Oleh
: Ahmad Sastra
Kementerian Ketenagakerjaan
(Kemnaker) mencatat sebanyak 7,28 juta orang pengangguran pada 2025. Terungkap
pula lulusan universitas yang masih menganggur mencapai 1 juta orang. Adapun,
jumlah lulusan universitas yang menganggur itu setara 6,2% dari total
pengangguran yang mencapai 7,28 juta orang di Indonesia. (ekonomi.bisnis.com)
Akibatnya, karena terbatasnya
lowongan kerja, sementara kebutuhan hidup tidak bisa ditunda, sejumlah sarjana
(S1) melamar lowongan pekerjaan untuk posisi petugas penanganan prasarana dan
sarana umum (PPSU) tambahan di Jakarta pada Juli 2025. Bahkan beberapa
mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan S1 juga ikut serta mendaftar lowongan
pekerjaan petugas PPSU. Tercatat ada 326 orang pelamar yang memperebutkan
posisi enam PPSU. (Tempo.co)
Namun betapa ironi di negeri
ini, di tengah kesusahan rakyat untuk mendapatkan pekerjaan, sementara di satu
sisi justru ada ratusan pejabat negara dan apolitisi yang rangkap
jabatan dengan gaji sangat besar. Berdasakarkan data yang dirilis Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) pada 2023, Sekjen Kemenkeu
memperoleh gaji Rp 90.505.000. Sementara sebagai Komisaris di PT
Pertamina memperoleh gaji Rp 2,9 miliar setiap bulannya (RMOL.id).
Lebih ironi lagi, meski dianggap tak lazim
pejabat menerima gaji ganda di tengah kemiskinan dan pengangguran rakyatnya,
sampai sekarang belum ada aturan yang melarangnya. Kekayaan para pejabat yang
angkanya puluhan milyar untuk pejabat eselon 1 di lingkungan kementerian
keuangan telah menjadi ironi di tengah kesusahan rakyat untuk sekedar mencari
sesuap nasi di negeri ini.
Kegagalan Sistemik
Fenomena perebutan pekerjaan oleh para
sarjana, bukanlah semata yang penting halal, bukan juga karena kapasitas para
sarjana, tapi hal ini menunjukkan telah
terjadi sebuah kegagalan sistemik di negeri ini. Padahal kewajiban negara
adalah memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya dengan memberikan pekerjaan yang
layak. Untuk itulah mereka dipilih dan diberikan mandat oleh rakyat.
Terkait kegagalan sistemik, hal paling
utama yang menyebabkan tingginya tingkat pengangguran adalah karena kesalahan
penerapan sistem ekonomi di negeri ini, yakni sistem ekonomi kapitalisme. Terbukti
gagal sistem kapitalisme karena telah menimbulkan ketimpangan sosial yang
disebabkan adanya penumpukan kekayaan di segelintir orang, modal tidak
produktif hanya jadi simpanan, sebab kapitalisme hanyalah berorientasi pada
profit semata.
Bayangkan, menurut Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), yang menyebut sebanyak 48
persen dari 55,9 juta hektar lahan yang sudah bersertifikat dan terpetakan
hanya dimiliki oleh 60 keluarga di Indonesia. Apabila dipetakan 48 persen dari
55,9 juta hektare atau seluas 26.832.000 hektare lahan atas nama Perseroan
Terbatas (PT). (tirto.id)
Sementara di sisi lain, negara malah fokus
pada proyek tidak bermanfaat bagi rakyat seperti IKN. Bahkan sejumlah proyek
besar hanya berujung mangkrak. Dengan dalih efisiensi, negara abai siapkan
lapangan kerja bagi rakyatnya yang berujung pada tingginya tingkat
pengangguran.
Sementara, perusahaan dalam sistem kapitalisme
cenderung mengutamakan efisiensi biaya, termasuk dengan mengurangi tenaga kerja
jika dianggap tidak produktif atau bisa digantikan oleh teknologi. Hal ini bisa
menyebabkan PHK massal jika perusahaan ingin meningkatkan profit.
Sistem kapitalisme sering mengakibatkan
tingkat pengangguran yang tinggi, terutama dalam konteks krisis ekonomi atau
ketimpangan struktural. Sistem kapitalis rentan terhadap krisis ekonomi
berkala (seperti resesi). Saat krisis, banyak perusahaan mengurangi operasi
atau bangkrut, menyebabkan pengangguran massal.
Sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan di negeri
ini juga sering menciptakan ketimpangan dalam pendidikan, pelatihan, dan
kesempatan kerja. Orang miskin sering sulit mengakses pekerjaan layak karena
kurangnya modal dan keterampilan. Di sisi lain, pasar kerja dalam kapitalisme
cenderung sangat fleksibel, yang berarti mudah mempekerjakan dan mudah pula
memecat. Kondisi ini akan menciptakan ketidakstabilan pekerjaan dan seringkali
menambah jumlah penganggur.
