini benar-benar binasa dalam
apa yang mereka lakukan. Tidak aneh karena mereka adalah pelayan dari
negara-negara kafir penjajah, terutama Amerika. Mereka mengatakan apa yang
diperintahkan dan melakukan apa yang diinginkan oleh tuan mereka. Mereka
menjustifikasi ketidakaktifan mereka dan mengagung-agungkan batas negara,
padahal negeri kaum Muslim adalah satu, baik yang jauh maupun dekat.
Keselamatan dan peperangan kaum Muslim adalah satu. Tidak boleh mazhab atau
sekat-sekat nasionalisme memecah mereka.
Mereka adalah umat yang satu, sebagaimana
firmanNya : "Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu, dan Aku
adalah Tuhan kalian, maka sembahlah Aku." (QS Al-Anbiya' ayat 92).
Bagaimana bisa pesawat musuh melintasi
wilayah udara para penguasa Muslim untuk membombardir negeri Muslim lain, dan
mereka diam saja? Yang paling "baik" dari mereka hanya jadi penonton
pasif, atau bahkan lebih dekat ke Yahudi! Padahal mereka mendengar sendiri
pernyataan terang-terangan dari Trump bahwa Yahudi berperang dengan dukungan
dan perintah dari Amerika serta menggunakan senjatanya, namun tak ada satu pun
dari mereka yang berani memutus hubungan dengan Amerika, setidaknya sebagai
bentuk penolakan. Sungguh buruk keputusan yang mereka buat.
Menawarkan Solusi Tuntas
Firman Allah dalam QS Al Anbiya ayat 21
mestinya menjadi acuan bagi para penguasa neger-negeri muslim seluruh dunia
untuk merapatkan barisan, bersatu pada dalam satu komando menyerukan jihad fi
sabilillah merobohkan israel dan para sekutunya. Para penguasa negeri muslim,
dengan keimanan dan ketaqwaanya mestinya memutus hubungan dengan negeri-negeri
kafir yang selama ini menjadi tuannya.
Para penguasa negeri-negeri muslim saatnya
mematuhi perintah Allah : Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang-orang
kafir sebagai wali (pemimpin, pelindung, atau teman setia) dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Barang siapa yang berbuat demikian, niscaya lepaslah ia
dari pertolongan Allah, kecuali karena siasat untuk menghindari sesuatu yang
ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya. Dan hanya
kepada Allah tempat kembali. (QS Ali Imran : 28)
Allah juga menegaskan dalam QS Al Maidah
ayat 51 : Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang
Yahudi dan Nasrani sebagai wali (pemimpin atau teman setia); sebagian mereka
adalah wali bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu menjadikan
mereka wali, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Kata "wali" (أولياء)
dalam ayat-ayat ini memiliki arti luas, yang bisa berarti pelindung, penolong,
pemimpin, atau sekutu yang loyal. Dalam tafsir, konteks dan kondisi
sosial-politik pada masa turunnya ayat juga penting untuk dipahami agar tidak
disalahartikan. Intinya, negeri-negeri muslim semestinya menjadi negeri bersatu
dan berdaulat serta melepaskan diri dari seluruh bentuk loyalitas dengan
negeri-negeri kafir penjajah yang selama ini telah memporak-porandakan
persatuan umat Islam terdahulu dibawah naungan khilafah Islamiyah.
Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam
yang memimpin umat dengan menerapkan syariah secara menyeluruh (kaffah) dalam
segala aspek kehidupan—politik, hukum, ekonomi, sosial, dan hubungan luar
negeri. Bagi banyak umat Islam, khilafah adalah simbol persatuan, pelindung
Islam, dan pelaksana syariah secara utuh. Tanpa khilafah, umat Islam terpecah
dalam negara-bangsa dan sistem sekuler yang jauh dari nilai-nilai Islam.
Setidaknya ada tiga esensi khilafah yang bisa
dipahami. Esensi pertama khilafah dalam Islam adalah untuk menerapkan syariat
dan hukum Allah secara sempurna di berbagai bidang kehidupan manusia. Esensi
kedua khilafah adalah dakwah rahmatan lil alamin ke seluruh penjuru dunia. Esensi
ketiga khilafah adalah mewujudkan persatuan umat seluruh dunia dalam satu
kepemimpinan.
Meski semua ini terjadi, para penguasa boneka ini
pasti akan lenyap, jika tak segera sadar dan bersatu. Sementara negara Islam, Khilafah
Rasyidah, akan kembali sebagai negara utama dunia yang menyebarkan kebaikan ke
seluruh penjuru dunia dengan izin Allah. Perang melawan Yahudi dan penghancuran
penjajahan mereka akan terjadi dengan izin Allah. Suatu saat entitas yahudi
pasti akan hancur lebur di tangan khilafah islamiyah.
Sebagaimana sabda Rasulullah ï·º
dalam Musnad Ahmad dari Hudzaifah: "...Kemudian akan ada Khilafah ala
manhaj kenabian." Dalam Shahih Bukhari, dari Abdullah bin Umar r.a., ia
berkata: "Aku mendengar Rasulullah ï·º
bersabda: 'Kalian akan memerangi Yahudi dan kalian akan menang atas mereka...'”
Dalam Shahih Muslim juga disebutkan: "Kalian
benar-benar akan memerangi Yahudi, dan benar-benar kalian akan membunuh
mereka..." Kemudian bumi akan bersinar dengan kemenangan dari Allah Yang
Maha Kuat lagi Maha Bijaksana. "Sesungguhnya pada hal itu terdapat
pelajaran bagi orang yang memiliki hati atau yang mendengarkan sementara ia
hadir secara sadar."
Sejarah Khilafah Membebaskan Palestina
Tokoh pertama pembebas Palestina adalah
Umar bin Khattab. Umar bin Khattab merupakan salah satu tokoh penting dalam
sejarah Islam. Ia adalah khalifah kedua dalam sejarah Islam, sekaligus pahlawan
perjuangan masyarakat Islam. Salah satu bentuk perjuangan dari Umar bin Khattab
adalah misi pembebasan Palestina dan Yerusalem dari cengkeraman Romawi. Kala
itu, Palestina berada dibawah tekanan bangsa Romawi selama ribuan tahun.
Lantas, bagaimana kisah Umar bin Khattab dalam pembebasan Palestina dari
Cengkeraman Romawi?
Kisah Umar bin Khattab dalam Membebaskan
Palestina Sebelum Umar bin Khattab menjadi khalifah, Islam telah berkembang
pesat di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan khalifah pertama Abu Bakar.
Namun, Islam masih menghadapi tantangan besar dari dua kekaisaran besar, yaitu
Persia dan Bizantium. Kedua kekaisaran ini memiliki kekuatan militer dan
politik yang sangat besar, serta memiliki pengaruh kuat di wilayah Timur
Tengah, termasuk Palestina dan Yerusalem. Palestina dan Yerusalem adalah tanah
suci bagi tiga agama samawi, yaitu Islam, Yahudi, dan Kristen.
Setelah Abu Bakar wafat pada tahun 634 M,
Umar bin Khattab terpilih menjadi khalifah kedua Islam. Salah satu prioritas
beliau adalah melanjutkan perjuangan melawan Bizantium, yang telah menyatakan
permusuhan terhadap Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Sebuah kota penting
yang menjadi target mereka adalah Yerusalem, yang merupakan ibu kota provinsi
Palestina di bawah Bizantium. Kota ini dikenal dengan nama Aelia Capitolina
oleh Bizantium, dan al-Quds oleh Muslim.
Pasukan Muslim mulai mengepung kota ini
pada tahun 637 M. Pengepungan ini berlangsung selama beberapa bulan, dengan
beberapa kali terjadi pertempuran sengit antara kedua belah pihak. Akhirnya,
pada tahun 638 M, Bizantium menyerah dan bersedia menyerahkan kota itu kepada
pasukan Muslim. Namun, ia menolak untuk menyerahkan kota itu kepada siapa pun
selain Umar bin Khattab sendiri. Oleh karena itu, Umar bin Khattab meninggalkan
Madinah dan melakukan perjalanan ke Yerusalem untuk menerima penyerahan kota
itu secara langsung.
Ketika sampai di Yerusalem, Umar bin
Khattab disambut dengan hormat oleh pasukan Bizantium. Umar bin Khattab
kemudian membuat sebuah perjanjian yang dinamakan dengan 'Perjanjian Umar'.