Sistem Islam Sebagai Solusi
Sistem pemerintahan
Islam atau khilafah adalah sistem ideal untuk mengatur masyarakat berdasarkan
hukum-hukum syariah Islam. Dalam konteks ekonomi, khilafah memiliki pendekatan
tersendiri untuk mengatasi pengangguran, yang berbeda dari sistem kapitalis
atau sosialis.
Dalam pandangan Islam, bekerja bagi
seorang laki-laki adalah sebuah kewajiban, maka negara dalam sistem Islam berkewajiban
memberi lapangan kerja dan jaminan hidup bagi rakyatnya. Mengabaikan kewajiban,
dalam pandangan Islam berarti mengabaikan perintah Allah yang bisa terkategori
perbuatan dosa.
Khalifah wajib menerapkan hukum Islam secara adil
dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam hukum pidana, ekonomi, sosial, dan
pemerintahan.
Hal ini sejalan dengan firman Allah : Dan hendaklah
kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan
sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al-Ma'idah:
49)
Dalam sistem pemerintahan Islam, seorang khalifah
wajib memastikan kebutuhan dasar rakyat seperti pangan, sandang, papan, kesehatan,
dan pendidikan tercukupi. Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu pernah berkata: "Seandainya
ada seekor keledai mati kelaparan di tepi sungai Efrat, aku khawatir akan
dimintai pertanggungjawaban oleh Allah karena tidak menjaganya."
Seorang khalifah akan terus mendorong para
pengusaha untuk membuka usaha yang mampu memberikan pekerjaan kepada rakyat.
Seorang khalifah juga akan melarang penumpukan kekayaan pada segelintir orang
yang sering disebut dengan istilah oligarki.
Hal ini karena didasarkan oleh larangan
Allah dalam firmanNya : Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang
kaya saja di antara kamu. (QS Al Hashr : 7)
Khilafah yang menerapkan sistem ekonomi
Islam juga akan menekankan keadilan dalam distribusi kekayaan, bukan
pemerataan harta secara sama rata. Caranya dengan melarang sistem riba dan
eksploitasi ekonomi. Cara lainnya adalah dengan mengatur kepemilikan
(individual, negara, dan umum) agar tidak menumpuk di segelintir orang.
Berikutnya adalah menetapkan bahwa sumber daya alam
strategis seperti minyak, gas, air adalah milik umum dan hasilnya untuk
kesejahteraan rakyat, haram diprivatisasi. Negara melarang praktik-praktik
ekonomi yang merugikan rakyat seperti monopoli, penimbunan barang, kartel, dan
riba. Dengan cara ini, peluang usaha tersebar lebih luas dan adil bagi seluruh
rakyat.
Dengan berbagai potensi yang dimiliki, maka Islam akan
menjadikan negara
industri adidaya sehingga berbagai lapangan kerja akan terbuka bagi seluruh
rakyatnya. Khilafah akan mengelola kekayaan alam dan aset negara
untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan korporasi atau individu. Hasilnya
digunakan untuk pembiayaan kebutuhan dasar rakyat seperti pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur.
Dalam sistem Islam, negara wajib menyediakan lapangan
kerja bagi setiap laki-laki yang mampu bekerja. Negara juga mendorong rakyat
untuk bekerja melalui pengolahan lahan mati (ihya' al-mawat), pengembangan
industri, dan jasa. Jika seseorang tidak mendapatkan pekerjaan, maka negara
wajib memberikan bantuan hingga ia mendapatkan pekerjaan.
Selain menyelesaikan masalah pengangguran, negara
dalam sistem Islam juga berkewajiban menjamin kebutuhan pokok seluruh rakyatnya
dan menjamin pelayanan umum seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, dan
transportasi. Melalui baitul mal, negara mengelola pemasukan zakat, jizyah, kharaj,
fa’i, ghanimah, dan pendapatan dari kepemilikan umum. Termasuk memberikan bantuan
langsung kepada fakir miskin jika tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri
atau dari keluarga serta meniadakan pajak.
Seorang khalifah dalam sistem pemerintahan
Islam bukan sekadar penguasa, tetapi pelayan umat dan wakil Allah di bumi untuk
menjamin Kesejahteraan rakyat. Kepemimpinan dalam sistem pemerintahan Islam
akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah
SAW : Imam (pemimpin) adalah pemelihara rakyat dan ia bertanggung jawab atas
rakyat yang dipimpinnya (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, penting bagi pemimpin negeri ini
untuk menyadari betapa sistem ekonomi kapitalisme telah gagal memberikan
kesejahteraan bagi rakyat. Kegagalan sistemik ini harus dihentikan dengan cara
menerapkan sistem ekonomi Islam yang datang dari Allah Yang Maha Adil.
Hanya sistem pemerintahan Islam yang akan bisa
mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Saatnya negeri ini menerapkan sistem
pemerintahan Islam atas dasar keimanan dan ketaqwaan yang akan mendatangkan
keberkahan.
Hal ini sebagaimana firman Allah : Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri
beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami
siksa mereka disebabkan perbuatannya (QS Al A’raf : 96).
Allah juga berfirman : Dan hendaklah
takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka
anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar. (QS An Nisaa : 9).
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1075/19/07/25 : 08.29 WIB)