Perjanjian ini mengatur hak-hak dan kewajiban penduduk kota, baik Muslim maupun
non-Muslim. Perjanjian ini menjamin kebebasan beragama, perlindungan terhadap
gereja-gereja dan salib-salib, serta kewajiban membayar pajak.
Ketika Umar bin Khattab membebaskan
Yerusalem dari Bizantium, beliau juga memberikan hak kepada umat Yahudi untuk
kembali ke kota itu dan beribadah di Tembok Ratapan. Hal ini merupakan sebuah
pengakuan dan penghormatan terhadap umat Yahudi sebagai saudara seiman dari
umat Islam. Banyak umat Yahudi yang bersyukur dan mengagumi sikap Umar bin
Khattab
Tokoh kedua pembebas Palestina adalah Sholahudin Al Ayyubi, Kemenangan Muslimin dalam Perang Hattin pada Juli 1187 mengawali
pembebasan Baitul Maqdis. Usai pertempuran tersebut, Sultan Shalahuddin
al-Ayyubi menawan ratusan prajurit Salib. Pimpinan mereka, Raja Latin Yerusalem
Guy Lusignan dan Pangeran Antiokhia Raynald Chatillon, juga ikut ditangkap.
Ada sekitar 200 orang yang dieksekusi. Termasuk di
antaranya adalah para Kesatria Templar. Merekalah yang sebelumnya menyarankan
Raja Guy untuk menyongsong pasukan Muslimin di luar, alih-alih dalam benteng
Yerusalem. Imbas dari strategi itu, balatentara Salib justru mengalami
kelelahan dan kemerosotan semangat tempur akibat jauhnya perjalanan dari kota
tersebut ke Lembah Hattin. Apalagi, pasukan Kristen-Barat ini tidak membawa
perbekalan logistik yang memadai.
Sultan Shalahuddin menginstruksikan agar para tawanan
yang tidak dijatuhi hukuman mati dibawa ke pusat pemerintahan Daulah Ayyubiyah,
Damaskus. Ia juga menetapkan sejumlah bayaran sebagai uang tebusan mereka. Maka
yang kemudian di Lembah Hattin adalah si raja Yerusalem dan sahabatnya itu. Dengan
tegas, Shalahuddin memancung kepala Raynald Chatillon. Bangsawan Frank itu
divonis mati karena berbagai kejahatan yang telah dilakukannya terhadap
Muslimin. Melihat mayat sahabatnya, Guy berlutut ketakutan.
Tokoh ketiga pembela Palestina adalah Sultan Hamid
dua. Sejak zaman Kesultanan Turki Utsmani, bangsa Israel sudah berusaha
tinggal di tanah Palestina. Kaum zionis itu menggunakan segala macam cara,
intrik, maupun kekuatan uang dan politiknya untuk merebut tanah Palestina.
Di masa Sultan Abdul Hamid II, niat jahat kaum
Yahudi itu begitu terasa. Kala itu, Palestina masih menjadi wilayah
kekhalifahan Turki Utsmani. Sebagaimana dikisahkan dalam buku Catatan Harian
Sultan Abdul Hamid II karya Muhammad Harb, berbagai langkah dan
strategi dilancarkan oleh kaum Yahudi untuk menembus dinding Kesultanan Turki
Utsmani, agar mereka dapat memasuki Palestina.
Pertama, pada 1892, sekelompok Yahudi Rusia mengajukan
permohonan kepada Sultan Abdul Hamid II, untuk mendapatkan izin tinggal di
Palestina. Permohonan itu dijawab Sultan dengan ucapan ''Pemerintan Utsmaniyyah
memberitahukan kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki, bahwa
mereka tidak akan diizinkan menetap di Palestina''. Mendengar jawaban seperti
itu kaum Yahudi terpukul berat, sehingga duta besar Amerika turut campur
tangan.
Kedua, Theodor Hertzl, Bapak Yahudi Dunia sekaligus
penggagas berdirinya Negara Yahudi, pada 1896 memberanikan diri menemui Sultan
Abdul Hamid II sambil meminta izin mendirikan gedung di al-Quds. Permohonan itu
dijawab sultan, ''Sesungguhnya Daulah Utsmani ini adalah milik rakyatnya.
Mereka tidak akan menyetujui permintaan itu. Sebab itu simpanlah kekayaan
kalian itu dalam kantong kalian sendiri''.
Melihat keteguhan Sultan, mereka kemudian membuat
strategi ketiga, yaitu melakukan konferensi Basel di Swiss, pada 29-31 Agustus
1897 dalam rangka merumuskan strategi baru menghancurkan Khilafah Utsmaniyyah.
Karena gencarnya aktivitas Zionis Yahudi akhirnya pada 1900 Sultan Abdul Hamid
II mengeluarkan keputusan pelarangan atas rombongan peziarah Yahudi di Palestina
untuk tinggal di sana lebih dari tiga bulan, dan paspor Yahudi harus diserahkan
kepada petugas khilafah terkait. Dan pada 1901 Sultan mengeluarkan keputusan
mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.
Pada 1902, Hertzl untuk kesekian kalinya menghadap
Sultan Abdul Hamid II. Kedatangan Hertzl kali ini untuk menyogok sang penguasa
kekhalifahan Islam tersebut. Di antara sogokan yang disodorkan Hertzl adalah:
uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk Sultan; Membayar semua hutang
pemerintah Utsmaniyyah yang mencapai 33 juta poundsterling; Membangun kapal
induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank; Memberi pinjaman 5 juta
poundsterling tanpa bunga; dan Membangun Universitas Utsmaniyyah di Palestina.
Namu, kesemuanya ditolak Sultan. Sultan tetap teguh
dengan pendiriannya untuk melindungi tanah Palestina dari kaum Yahudi. Bahkan
Sultan tidak mau menemui Hertzl, diwakilkan kepada Tahsin Basya, perdana
menterinya, sambil mengirim pesan, ''Nasihati Mr Hertzl agar jangan meneruskan
rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina),
karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad
demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka.''
Sultan juga mengatakan, ''Yahudi silakan menyimpan
harta mereka. Jika suatu saat kekhilafahan Turki Utsmani runtuh, kemungkinan
besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan
tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku
daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah
Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan
memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.''
Sejak saat itu kaum Yahudi dengan gerakan Zionismenya
melancarkan gerakan untuk menumbangkan Sultan. Dengan menggunakan jargon-jargon
"liberation", "freedom", dan sebagainya, mereka menyebut pemerintahan
Abdul Hamid II sebagai "Hamidian Absolutism", dan sebagainya.
''Sesungguhnya aku tahu, bahwa nasibku semakin
terancam. Aku dapat saja hijrah ke Eropa untuk menyelamatkan diri. Tetapi untuk
apa? Aku adalah Khalifah yang bertanggungjawab atas umat ini. Tempatku adalah
di sini. Di Istanbul!'' Tulis Sultan Abdul Hamid II dalam catatan hariannya.
(sumber : Republika)
Begitulah gambaran ketika masih ada institusi khilafah yang dipimpin seorang
khalifah, maka mereka akan mati-matian membela Palestina, tanah suci pertama
umat Islam sedunia. Pembelaan atas palestina seorang khalifah adalah karena
ikatan aqidah dan konsekuensi keimanan kepada Allah. Maka, jika khilafah masih
ada, jangankan untuk menjajah palestina,
sekedar untuk menginjakkan kakinya di bumi palestina, entitas yahudi tidak akan
pernah bisa.
Namun ketika khilafah telah tiada, maka
Palestina tak lagi memiliki pelindung, akhirnya terjadilah apa yang kini tengah
terjadi, dimana palestina dijajah dan dizolimi entitas yahudi, sementara
negeri-negeri muslim diam membisu karena tak memiliki kekuatan untuk
membantunya. Semestinya negeri-negeri muslim mengirimkan tentara terbaiknya
untuk melumat entitas yahudi serta mengusir dari bumi Palestina dalam satu
komando seorang khalifah, pemimpin Khilafah Islamiyah. Semoga, dengan izin
Allah, khilafah segera tegak, aamiin.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan,
No.1069/17/06/25 : 11.29 WIB)